Kunci-Kunci Khusyuk Dalam Salat (8)

Keempat: Hadis Zaid bin Khalid al Juhani radiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berwudu dengan sempurna kemudian salat dua rakaat dan ia tidak lalai di dalamnya, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”[1].
Dalam hadis ini terdapat larangan terhadap rasa was-was dan kelalaian; karena salat adalah munajat (antara seorang hamba dengan Tuhannya), perendahan diri dan pengkhusyukan terhadap-Nya. Bagaimana mungkin ia bisa melaksanakannya dengan kelalaian (di dalamnya)? Allah berfirman:
وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ
Artinya: “Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku”. QS. Taha: 14.
Sedangkan kelalaian bertentangan dengan zikir yang disebut di dalam ayat ini. Maka barangsiapa yang lalai di dalam salatnya, bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa ia telah menegakkan salat untuk mengingat Allah[2].
Adapun yang dimaksud dengan lalai dalam sabda Nabi “Ia tidak lalai di dalamnya” adalah was-was yang dikirim oleh setan untuk memalingkan seorang muslim dari kekhusyukan dalam mengingat siapa yang dia bermunajat kepada-Nya. Barangsiapa yang luput dari kekhusyukan (yang merupakan inti dari salat) maka sungguh ia telah kehilangan hakikat salat dan ruhnya.
Kelima: Hadis ‘Uqbah bin ‘Amir radiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim berwudu dengan sempurna, kemudian mengerjakan salat dua rakaat dengan menghadapkan hati dan wajahnya (kepada Allah) kecuali wajib baginya surga”[3].
Poin dalam hadis ini terdapat pada sabda Nabi “Menghadap kepada keduanya (yaitu salat dua rakaat yang ia lakukan) dengan hati dan wajahnya”. Artinya ia tidak berpaling hatinya kepada pikiran-pikiran dan was-was yang melalaikan dari salat, dan juga ia tidak berpaling dengan wajahnya karena yang demikian itu akan merusak kekhusyukan atau kesempurnaan salatnya. Jadi penggalan kalimat ini terkandung dorongan untuk menghadapkan hati dan anggota tubuh lainnya ke dalam salat, inilah salah satu sebab terkuat yang dapat menghadirkan kekhusyukan dalam salat; karena hakikat khusyuk dalam salat adalah hadirnya hati di hadapan Allah dengan menghadirkan kebesaran-Nya, sehingga hati dan gerakannya menjadi tenang, mengurangi dari berpaling kepada hal yang sia-sia, beradab di hadapan Tuhannya, mentadabburi seluruh gerakan dan bacaan di dalam salatnya dari awal sampai akhir, dengan demikian ia mampu menjauhkan dari dirinya was-was dan pikiran-pikiran yang jelek. Inilah (khusyuk) ruh salat dan tujuan utamanya yang akan dicatatkan untuk seorang hamba. Salat yang tidak ada kekhusyukan dan kehadiran hati di dalamnya maka pelakunya tetap akan diganjar oleh Allah akan tetapi pahalanya berkurang, karena pahala salat tergantung pada kadar kehadiran hati di dalamnya[4].
Sabda Nabi “Kecuali baginya surga” menunjukkan bahwa surga akan diraih dengan menyempurnakan salat serta khusyuk di dalamnya, balasan mulia inilah yang menjadi tafsir dari kata “al falaah” pada firman Allah:
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خٰشِعُوْنَ
Artinya: “Sungguh, beruntunglah orang-orang mukmin. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya”. QS. Al Mukminun: 1-2.
Yang dimaksud dengan salat di sini adalah salat sunnah, baik salat sunnah mutlak atau salat sunnah rawatib, padahal yang seharusnya dan yang paling utama adalah salah wajib karena ia sangat agung bagi yang melaksanakannya dengan sempurna sebagaimana dalam hadis qudsi: “Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang Aku wajibkan atasnya”.
Keenam: Hadis ‘Amr bin ‘Abasah as Sulamiy ia berkata: “Dahulu aku di masa jahiliah mengira bahwa manusia berada dalam kesesatan, dan bahwa mereka tidaklah ada apa-apanya, mereka menyembah berhala-berhala. Lalu aku mendengar seorang laki-laki di Mekkah mengabarkan sebuah kabar maka akupun menaiki tungganganku dan pergi kepadanya, ternyata ia adalah Rasulullah … -maka ia pun menyempurnakan kisahnya- sampai kemudian aku berkata: Wahai Nabi ceritakanlah kepadaku apa itu wudu! Maka beliau bersabda: “Tidaklah salah seorang dari kalian yang mendekatkan bejana wudunya (air wudunya) lalu kemudian berkumur, memasukkan air ke hidungnya dan mengeluarkannya melainkan akan keluar darinya kesalahan-kesalahan dari wajah dan lubang hidungnya, lalu ketika ia membasuh wajahnya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, maka kesalahan-kesalahannya akan mengalir bersamaan dengan tetesan terakhir yang jatuh dari jenggotnya, kemudian ia membasuh kedua tangan sampai ke lengannya kecuali kesalahan tangannya akan mengalir melalui sela-sela jari tangannya, kemudian ia mengusap kepalanya kecuali kesalahannya akan mengalir bersamaan dengan tetesan terakhir dari rambutnya, kemudian membasuh kedua kakinya sampai mata kaki kecuali kesalahannya akan mengalir bersamaan melalui sela-sela jari kakinya, dan ketika ia berdiri mengerjakan salat, lalu memuji Allah dengan puji-pujian yang berhak bagi-Nya, dan mengkosongkan hatinya hanya kepada Allah, kecuali ia akan keluar dalam keadaan bersih dari dosa seperti ketika ia baru dilahirkan”[5].
Hadis ini mengandung banyak pelajaran, yang paling agung adalah bahwa hadis ini mencakup:
- Pahala besar dan ganjaran yang agung bagi siapa yang mengerjakan amalan saleh meski sedikit seperti menyempurnakan wudu dan salat sebagaimana yang disebutkan dalam hadis.
- Sabda beliau “Sebagaimana perintah Allah” menunjukkan bahwa ibadah-ibadah bersifat tauqifiyah (harus sesuai dengan dalil) maka tidak pantas bagi seorang muslim mengada-adakan sesuatu di dalam ibadah tersebut dan bahwa wajib bagi seorang muslim menunaikan ibadah sesuai dengan syariat.
- Dan poin dari hadis di atas, sabda Nabi “Dan ia kosongkan hatinya hanya kepada Allah” artinya adalah ia kosongkan dari kesibukan-kesibukan dunia untuk meraih lezatnya bermunajat dan ia hadirkan hatinya hanya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya[6] di dalam salat begitupun saat ia bermunajat kepada Tuhannya.
- Syarat untuk meraih pahala tersebut adalah menghadirkan hati, tidak lalai, merendahkan diri di hadapan-Nya dan menolak bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang akan melalaikannya dari salat.
[1]. Ahmad (28/289) No.17045, Abu Daud (1/238) No.905, Hakim (1/131) dari jalur Zaid bin Aslam,dari Atha bin Yasar dari Zaid bin Khalid al Juhani radiallahu anhu.
Hakim berkata: “Hadis ini sahih sesuai dengan syarat Muslim, dan saya tidak mengetahui illat yang melemahkannya, akan tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya (di dalam sahihnya)”.
Hadis ini disahihkan oleh penulis kitab Fadlu ar Rahiim al Waduud Takhriij Sunan Abi Daud (10/25).
[2]. Lihat: Mauidzatul Mukminin Min Ihya Ulum ad Diin Hal. 31.
[3]. Muslim (1/209) No.234.
[4]. Lihat: Tafsir as Sadi Hal.547,
[5]. Muslim (1/569) No. 832.
[6]. Lihat: Miraat al Mafaatih (3/461)



