Keutamaan Dan Karakteristik Bulan Syakban
Dalam tata urutan penanggalan hijriah, bulan Syakban menempati urutan ke VIII, posisinya terletak antara dua bulan utama, yaitu bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan haram dan bulan Ramadan yang merupakan bulan puasa. Menurut penjelasan sebagian ulama, ia dinamakan bulan Syakban dari kata sya’ab yang bermakna tampak, karena bulan Syakban tampak di antara kedua bulan tersebut. Meski terdapat analisa lain yang menyebutkan bahwa nama Syakban berasal dari kata sya’ab yang bermakna terpencar, karena masyarakat jahiliah dahulu terpencar mencari mata air atau terpencar melanjutkan peperangan yang tertunda karena menghormati bulan Rajab sebagai bulan yang diharamkan peperangan di dalamnya. (Lihat: Lisan al-Arab, karya Ibn Manzhur: I/502).
Seperti halnya dengan bulan-bulan hijriah lainnya, bulan Syakban juga memiliki keutamaan dan karakteristik tersendiri. Di antaranya sebagai berikut:
Pertama, bulan Syakban merupakan bulan diangkatnya amalan hamba kepada Allah.
Bulan Syakban adalah momentum tahunan diangkatnya amalan hamba kepada Allah. Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat ditanya alasan memperbanyak puasa di bulan Syakban, beliau jawab:
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Syakban adalah bulan yang terletak antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan dan dilalaikan oleh mayoritas umat manusia, padahal di bulan tersebut amal-amal diangkat kepada Allah Rabbul ‘alamin, sedang aku senang jika amalku diangkat dalam keadaan aku berpuasa.” (HR. An-Nasa’i No. 2357 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Targib wa al-Tarhib no. 1022).
Tentu momentum diangkatnya amalan hamba kepada Allah tidak hanya pada bulan Syakban, karena malaikat petugas Allah juga mengangkat dan melaporkan amalan mereka saat pergantian tugas di waktu Subuh dan waktu Ashar setiap hari. Demikian juga setiap hari Kamis amalan mereka diangkat kepada Allah dalam sepekan. Momentum diangkatnya amalan ini dijadikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ajang untuk berpuasa, terutama puasa sunah sebagaimana dalam hadis di atas.
Kedua, bulan Syakban merupakan gerbang menuju bulan Ramadan.
Karena posisinya dalam tata urutan bulan hijriah mendahului bulan Ramadan dan tidak ada jarak pemisah antara keduanya, maka bulan Syakban dipandang sebagai gerbang Ramadan. Dalam hadisnya, Nabi shallallahu alaihi wasallam pun mengisyaratkan hal tersebut saat beliau mengatakan, “Bulan Syakban adalah bulan yang terletak antara bulan Rajab dan bulan Ramadan“. (HR. An-Nasa’i No. 2357 dan dihasankan oleh Al-Albani). Di dalamnya, disunahkan beberapa amalan yang disyariatkan di bulan Ramadan, seperti memperbanyak puasa sunah, tilawah Alquran, shalat malam, sedekah dan amalan ibadah lainnya. Jika amalan-amalan ini diperbanyak di bulan Syakban maka akan membantu orang yang melakukannya mendapatkan kelezatan beribadah di bulan Ramadan.
Dalam pandangan sebagian ulama, puasa sunah di bulan Syakban ibaratnya seperti salat sunat rawatib qabliyyah yang mendahului puasa wajib Ramadan, sedanhg puasa enam hari di bulan Syawal pasca puasa Ramadan dibaratkan seperti salat sunah rawatib ba’diyyah. (Lihat: Lathaif al-Ma’arif, karya Ibnu Rajab hal. 139).
Abu Bakar al-Warraq al-Balkhi rahimahullahu mengibaratkan, “Bulan Rajab adalah bulan bercocok tanam dan Bulan Syakban adalah bulan menyiram tanaman, sedangkan Bulan Ramadan adalah waktu untuk memanen yang telah ditanam.” Beliau juga berkata, “Bulan Rajab itu seperti angin, dan Syakban itu ibarat awan yang membawa hujan, dan Ramadan adalah hujannya.” (Lihat: Lathaif al-Ma’arif, karya Ibnu Rajab hal. 121).
Ketiga, bulan Syakban merupakan bulan yang dilalaikan oleh mayoritas manusia.
Umumnya umat Islam mengagungkan dan memaksimalkan ibadah pada bulan Rajab dan bulan Ramadan. Namun sayangnya, pada bulan Syakban yang mengantarai kedua bulan tersebut kebanyakan manusia cenderung menyepelekan, melalaikan dan tidak maksimal beribadah di dalamnya. Realitas ini telah disinggung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya, “Bulan Syakban adalah bulan yang terletak antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan, serta banyak dilalaikan oleh mayoritas umat manusia… .” (HR. An-Nasa’i No. 2357 dan dihasankan oleh Al-Albani).
Fenomena lalai beribadah pada bulan Syakban akhirnya direvisi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau memuliakan dan menjelaskan keutamaannya, serta beliau beribadah di dalamnya dengan ibadah yang intensitasnya tidak kalah banyak dengan ibadah beliau di bulan-bulan lainnya.
Keempat, bulan Syakban dijadikan oleh Nabi sebagai momentum full puasa sunah.
Pada bulan Syakban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam full atau hampir full melaksanakan puasa sunah. Aisyah rardhiallahu‘anha menceritakan puasa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Syakban:
كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا
“Beliau biasanya berpuasa sampai kami mengatakan, ‘sungguh telah berpuasa terus.’ Dan beliau berbuka sampai kami mengatakan, ‘sungguh beliau telah berbuka terus.’ Dan aku tidak melihat beliau berpuasa yang lebih banyak dibandingkan pada bulan Syakban. Biasanya beliau berpuasa pada bulan Syakban semuanya, dan biasanya beliau berpuasa pada bulan Syakban kecuali sedikit.” (HR. Muslim no. 1165).
Pada pertengahan hadis ini, disebutkan bahwa beliau puasa Syakban sebulan penuh. Akan tetapi di akhir riwayat disebutkan bahwa puasanya di bulan Syakban tidak full, karena ada beberapa hari sekalipun hanya sedikit yang di dalamnya beliau tidak berpuasa. Oleh karena itu Imam Nawawi mengatakan, “Akhir hadis merupakan penjelasan dari pertengahannya bahwa yang dimaksud kata ‘kulluhu’ (semuanya) adalah ‘galibuhu’ (mayoritasnya).” (Lihat: Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj: VIII/37).
Hadis tersebut diperjelas dalam riwayat lain, yang di dalamnya Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihatnya berpuasa lebih banyak daripada puasanya di bulan Syakban.” (HR. Bukhari No. 1969 dan Muslim No. 1156).
Kelima, bulan Syakban merupakan momentum terakhir menqadha puasa Ramadan
Sekalipun asalnya menqadha puasa Ramadan dikategorikan sebagai kewajiban yang waktunya panjang hingga dikenal sebagai wajib muwassa’ (kewajiban yang panjang waktunya), namun apabila bulan Syakban telah datang maka kewajiban tersebut beralih menjadi wajib mudhayyaq (kewajiban yang waktunya sempit). Karena tidak ada lagi bulan pemisah yang mengantarainya dengan Ramadan, serta tidak boleh menunda qadha puasa Ramadan sebelumnya ke pasca Ramadan berikutnya kecuali jika ada uzur yang dibenarkan syariat. Maka orang yang memiliki utang puasa Ramadan harus menqadhanya di bulan Syakban sebagai kesempatan terakhir baginya sebelum memasuki bulan Ramadan. Hal inilah yang dilakukan Ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha yang waktunya makmisal digunakan untuk melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana beliau tidak melewatkan puasa qadha dari bulan Syakban. Beliau menceritakan pengalaman pribadinya dan ditaqrir oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Aku pernah memiliki utang puasa di bulan Ramadan tetapi aku tidak menqadhanya kecuali pada bulan Syakban. Sibuk melayani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, atau sibuk mendampingi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.” (HR. Muslim, No. 1146).