Puasa & Ramadhan

Pengganti Puasa yang Ditinggalkan oleh Wanita Hamil atau Menyusui

Meski ibadah puasa merupakan perintah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim dan muslimah yang telah balig dan berakal sehat, tetapi orang yang memiliki ‘udzur syar’iy atau halangan tertentu telah diberikan rukhshah (keringanan) oleh Allah sebagai salah satu bentuk kemudahan yang diinginkan oleh Allah bagi hamba-Nya dalam berpuasa, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya:

{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}[البقرة: 185].

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah: 185).

            Orang-orang yang mendapatkan rukhshah atau dispensasi untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan telah dijelaskan oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah di dalam sunnahnya. Di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan tiga kelompok orang yang mendapatkan rukhshah tersebut yaitu orang sakit, musafir dan orang tua renta. Ketiga kelompok tersebut dijelaskan di dalam firmanNya:

{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} [البقرة: 184]

“Maka siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya jika mereka tidak berpuasa membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184).

            Sedang di dalam hadis terdapat kelompok lain yang mendapatkan dispensasi untuk tidak berpuasa, yaitu wanita yang sedang haid.

عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: «كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ» (رواه مسلم)

 

“Mu’adzah menuturkan bahwa ia pernah bertanya kepada Aisyah. Aku berkata kepadanya: Mengapa wanita haid perlu menqadha puasa dan tidak menqadha shalatnya?. Lalu Aisyah berkata: Apakah Anda seorang haruriy (khawarij)? Aku jawab: Aku bukan seorang haruriy tetapi aku benar-benar bertanya. Maka Aisyah berkata: kami telah haid dan kami diperintah menqadha puasa dan kami tidak diperintah menqadha shalat.” (HR. Muslim).

Baca Juga  Hikmah dan Tujuan Puasa

 

            Kedua nas tersebut menyebutkan kelompok orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dengan ketentuannya masing-masing. Untuk kelompok pertama sampai kelompok ketiga, yaitu orang sakit, musafir dan tua renta, meninggalkan puasa bagi mereka adalah rukhshah. Mereka boleh mengambil rukhsah tersebut dan boleh pula tidak mengambilnya, kecuali jika puasa yang ia lakukan telah membahayakan dirinya. Berbeda dengan kelompok keempat, yaitu wanita yang sedang haid, meninggalkan puasa baginya adalah wajib hukumnya alias diharamkan baginya berpuasa saat ia haid.

            Perbedaan lain yang membedakan antara kelompok-kelompok tersebut adalah konsekuensi hukum yang wajib mereka lakukan jika mereka mengambil rukhshah tersebut. Untuk kelompok pertama, kedua, dan keempat; yaitu orang sakit, musafir, dan wanita haid, kewajibannya adalah membayar qadha yaitu berpuasa di luar bulan Ramadhan sejumlah hari yang ditinggalkan di bulan Ramadhan. Sebagaimana dijelaskan di dalam ayat dan hadis tersebut. Sedangkan untuk kelompok ketiga, yaitu orang tua renta yang tidak sanggup lagi berpuasa, kewajibannya adalah membayar fidyah saja yaitu memberi makan seorang fakir-miskin untuk tiap hari yang tidak dipuasakannya.

            Selain keempat kelompok yang ditegaskan di dalam ayat dan hadis tersebut, terdapat pula kelompok lain yang dikategorikan mendapatkan rukhshah oleh para ulama, yaitu: wanita nifas, wanita hamil, dan wanita menyusui.

            Dari segi hukum berpuasa dan kewajiban pengganti puasa Ramadhan bagi wanita nifas, para ulama mempersamakannya dengan wanita yang sedang haid. Mereka tidak boleh berpuasa saat nifas, dan mereka wajib mengqadhanya di luar bulan Ramadhan. Landasan persamaan perlakuan hukum tersebut kembali kepada unsur kesamaan antara haid dan nifas. Sebab kedua jenis darah tersebut esensinya satu. Bahkan oleh Imam As-Syiraziy, dikatakan bahwa darah nifas sebenarnya adalah darah haid yang tertampung selama masa kehamilan.

Baca Juga  Puasa Bulan Sya'ban

            Adapun wanita yang sedang hamil dan menyusui, maka para ulama berselisih dalam menganalogikan kondisi mereka dengan kelompok yang mendapatkan rukhshah dalam ayat 185 dan 186 dari surah al-Baqarah seperti tertuang di atas.

            Sebagian ulama menganalogikan mereka dengan orang tua renta yang tidak dapat lagi berpuasa. Alasannya, karena wanita hamil dan menyusui kondisinya sama dengan orang tua renta, yaitu beratnya beban berpuasa bagi mereka. Pendapat ini diwakili oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Said bin Jubair. Kewajiban wanita hamil dan menyusui menurut mereka hanya fidyah saja dan tidak perlu menqadha puasa yang ditinggalkannya.

            Sedang jumhur ulama lainnya memandang bahwa wanita hamil atau menyusui sama dengan kondisi orang yang sakit. Mereka berkewajiban menqadha puasa yang ditinggalkannya. Tetapi mereka berselisih pendapat, apakah selain menqadha, mereka juga berkewajiban membayar fidyah atau tidak?

            Dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, karya Imam Nawawi, terdapat  rincian sebagai berikut([1]):

  1. Jika wanita hamil atau wanita menyusui meninggalkan puasa karena khawatir berakibat buruk pada dirinya maka mereka hanya berkewajiban menqadha puasanya saja tanpa membayar fidyah. Hukumnya sama halnya dengan orang yang sakit, hanya berkewajiban menqadha puasa yang ditinggalkannya.
  2. Jika wanita hamil atau wanita menyusui meninggalkan puasa karena khawatir berakibat buruk pada dirinya dan juga pada diri janin atau anaknya yang menyusui maka mereka juga hanya berkewajiban menqadha puasanya saja tanpa membayar fidyah.
  3. Jika wanita hamil atau wanita menyusui meninggalkan puasa karena khawatir berakibat buruk pada janin atau anak yang disusuinya saja, tanpa khawatir pada dirinya sendiri maka ulama sepakat bahwa mereka berkewajiban menqadha puasa yang ditinggalkannya. Dan oleh pendapat yang yang shahih dalam Mazhab Syafi’iyyah ditambah dengan fidyah.
Baca Juga  Agar Keduanya* Begitu Berkesan

            Dengan demikian,dapat dipahami bahwa dalam tiga keadaan tersebut, wanita hamil atau menyusui tetap berkewajiban menqadha puasa yang ditinggalkannya. Dan dalam keadaan yang ketiga, selain menqadha puasa yang ditinggalkan, wanita hamil atau menyusui juga wajib membayar fidyah menurut pendapat yang sahih di kalangan ulama Syafi’iyyah. Dan mencukupkan dengan fidyah tanpa qadha bagi wanita hamil atau menyusui adalah pendapat yang menyelisihi pendapat jumhur ulama.

            Menganalogikan kondisi wanita hamil atau menyusui dengan orang yang tua renta atau orang sakit yang secara medis tidak dapat diharapkan bisa sembuh kembali sesungguhnya tidak tepat. Karena orang tua renta atau orang sakit yang tidak akan sembuh lagi tidak akan dapat berpuasa, baik di bulan Ramadhan atau pun di luar bulan Ramadhan sehingga kewajibannya hanya fidyah saja. Sedang wanita hamil atau menyusui yang mungkin di bulan Ramadhan tidak dapat berpuasa, tetapi di luar bulan Ramadhan memungkinkan dirinya untuk berpuasa. Seperti halnya orang yang sakit, di dalam bulan Ramadhan tidak dapat perpuasa tetapi di luar bulan Ramadhan ia dapat berpuasa maka kewajibannya adalah mengqadha. Maka demikian pula halnya wanita hamil atau menyusui, kewajibannya adalah qadha. Terlebih lagi karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menyamakan antara gugurnya kewajiban puasa wanita hamil atau menyusui dengan musafir. Sedang pengganti puasa orang musafir adalah qadha. Di dalam hadisnya, Nabi telah bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ، وَشَطْرَ الصَّلاَةِ، وَعَنِ الحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ»

“Sesungguhnya Allah telah mengugurkan dari musafir kewajiban puasa dan setengah shalat. Dan dari wanita hamil atau menyusui kewajiban puasa.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i).

([1]( Lihat al-Majmu’ karya Imam Nawawi: 6/267.

Salahuddin Guntung, Lc., MA., Ph.D.

Alumni S3, Bidang Aqidah & Pemikiran Kontemporer, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?