Khutbah Jumat: Hikmah puasa Syawwal

Jamaah shalat jum’at yang dirahmati Allah.
Di antara bentuk rahmat Allah kepada hambanya adalah dengan menganugerahkan waktu-waktu mulia bagi mereka, di antaranya adalah bulan Ramadhan yang mulia, dan bulan ini telah berlalu dari hadapan kita beberapa waktu yang lalu, namun tugas dan kewajiban penghambaan kita kepada Allah tidak berhenti dengan berlalunya bulan Ramadhan, namun kewajiban itu terus berlangsung selama ajal belum menjemput, Allah berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Artinya: “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kematian kepadamu”. (QS. Al-Hijr: 99)
Hasan Al-Bashri mengatakan:, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi amalan orang mukmin batasan kecuali kematian.”
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah subhanahu wata’ala.
Oleh karena itu, seorang alumni Ramadhan sejati, tidak akan berhenti untuk beribadah kepada Allah dengan berlalunya bulan yang mulia ini, namun justru berusaha untuk melestarikan ibadah-ibadah yang biasa dilaksanakannya di dalam bulan Ramadhan sesuai dengan kemampuannya, dan Allah azza wajalla juga memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mencari aktifitas yang lain usai menyempurnakan satu aktifitas, Allah berfirman,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
“Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).” (QS. al-Dhuha : 7)
Dalam ayat ini, Allah azza wajalla memerintahkan kaum muslimin untuk berpindah kepada kesibukan dan aktifitas yang lain yang bersifat duniawi maupun ukhrawi usai menyelesaikan suatu aktifitas, sehingga mereka berpindah dari satu ibadah kepada ibadah yang lain dan beralih dari satu aktifitas yang bermanfaat kepada aktifitas yang bermanfaat yang lainnya.
Dan syariat ini juga memberikan sarana agar alumni Ramadhan tetap berada diatas performa ibadah yang stabil, sehingga kendati bulan Ramadhan berlalu, namun datang bulan-bulan yang lainnya dengan keutamaan dan perintah ibadah yang lainnya.
Jamaah salat Jumat yang dirahmati oleh Allah subhanahu wata’ala.
Setelah bulan Ramadhan berlalu, datang bulan Syawwal, dan di bulan ini disyariatkan ibadah yang dianjurkan untuk dilaksanakan sebagai penyempurna dari puasa di bulan Ramadhan, yaitu puasa enam hari bulan Syawwal, Rasulullah bersabda dalam hadits Abu Ayyub al-Anshari:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامُ الدَّهْرِ
Artinya: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian di iringi dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka seperti puasa sepanjang tahun”. (HR. Muslim)
Sebuah keutamaan besar dijanjikan oleh Rasulullah, bagi yang menyambung puasa di bulan Ramadhan dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, yaitu mendapat pahala puasa wajib sepanjang tahun, hal ini disebabkan karena setiap amal ibadah dilipat gandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat, maka puasa tiga puluh enam hari, sama dengan berpuasa tiga ratus enam puluh hari, Rasulullah bersabda:
صِيَامُ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ، فَذَلِكَ صِيَامُ سَنَةٍ
Artinya: “Puasa Ramadhan sama dengan puasa sepuluh bulan, dan puasa enam hari sama dengan puasa dua bulan, maka (semuanya) seperti puasa setahun”. (HR. Ibnu Khuzaimah)
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan,
صيامها من شوال يلتحق بصيام رمضان في الفضل فيكون له أجر صيام الدهر فرضا
“Berpuasa di bulan Syawwal berkaitan dengan puasa di bulan Ramadan dalam keutamaan, maka keutamaannya adalah memperoleh pahala puasa wajib selama satu tahun penuh.” (Lathaifu al-Ma’arif, hal. 244)
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah subhanahu wata’ala.
Sesungguhnya dibalik pensyariatan puasa Syawwal tentu ada hikmah dan manfaat yang bisa dipetik darinya, di antaranya adalah:
- Puasa enam hari di bulan Syawal menyempurnakan pahala puasa Ramadhan, yang mana menggenapkan dan menyempurnakan puasa selama setahun penuh, sebagaimana dalam hadits yang telah di jelaskan diatas.
- Puasa di bulan Syawal dan di bulan Syakban mirip dengan salat rawatib bagi salat wajib. Dalam salat rawatib ada salat qabliyah dan bakdiyah yang berfungsi sebagai penyempurna dan penambal cacat dan kekurangan bagi salat wajib, maka puasa Syawwal dan Syakban berfungsi sebagai puasa qabliyah dan bakdiyah bagi puasa Ramadan, yang diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan puasa Ramadan. Manusia adalah makhluk yang rentan untuk terjatuh ke dalam dosa dan maksiat, sehingga tidak ada yang dapat menjamin bahwa puasa Ramadan yang telah ia lakukan adalah puasa yang sempurna tanpa cacat, sebab sangat mungkin seseorang terjatuh ke dalam perbuatan dosa tanpa ia ketahui sehingga berpotensi mengurangi pahal ibadah puasanya, maka dengan melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal diharapkan dapat menutupi ketidaksempurnaan puasa Ramadannya.
- Menyambung puasa Ramadhan dengan puasa Syawal adalah salah satu tanda bagi diterimanya amalan puasa kita di bulan Ramadhan, sesungguhnya Allah jika menerima amal ibadah seorang hamba maka akan diberi taufiq untuk melaksanakan amalan sholeh yang lain setelahnya.
Ibnul Jauzi mengatakan, “Maksiyat yang dilaksanakan setelah maksiyat adalah hukuman bagi maksiyat yang ia lakukan, dan (kemudahan melaksanakan) kebaikan setelah kebaikan yang ia tunaikan merupakan pahala bagi kebaikan tersebut.”
Ibnu Rajab menukil perkataan ulama salaf: (Diantara) pahala kebaikan adalah kemudahan untuk melaksankan kebaikan setelahnya.
- Melaksanakan puasa Syawwal merupakan salah satu bentuk kesyukuran yang kita tunaikan kepada Allah atas kenikmatan yang telah dianugerahkanNYA kepada kita, kenikmatan itu adalah diampuninya dosa-dosa orang yang telah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana yang telah diinformasikan oleh Rasulullah dalam haditsnya:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: “Barang siapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharap pahala (dari Allah), maka diampuni dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun Alaihi)
Dan inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau melaksanakan shalat malam sampai kakinya pecah-pecah, ketika istri yang tercinta beliau; Aisyah –Radhiyallahu ‘Anha- bertanya tentang rajinnya beliau melaksanakan shalat tersebut, maka beliau menjawab:
أَفَلَا أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
Artinya: “Apakah tidak boleh, aku menjadi hamba Allah yang bersyukur kepadaNYA?” (Muttafaqun Alaihi)
Ibnu Rajab meriwayatkan bahwa sebagian ulama salaf jika diberi Taufiq untuk melaksanakan qiyamul lail, maka ia akan melaksanakan puasa di siang harinya, sebagai bentuk kesyukurannya atas taufiq Allah baginya, berupa qiyamul lail.
- Pelaksanakan puasa sunnah di bulan syawwal merupakan sarana untuk menjadi hamba Allah yang bertaqwa, sesungguhnya ketakwaan seorang hamba akan meningkat seiring banyaknya amal ibadah yang ia laksanakan, apalagi jika ia mampu melaksanakan ibadah yang hukumnya wajib dan ibadah yang hukumnya sunnah, dan justru itu akan menjadi penyebab cintaNYA Allah kepada hambanya, Rasulullah bersabda: Allah berfirman:
وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلَ حَتَّى أُحِبَّهُ
Artinya: “Dan tidaklah seorang hamba senantiasa mendekatkan diri kepadaKU dengan ibadah-ibadah sunnah, kecuali aku akan mencintainya”. (HR. Bukhari)
- Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas ibadah kita tidak berhenti setelah berlalunya Ramadhan ataupun ibadah-ibadah yang lain, namun sesungguhnya ibadah terputuh jika Ajal telah tiba, sebagaimana firman Allah azza wajalla,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kematian kepadamu”. (QS. Al-Hijr: 99)