Fikih I’tikaf
Kesibukan dunia yang kita geluti sepanjang hari, bulan, dan tahun terkadang menjadikan ibadah yang kita lakukan mengalami kehampaan, kekeringan makna, dan hilangnya rasa khusyuk. Terkadang tujuan kita beribadah adalah sekedar menjalankan rutinitas menggugurkan kewajiban. Hati dan fisik kita tidak terpengaruh oleh sekian banyak ibadah yang kita lakukan. Akhirnya, takwa yang merupakan tujuan utama dari setiap peribadatan yang disyariatkan tidak tercapai atau jauh dari harapan.
Oleh karena itu, kita membutuhkan waktu untuk sejenak melakukan pemusatan ibadah dan taqarrub, meninggalkan hiruk-pikuk kesibukan duniawi, dan mendekatkan diri secara total dan intensif kepada Allah Ta’ala. Ibadah ini dalam Islam dinamakan I’tikaf.
Definisi & dalil syariat I’tikaf
Kata I’tikaf (الاعتكاف) dalam bahasa Arab mempunyai makna Luzuum asy-syai’ (menetapi sesuatu) dari sisi bahasa. Adapun secara istilah, para ulama mendefinisikannya sebagai:
اللُّبْثُ وَالْمُكْثُ فِي الْمَسْجِدِ لِلْعِبَادَةِ بِنِيَّةٍ مَخْصُوْصَةٍ عَلَى كَيْفِيَّةٍ مَخْصُوْصَةٍ
“Tinggal dan berdiam di mesjid untuk beribadah dengan niat dan tata cara yang bersifat khusus.” [Risalah fi Al-Fiqh Al-Muyassar, hal 77]
Dalil disyariatkannya ibadah ini adalah firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka sedang kalian beri’tikaf di masjid. “ [QS. Al-Baqarah: 187]
Nabi shallallahu ’alaihi wasallam telah mencontohkan ibadah ini, di dalam hadits Aisyah radhiyallahu ’anha beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam senantiasa ber’itikaf pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat, dan setelah beliau wafat, istri-istri beliau juga ber’itikaf.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Bahkan Ibnul Mudzir menukilkan ijma’ (konsensus) ulama tentang pensyariatan ibadah I’tikaf ini. [Al-Ijmaa’, hal: 50]
Hikmah I’tikaf
Di antara hikmah i’tikaf yang paling utama adalah:
- Konsentrasi beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, serta melepaskan hati dari ketergantungan terhadap kehidupan dunia.
- Penyerahan diri secara total kepada Allah dalam rangka mencari keridhaan dan rahmat-Nya.
Hukum & Jenis I’tikaf
Dari sisi hukum pelaksanaannya, ibadah i’tikaf terbagi menjadi dua:
Pertama: Bersifat wajib, jika dinazarkan sebelumnya. Contohnya jika seseorang berkata: “Jika aku diterima bekerja, maka aku bernazar untuk beri’tikaf selama 3 hari.”
Kedua: Sunnah muakkadah, yaitu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Aisyah di atas.
Rukun & syarat I’tikaf
Pertama: Orang yang beri’tikaf.
Syarat-syaratnya: Muslim, berusia tamyiz (dapat berkomunikasi dengan baik dan dapat membedakan yang baik dan buruk), berakal, berniat untuk beri’tikaf, suci dari hadats janabah, haid dan nifas (bagi wanita). Secara khusus bagi wanita yang beri’tikaf dipersyaratkan adanya izin dari suami jika telah bersuami.
Kedua: Berdiam di Masjid.
Kadar waktu minimal berdiam di masjid menurut sebagian ulama adalah satu malam penuh sejak terbenam matahari hingga terbitnya fajar atau sehari penuh sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Adapun kadar maksimal tidak dijelaskan secara khusus, tetapi sebagian ulama membatasi tidak lebih dari satu bulan. Dan waktu yang paling utama adalah pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan dikarenakan banyaknya keistimewaan yang terdapat di dalamnya.
Terkait masjid, sebagian ulama mempersyaratkan masjid yang digunakan untuk i’tikaf adalah masjid yang digunakan untuk shalat berjamaah. Berdasarkan atsar Ali Ibn Abi Thalib radhiyallahu ’anhu:
لَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ
“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid (yang ada) jamaah.” [Mushannaf Abdul-Razzaq]
Dan yang paling afdhal adalah di Masjidil Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Aqhsa di Palestina.
Disyariatkan bagi yang beri’tikaf untuk mengambil tempat khusus di dalam masjid sebagai tempat beri’tikaf, sebagaimana disebutkan dalam haditst Aisyah radhiyallahu ’anha:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ، ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ وَإِنَّهُ أَمَرَ بِخِبَائِهِ فَضُرِبَ
“Jika Rasulullah hendak beri’tikaf, beliau melaksanakan shalat Shubuh kemudian masuk ke dalam tempat i’tikafnya, dan sesungguhnya beliau memerintahkan untuk didirikan tenda (tempat beri’tikaf) untuk beliau.” [HR. Muslim]
Hal-hal yang membatalkan I’tikaf
- Hubungan suami istri dan segala yang menjurus ke arahnya.
- Hilang akal karena pingsan atau gila.
- Keluar dari masjid tanpa adanya udzur yang dibenarkan.
- Keluar dari Islam (murtad).
Jenis–jenis udzur yang membolehkan seorang yang beri’tikaf untuk keluar dari masjid:
Pertama: Udzur yang dibenarkan syariat, seperti: keluar dari masjid untuk menunaikan shalat Jumat jika di masjid tersebut tidak dilaksanakan shalat tersebut.
Kedua: Udzur yang bersifat alami (natural) dan menjadi kebiasaan manusia: seperti buang hajat dan mandi jika hal-hal ini tidak dapat dilakukan di masjid. Dengan syarat bahwa semua ini dilakukan sesuai kadar kebutuhan dan sesegera mungkin untuk kembali ke masjid.
Ketiga: Udzur yang bersifat darurat, seperti: Jika ia tidak keluar dari masjid, maka hartanya akan hilang, atau terjatuh dalam kebinasaan.
Apa yang dilakukan oleh seorang yang beri’tikaf
Pada dasarnya setiap orang yang beri’tikaf disyariatkan untuk memperbanyak ibadah, khususnya ibadah-ibadah mahdhah yang manfaatnya kembali kepada pelakunya, seperti: shalat, membaca al-Quran, berdoa, dan berzikir. Jika I’tikaf dilakukan di akhir Ramadhan, maka tentunya meraih keutamaan 10 hari terakhir Ramadhan menjadi salah satu sebab untuk lebih bersemangat untuk memperbanyak ibadah kepada Allah Ta’ala.
Semoga Allah memberikan kepada kita kekuatan untuk konsisten dan bersemangat dalam menjalankan syariat-Nya.