Manfaat Komitmen Mengikuti Pemahaman Salaf Terhadap Nas

Pemahaman yang keliru terhadap nas-nas syar’iyyah telah menelan banyak korban. Dalam sejarah Islam, telah tercatat korban-korban awal dari pemahaman keliru terhadap nas di antaranya adalah orang-orang Khawarij, disusul orang-orang Syi’ah, Murji’ah dan semacamnya. Berbeda dengan orang-orang yang komitmen mengikuti pemahaman salaf terhadap nas-nas syar’iyyah. Mereka memperoleh banyak manfaat dan jauh dari penyimpangan yang menimpa orang-orang yang mengikuti selain pemahaman salaf.
Berikut antara lain manfaat yang dapat dipetik dari mengikuti pemahaman salaf terhadap nas:
Pertama: Mengetahui maksud dan kehendak Allah dan Rasulullah dari setiap nas yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
Dengan komitmen mengikuti pemahaman salaf, seseorang benar-benar memahami maksud dan kehendak Allah dan Rasul-Nya dalam nas-nas Alquran dan Sunah. Karena orang yang mengikuti pemahaman salaf berarti mengikuti apa yang dipahamkan dan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabat dari apa yang diajarkan dan diwahyukan Allah kepada Nabi.
Di dalam Al-Qur’an, Allah telah menggariskan bahwa di antara tugas Rasulullah adalah mengajarkan kepada orang-orang beriman Al-Qur’an dan Sunnah yang diungkapkan dengan al-kitab wa al-hikmah. Allah berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ [آل عمران: 164].
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali Imran: 164).
Dalam tafsir ayat tersebut, Ibnu Sa’diy mengatakan: “Membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mengajarkan kepada mereka lafaz dan maknanya”. Beliau juga menafsirkan bahwa kitab yang di maksud dalam ayat tersebut adalah Al-Qur’an atau makna lebih umum yaitu tulisan. Dengan demikian ayat tersebut bermakna mengajarkan kepada mereka Al-Qur’an dan keterampilan menulis. Sedang hikmah yang disebutkan dalam ayat tersebut ditafsirkan oleh para ahli tafsir dengan Sunah Nabi.
Dalam salah satu arahan Umar bin Khattab, beliau menyerukan agar orang yang cenderung memahami ayat mutasyabih dengan pemahamannya sendiri didampingi oleh orang-orang yang paham Sunah karena mereka lebih paham Al-Qur’an. (Sunan Ad-Darimi no. 121; Asy-Syari’ah karya Al-Ajurry no. 93, 101,102; Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah karya Al-Lalika’i no. 202).
Kedua: Menutup pintu bid’ah dan memutus akar-akarnya.
Dengan komitmen mengikuti pemahaman salaf terhadap nas, maka pintu-pintu bid’ah dapat tertutup. Benih dan akar-akarnya pun dapat terputus. Karena umumnya para pencetus dan pelaku bid’ah hanya mencaplok nas-nas tertentu dari Al-Qur’an atau Sunah lalu memahami dan menakwilkannya sesuai maksud dan keinginannya tanpa peduli dengan maksud dan kehendak Allah dan Rasul-Nya dari nas-nas tersebut. Karenanya, semakin banyak orang berkomitmen mengikuti pemahaman salaf terhadap nas maka semakin sedikit bid’ah yang bertebaran di tengah umat sampai akhirnya dapat terkikis dan terputus hingga ke akarnya.
Pemahaman yang menyelisihi pemahaman salaf selain keliru, juga pemahaman tersebut merupakan pemahaman yang bid’ah. Ibnu Taimiyah menegaskan: “Secara umum, siapa pun yang berpaling dari pendapat dan penafsiran para sahabat dan para tabi’in dan beralih kepada yang lainnya maka pasti ia keliru bahkan ia menjadi pelaku bid’ah… . Kita tahu bahwa Al-Qur’an telah dibaca oleh para sahabat, tabi’in dan atbaut tabi’in, dan bahwa mereka lebih tahu makna dan tafsirnya, sebagaimana juga mereka lebih tahu kebenaran yang dibawa oleh Rasul utusan Allah. Maka barang siapa menyelisihi pendapat mereka dan menafsirkan Al-Qur’an dengan penafsiran yang bertentangan dengan tafsir mereka maka sungguh ia telah keliru dalam berdalil dan dalam memahami dalil”. (Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir hal. 91).
Ketiga: Terhindar dari perpecahan dan perselisihan yang tercela.
Karena maksud dan kehendak Allah dan Rasul-Nya dari setiap nas yang dipahami oleh para salaf adalah satu, lurus, tidak beragam apalagi bertentangan satu sama lain maka mengikuti pemahaman mereka mencegah terjadinya perpecahan dan perselisihan di tengah umat.
Manfaat tersebut dapat tergambar dalam dialog antara Umar bin Khattab dengan Ibnu Abbas radhiyallahu anhum. Umar bertanya kepada Ibnu Abbas: Mengapa umat ini berpecah sedang kitabnya sama, Nabinya sama dan kiblatnya juga sama? Ibnu Abbas menjawab: Wahai Amirul mukminin; Al-Qur’an telah diturunkan kepada kita. Kita telah membacanya, kita juga telah mengetahui dalam hal apa ayat-ayatnya diturunkan. Tetapi akan datang suatu generasi setelah kita orang-orang yang membaca Al-Qur’an tetapi mereka tidak tahu dalam hal apa ayat-ayatnya diturunkan, sehingga mereka mengandalkan akal dan pendapatnya. Jika mereka mengandalkan akal dan pendapatnya maka mereka pasti akan pecah dan berselisih. Dan kalau mereka berselisih maka mereka bisa saling bunuh. (Syu’abul Iman karya Al-Baihaqi no. 2086).
Keempat: Ketenangan dan keyakinan tanpa sedikit pun keraguan.
Orang yang komitmen mengikuti pemahaman salaf terhadap nas merasa tenang dan yakin dengan kebenaran yang dipeganginya tanpa sedikit pun keraguan. Karena mereka yakin bahwa pemahaman yang diikutinya merupakan maksud dan kehendak yang diinginkan Allah dari setiap nas syar’i. Dalam benaknya tidak ada ruang untuk meragukan keyakinannya. Berbeda dengan orang yang jauh dari pemahaman salaf, mereka ragu dan tidak yakin dengan akidahnya. Akibatnya mereka sering berubah keyakinan dan berpindah dari satu pemahaman kepada pemahaman lainnya bahkan menyesali dirinya sendiri. Seperti yang menimpa Fakhrurrazi yang dikenal dengan kepiawaiannya dalam disiplin ilmu kalam dan dalam ilmu filsafat, dan yang menimpa Asy-Syahristani yang akhirnya menulis buku Nihayah al-Iqdam dan mengungkapkan penyesalannya mendalami ilmu kalam. Demikian juga yang terjadi pada diri Abu Hamid Al-Gazali yang berpindah dari suatu pemahaman ke pemahaman lainnya sebagaimana beliau ceritakan dalam kitabnya yang berjudul al-Munqizh min adh-Dhalal. Dan masih banyak tokoh teologi/ilmu kalam yang mengalami hal yang sama.
Kelima: Mendiamkan apa yang didiamkan oleh para sahabat dan salaf secara umum.
Orang yang komitmen mengikuti pemahaman salaf terhadap nas-nas syar’iyyah mampu mendiamkan apa yang didiamkan oleh para salaf, utamanya dalam perkara yang pelik dan sulit dicerna oleh logika. Karena mereka merasa yakin bahwa salaf mendiamkannya bukan karena mereka jahil dan tidak dapat mencernanya dengan akal dan logikanya tetapi karena mereka tahu bahwa itulah sikap yang seharusnya diambil dalam perkara tersebut.
Keenam: Kemampuan membedakan antara sunah dan bid’ah.
Orang yang komitmen mengikuti pemahaman salaf terhadap nas-nas syar’iyyah mampu membedakan antara sunah dengan bid’ah. Karena mereka mengetahui bahwa apa yang diyakini, diajarkan dan dipraktikkan oleh para sahabat dan salaf adalah sunah. Sedang keyakinan, ajaran dan praktik keagamaan yang bertentangan dengannya merupakan bid’ah dalam agama. Hal ini tergambar dalam argumentasi Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu saat mendebat orang-orang Khawarij yang jumlahnya ratusan orang bahwa tidak seorang pun di antara mereka merupakan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam.