Hukum Wakaf Tunai

Wakaf merupakan salah satu ibadah harta yang dikenal dalam Islam, dianjurkan dan diberi ganjaran tak terbatas oleh syariah selama barang wakaf tersebut memberikan manfaat kepada pengguna wakaf.
Belakangan ini terdapat jenis wakaf yang di marakkan dan dipopulerkan, dikenal dengan nama: “Wakaf Tunai”, di mana penanggung jawab menerima sejumlah uang dari pewakaf (misalnya yang ingin berwakaf namun tidak memiliki aset), lalu uang tersebut di gunakan dan di investasikan agar berkembang, selanjutnya keuntungan diberikan kepada pihak penerima wakaf.
Tidak masalah jika yang di maksud dengan wakaf tunai adalah ketika penanggung jawab wakaf menggunakan uang tunai tersebut untuk membeli aset (misal: sumur, rumah yatim), karena syarat benda wakaf telah terpenuhi, yaitu benda wakaf harus berupa aset atau benda yang tidak habis pakai, dan penanggung jawab pada kasus masalah ini adalah wakil dari pewakaf.
Yang menjadi perbincangan kita sekarang adalah ketika uang tersebut tidak dipergunakan untuk membeli aset, namun terus diputar dan di investasikan hingga nominalnya menjadi banyak, kemudian diberikan kepada penerima wakaf. Kita tahu bersama, bahwa uang adalah barang yang jika dipakai…akan habis, jadi tidak memenuhi syarat benda yang dapat di wakafkan.
Apakah wakaf tunai merupakan wakaf yang sah? Mari simak penjelasan berikut ini.
Para ulama dahulu -terutama ulama dari mazhab Hanafi, Syafii dan Hambali- telah menerangkan hukum wakaf uang pada buku-buku klasik fikih, dan memberi keterangan bahwa hukum wakaf ini adalah wakaf yang tidak sah, karena uang dianggap sebagai benda yang mayoritas penggunaannya adalah sebagai alat tukar, sementara alat tukar akan habis jika digunakan, sehingga tidak memenuhi syarat benda wakaf, sebagaimana lilin yang akan habis oleh api, maka wakaf lilin merupakan wakaf yang tidak sah.
Di satu sisi, ada jenis penggunaan lain bagi uang, yaitu untuk di pinjamkan sebagai perhiasan, atau sebagai pemberat timbangan (uang dahulu berupa logam emas atau perak), dan manfaat perhiasan dan pemberat timbangan bagi uang adalah manfaat yang tidak bernilai, sehingga tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk di wakafkan.
Namun meskipun begitu, para ulama -terutama mazhab Hambali- menyebutkan dalam buku mereka bahwa wakaf air adalah wakaf yang sah. Imam Mardawi dalam buku beliau al-Inshof menerangkan:
“Wakaf air adalah sesuatu yang boleh, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ahmad…Al-Fadhl menanyakan: ‘Apakah wakaf air merupakan wakaf yang sah?’ Imam Ahmad menjawab: ‘Jika itu adalah hal yang mereka anggap sah, maka sah’. Al-Haritsi mengatakan: ‘Perkataan Imam Ahmad ini memiliki konsekuensi bahwa benda wakaf yang di maksud adalah air itu sendiri -dan bukan sumur, misalnya- sebagaimana yang dilakukan oleh warga kota Damaskus, mereka mewakafkan beberapa petak dari air disungai mereka’, namun keabsahan wakaf air ini masih memiliki polemik bagi saya….karena air merupakan benda yang habis pakai. Kecuali jika kita berasumsi bahwa air itu (di sungai atau di sumur) tidak akan berkurang meskipun terus di ambil, karena akan terisi kembali. Proses ini -yaitu ambil kemudian terisi kembali- seakan-akan memenuhi syarat dari benda wakaf itu sendiri, yaitu tidak habis pakai”.
Olehnya, sebagian ulama kontemporer dan beberapa ormas Islam, membolehkan wakaf tunai jika merujuk kepada hukum wakaf air melalui proses qiyas. Titik persamaan antara air dan uang tunai adalah sama-sama merupakan benda yang habis pakai, tapi akan tergantikan dengan sendirinya, dalam kasus ini, uang akan terus bertambah jika di investasikan oleh penanggung jawab wakaf.
Para ulama yang membolehkan wakaf tunai juga menambahkan bahwa yang di wakafkan pada wakaf tunai adalah nilai dari uang tersebut, dan bukan fisik uang itu sendiri. Nilai uang akan terus ada meskipun fisiknya terus berganti, sebagai contoh:
Jika Anda meminjamkan 5 juta rupiah kepada seseorang bulan lalu, lalu orang tersebut mengembalikan uang tersebut setelah satu bulan berlalu, apakah uang 5 juta yang dia kembalikan merupakan fisik uang yang sama yang Anda pinjamkan pada bulan lalu atau uang yang berbeda tapi memiliki nilai yang sama?
Ditambah lagi, uang kertas tidak memiliki nilai sama sekali pada fisiknya, berbeda dengan logam emas dan perak pada masa lalu. Nilai uang kertas ditentukan oleh pemerintah secara hukum. Ini menguatkan bahwa uang tunai berfungsi sebagai alat tukar karena nilainya, dan bukan fisiknya.
Olehnya menurut qiyas dan pengertian nilai uang di atas, wakaf tunai dapat di benarkan, karena hal demikian sejumlah orang lebih memilih penamaan Wakaf Tunai ketimbang Wakaf Uang.
Sampai sini kita pahami, bahwa wakaf Tunai merupakan polemik yang di mana para ulama telah berbeda pendapat sejak dahulu hingga sekarang.
Namun, terlepas dari sah atau tidaknya wakaf ini, seseorang yang melakukan wakaf tunai tidak akan lepas dari pahala yang dijanjikan oleh Allah U, karena ketika dia menjalankan ibadah harta yang mulia ini, jika sah maka dia akan mendapatkan pahala wakaf, namun jika wakaf tunai tidak sah, setidaknya dia telah melakukan sedekah jariah. Jadi pahala yang dia dapatkan berkutat antara wakaf atau sedekah jariah, yang di mana keduanya merupakan sumber pahala yang tidak terputus ketika seseorang telah meninggal dunia, Wallahu A’lam.
Referensi:
Hasyiah Ibnu Abidin, Ibnu Abidin
Bada’i Shana’i, Kaasaani
Hasyiah Ad-Dasuki, Ad-Dasuki
Hasyiah Showi, Abu Abbas Ash-Showi
Najm Wahhaj, Ad-Damiri
Tuhfatul Muhtaj, Ibnu Hajar Al-Haitami
Al-Inshof, Al-Mardawi
Kassyaf Qina, Al-Buhuti
Syarh Mumti’, Ibnu Uthaimin