Fikih Jual Beli: “Di saat Pembatalan Jadi Pilihan”
Pengembalian dan Pembatalan Akad (Iqalah)
Bismillah wa’ala barakatillah
Di suatu waktu, kadang seseorang membeli barang, kemudian menyesal karena telah mengeluarkan uang terlalu banyak untuk barang tersebut. Ada juga yang membeli barang karena sangat butuh terhadapnya, namun ternyata barang tersebut tidak dibutuhkan lagi. Kadang juga sebagian remaja membeli barang tanpa pertimbangan yang matang, kemudian menyesal dan ingin mengembalikannya.
Nah, kasus-kasus pengembalian barang seperti yang disebutkan di atas telah diatur hukumnya oleh syariat Islam dalam pembahasan fikih muamalah. Ia dikenal dengan istilah “Iqalah”.
Iqalah dalam bahasa arab berarti “mengangkat”. Disebut demikian karena kedua belah pihak (penjual dan pembeli, contohnya) mengangkat hukum akad yang telah mereka lakukan. Konsekuensi dari pengangkatan hukum akad ini adalah barang jualan dan alat tukar dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing.
Hukum Iqalah adalah boleh/mubah. Landasan dasarnya adalah hadis Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasalam:
من أقال مسلما أقاله الله عثرته يوم القيامة
“Siapa yang menerima pengembalian barang dari seorang muslim, maka Allah akan mengampuni kesalahannya di hari Kiamat.” (HR. Abu Daud).
Ulama fikih menyebutkan bahwa hukum asal dari Iqalah adalah boleh, karena sebab dari pembatalan akad melalui Iqalah bukan kembali kepada cacat atau masalah yang terjadi pada akad atau objek akad, melainkan sebab dari luar akad atau objek akad, seperti menyesal membeli barang, dll. Faktor ini tidak mempengaruhi hukum keabsahan sebuah akad. Olehnya, pihak penjual tidak wajib untuk menerima pengembalian barang jika akad telah tuntas dan selesai.
Meskipun hukum asalnya boleh, namun jika penjual mengetahui bahwa pembeli ingin mengembalikan barang karena sebuah sebab yang tidak dicakup oleh hak khiyar, seperti menyesal, dimarahi orang tua, dsb., maka hukumnya berubah dari “boleh/mubah” menjadi “dianjurkan/mustahab” sebagai bentuk berbuat baik kepada sesama.
Akad Iqalah dilakukan melalui lafal serah-terima atau yang lebih dikenal dengan istilah ijab-kabul. Contohnya sebagai berikut:
Budi (pembeli) mengucapkan lafal ijab, “Aku ingin mengembalikan barang ini.“
Lalu Agus (penjual) menjawab dengan lafal kabul, “Saya terima pengembalian barangnya.“
Setelah itu, mereka saling mengembalikan barang dan alat tukar yang telah mereka ambil sebelumnya.
Setelah para ahli fikih sepakat akan kebolehan syariat dan hukum Iqalah, mereka berbeda pendapat dalam hakikat atau definisi paling tepat dari Iqalah ini. Perbedaan ini dapat mempengaruhi sebagian hukum terkait Iqalah pada saat penerapannya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa Iqalah adalah pembatalan akad, dan sebagian lagi mengatakan bahwa Iqalah adalah akad transaksi baru.
Mereka yang memilih bahwa akad Iqalah adalah pembatalan, mengatakan bahwa hukum-hukum sebuah akad sebagian besar terkandung pada nama akad tersebut secara bahasa. Dalam lafal hadis mencantumkan kata “Iqalah” yang berarti mengangkat, dan mengangkat hukum akad yang telah sah merupakan sebuah pembatalan. Ini adalah pendapat yang ditempuh oleh Mazhab Syafii dan Hanbali.
Adapun Mazhab Maliki mengatakan bahwa Iqalah adalah akad transaksi baru karena pada hakikatnya Iqalah adalah jual beli ke-dua, setelah jual beli pertama telah sah. Sedangkan kalangan Mazhab Hanafi terbagi dalam dua pendapat; ada pendapat yang mengatakan bahwa Iqalah adalah pembatalan akad, dan ada pendapat yang mengatakan bahwa Iqalah adalah akad transaksi baru.
Perbedaan yang mencolok dari kedua pemaknaan hakikat Iqalah ini adalah pada penyebutan harga yang akan dikembalikan dan hak khiyar. Yang mengatakan bahwa Iqalah adalah pembatalan akad, maka harga tidak perlu disebut dan tidak ada khiyar. Sedangkan yang menganggap Iqalah adalah akad transaksi baru, maka harga harus disebutkan dan ada hak khiyar jika terjadi cacat atau aib pada objek transaksi sebagaimana hukum jual beli secara umum.
Dalam Kitab Mugni al-Muhtaj karya Imam Khatib asy-Syarbiniy disebutkan perbedaan pendapat antara para ahli fikih yang memilih pemaknaan hakikat Iqalah sebagai pembatalan. Mereka berbeda pendapat, apakah Iqalah merupakan pembatalan akad sejak awal atau pembatalan sejak akad Iqalah dilakukan?
Contohnya: Budi membeli seekor ayam pada pukul 08.00 dari Agus, kemudian ayam tersebut bertelur pada pukul 09.00. Lalu Budi mengembalikan (melakukan Iqalah) ayam tersebut kepada Agus pada pukul 10.00, dan Agus setuju.
Berangkat dari contoh di atas, apakah akad Iqalah membatalkan semua akad sejak awal (sejak pukul 8) atau mengangkat akad ketika akad Iqalah dilakukan (sejak pukul 10)? Perbedaan dari pendapat ini bisa dirasakan ketika kita ingin melihat kepemilikan telur. Jika kita mengatakan bahwa akad Iqalah mengangkat semua akad sejak awal, maka telur tersebut adalah milik penjual (Agus) karena jika akad dibatalkan sejak awal, maka pada hakikatnya kepemilikan pembeli (Budi) terhadap ayam tidak pernah terjadi, begitu pula dengan telurnya.
Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa akad Iqalah membatalkan akad sejak akad Iqalah dilakukan maka telur tersebut milik pembeli (Budi), karena sebelum Iqalah, ayam tersebut berada dalam kepemilikan pembeli (Budi), hanya saja kemudian ayam tersebut dikembalikan kepada penjual (Agus). Adapun telur tetap bersama pembeli (Budi) karena telur tersebut ada pada waktu kepemilikan pembeli (Budi).
Sebagai penutup, pendapat resmi dalam Mazhab Syafii adalah bahwasanya Iqalah merupakan pembatalan sejak akad Iqalah dilaksanakan, dan bukan pembatalan semua akad dari awal.
Perlu juga diketahui bahwa bukan hanya pihak pembeli saja yang dapat mengajukan Iqalah, namun pihak penjual juga bisa mengajukan hal yang sama. Wallahu A’lam.