5. Haji dan Ittiba
HAJI DAN ITTIBA’
(Oleh : H. Salahuddin Guntung, Lc.,M.A.)
Di samping shalat, ibadah haji termasuk salah satu di antara dua ibadah yang secara spesifik ditegaskan harus mengikuti praktek yang dicontohkan oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam. Terkait dengan tata cara pelaksanaan shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Kerjakanlah shalat sebagaimana kalian melihat aku shalat”. (HR. Bukhari).
Sedang dalam pelaksanaan ibadah haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ
“Agar kalian mengambil cara pelaksanaan haji kalian, karena sesungguhnya aku tidak tahu, mungkin aku tidak dapat melakukan haji lagi setelah hajiku ini”. (HR. Muslim).
Mengikuti tata cara Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam beribadah kepada Allah, dalam bahasa Arab disebut dengan ittiba’ atau mutaba’ah Rasulullah.
Pengertian Ittiba’
Secara etimologi, Ittiba’ berarti mengikuti, menyusul, meniti, meniru, dan mencontoh sesuatu. Dalam ensiklopedi Lisan al-Arab digambarkan ittiba’ dalam bentuk seseorang yang berjalan di depan Anda, lalu Anda ikut berjalan di belakangnya.
Sedang menurut terminologi, ittiba’ diartikan sebagai upaya mencontoh dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berbagai hal, mencakup akidah, perkataan, dan perbuatan, bahkan dalam hal meninggalkan sesuatu perkara. Dengan cara meniru apa yang diyakini Nabi, menyatakan dan melakukan suatu perbuatan sesuai dengan pernyataan dan perbuatan Nabi, dalam arti bahwa perkataan dan perbuatan kita sejalan dengan perkataan dan perbuatan beliau dan tidak terdapat penyelisihan di dalamnya.
Dalam melaksanakan ibadah haji misalnya, seseorang yang melakukan ibadah tersebut harus benar-benar berusaha mengikuti tata cara manasik yang telah dipraktikkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu dan tempat yang telah ditetapkan. Mulai sejak fase persiapan hingga tahap akhir pelaksanaan ibadah tersebut. Tata cara tersebut telah diriwayatkan oleh para sahabat yang ikut menyertai beliau dalam haji wada’ yang berlangsung pada tahun 10 H. Tata cara tersebut dapat dipelajari dan diakses dengan berbagai cara, baik melalui buku, kaset, CD, internet, juga melalui majelis taklim, diskusi, serta bertanya kepada para ulama dan du’at, ataupun cara lainnya.
Selain keikhlasan, Ittiba’ juga merupakan salah satu di antara dua syarat utama diterimanya suatu ibadah di sisi Allah. Keikhlasan dan ittiba’ dalam beribadah kepada Allah tidak hanya berlaku dalam pelaksanaan ibadah haji dan shalat saja, tetapi kedua persyaratan ini harus terpenuhi dalam semua bentuk dan jenis ibadah. Kedua syarat tersebut merupakan persyaratan umum dan berlaku bagi semua ibadah, di samping syarat-syarat tertentu lainnya yang spesifik bagi masing-masing ibadah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ibadah selain shalat dan haji tidak terdapat seruan khusus untuk mengikuti praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam pelaksanaannya, tetapi ketentuan ini ditetapkan dalam dalil-dalil umum lainnya, seperti firman Allah yang artinya:
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali Imran: 31).
Dan firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan bahwa (yang Aku perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. (QS. Al-An’am: 153).
Dan firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (QS. al-A’raf: 3).
Juga firman Allah Ta’ala yang atinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab: 21).
Makna Ittiba’ Dalam Setiap Ibadah
Ittiba’ atau mutaba’ah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam suatu amalan tidak akan terwujud kecuali jika sejalan dengan syariatnya dalam enam hal; sebab, jenis, jumlah, kaifiat (tata cata), waktu dan tempatnya.
Dari segi sebab, ibadah yang dilakukan harus sejalan dengan sebab yang menjadi momentum disyariatkannya ibadah tersebut, seperti shalat tahiyatul masjid dikerjakan saat masuk ke dalam masjid, shalat pasca thawaf dilakukan karena telah melakukan thawaf, thawaf wada’ karena akan berpisah dan meninggalkan Mekkah, puasa Asyura’ sebagai rasa syukur atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun, dan sebagainya. Ibadah yang memiliki sebab tertentu hendaknya dijalankan sesuai dengan sebab yang melatari dan menyebabkan ibadah tersebut disyariatkan. Tidak boleh melakukan apalagi merutinkan ibadah tertentu dengan sebab tertentu tanpa ada tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dalamnya, misalnya rutin mengerjakan shalat dua rakaat setiap masuk rumah, shalat tersebut tertolak dan tidak boleh dikerjakan karena dilatari oleh sebab yang tidak digariskan oleh syariat, padahal asalnya shalat itu ibadah yang disyariatkan, tetapi shalat pada contoh tersebut dilarang karena dilatari oleh sebab yang tidak digariskan oleh syariat.
Dari segi jenis, hendaknya jenis ibadah yang dilakukan sesuai dengan jenis yang ditentukan oleh syariat. Seperti dalam hal melontar jumrah, hendaknya jenis yang dilontar adalah batu kerikil, bukan benda lain, sehingga tidak boleh melontar benda-benda seperti sepatu, sandal, payung, botol dan semacamnya. Dalam hal menyembelih hadyu/dam dan udhiyah, hendaknya jenis hadyu dan udhiyah yang disembelih berupa unta, sapi, atau kambing, tidak boleh jenis hewan lainnya seperti kuda, gajah, zebra, dan semacamnya.
Dari segi jumlah, hendaknya ibadah yang telah ditentukan jumlahnya mengikuti jumlah yang telah ditetapkan syariat. Seperti jumlah thawaf di sekeliling Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwah yang masing-masing hanya tujuh kali, jumlah kerikil yang dilontar pada setiap jumrah hanya tujuh biji, tidak boleh mengurangi atau menambahkannya. Jumlah raka’at masing-masing shalat lima waktu, basuhan dan cucian anggota wudhu, bilangan tasbih, hamdalah, dan takbir ba’da shalat, dan sebagainya hendaknya sesuai dengan jumlah yang digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Juga tidak membatasi jumlah tertentu bagi ibadah yang bersifat mutlak, seperti zikir, doa, tilawah Al-Quran, puasa sunah, sedekah nafilah (sunah) dan lain-lain yang tidak dibatasi jumlahnya. Karena membatasi ibadah-ibadah mutlak seperti itu dengan jumlah tertentu merupakan tindakan yang melampaui wewenang Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai pembuat syariat.
Dari segi kaifiat (tata cara), hendaknya ibadah yang dilakukan sesuai dengan kaifiat dan tata cara yang contohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya seseorang berwudu dan memulainya dengan mencuci kedua kaki, lalu membasuh kepala, kemudian mencuci kedua tangan dan ditutup dengan mencuci wajah, maka kita akan katakan bahwa wudu orang tersebut batal, tidak sah, karena tidak sesuai dengan kaifiat wudu yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun ia telah mencuci dan membasuh anggota wudu yang harus dicuci ataupun dibasuh.
Dari segi tempat, ibadah yang telah ditentukan tempatnya, hendaknya dikerjakan pada tempat yang telah ditentukan. Seperti, berihram, thawaf, sa’i, wukuf, i’tikaf, dan sebagainya, hendaknya dilakukan pada tempat yang digariskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari segi waktu, ibadah yang telah ditetapkan waktunya, harus dikerjakan pada waktu yang telah ditetapkan. Seperti, ibadah haji, puasa Ramadhan, shalat lima waktu, hendaknya dikerjakan pada waktunya masing-masing. Tidak memajukan atau memundurkannya kecuali jika ada uzur dan harus sesuai dengan ketentuan syariat yang terkait dengannya.
Bahaya Melakukan Ibadah yang Tidak Dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Melakukan suatu ibadah yang tidak diyariatkan oleh Allah dan Rasulullah atau ibadah yang pada dasarnya telah disyariatkan namun dikerjakan diluar dari enam ketentuan di atas, maka ibadah tersebut termasuk bid’ah yang sangat terlarang dalam agama.
Bid’ah adalah segala yang diada-adakan dalam agama tanpa berdasar pada suatu dalil. Suatu perkara tidak dapat dikategorikan sebagai bid’ah kecuali jika didalamnya terdapat tiga unsur secara kolektif. Yaitu, mengadakan sesuatu yang baru, menyandarkan sesuatu yang baru tersebut kepada agama, dan hal baru yang diadakan tersebut tidak memiliki dalil syariat, baik yang bersifat khusus ataupun yang bersifat umum.
Bid’ah dalam bidang ibadah dan bidang-bidang agama lainnya sangat tegas ditolak dan dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak sabdanya, antara lain:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Dan jauhilah perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena sesungguhkan perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan semua bid’ah itu sesat”.(HR. Abu Daud).
Dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini yang bukan bagian daripadanya maka hal itu tertolak”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam redaksi yang lain dikatakan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak aku perintahkan, niscaya amalan tersebut tertolak”. (HR. Muslim).
Ibadah yang bid’ah, selain beresiko ditolak oleh Allah dan divonis sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di dalamnya juga ada pendustaan terhadap Allah yang menegaskan bahwa agama ini telah sempurna, sehingga tidak perlu diinovasi dan ditambah dengan ibadah baru atau cara baru dalam melakukan ibadah. Sedang Allah telah menegaskan dalam Al-Quran yang artinya:
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah: 3).
Jalan Menuju Ittiba’
Jika ittiba’ dalam beribadah itu dipahami sebagai upaya mencontoh dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedang kita belum pernah bertemu dan melihat langsung Rasulullah dalam melakukan suatu ibadah, maka jalan utama untuk mengetahui dan memahami tata cara ibadah yang pernah dipraktikkan dan diajarkan Rasulullah adalah mempelajari dan mengkaji ajaran agama yang tertuang dalam sunnah-sunnahnya.
Mengkaji dan mempelajari agama merupakan kewajiban individu setiap muslim. Utamanya kewajiban yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar dalam bidang aqidah, ibadah, dan muamalah yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari.
Karena setiap muslim dituntut beramal dan beribadah, sedang amal dan ibadah itu harus didahului dengan ilmu sebagaimana ditegaskan Imam Bukhari “Ilmu itu didahulukan sebelum berbicara dan beramal”, maka apabila seseorang ingin mengerjakan shalat, maka terlebih dahulu ia harus mempelajari tata cara bersuci dan shalat. Apabila ingin berpuasa, maka terlebih dahulu ia harus mengkaji hukum-hukum puasa dan bulan Ramadhan. Apabila ia memiliki harta yang banyak hingga mencapai nishab (batas minimal kewajiban) dan masuk haulnya (1 tahun), maka ia harus mempelajari hukum-hukum zakat. Dan apabila musim haji tiba, sedang ia telah memiliki kesanggupan dan ingin menunaikan ibadah haji, maka ia harus mempelajari hukum-hukum manasik haji. []