17. Haji dan Bahaya Maksiat
HAJI DAN BAHAYA MAKSIAT
(Oleh : H. Bashran Yusuf, Lc., M.A., Ph.D.)
Ibadah Haji adalah ibadah yang sarat dengan penggemblengan jiwa, penyucian hati, dan pembentukan kepribadian dalam setiap sisi manasik yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka sangat diharapkan setelah pelaksanaan ibadah ini seseorang bisa menjadi manusia paripurna dalam kepribadiannya dan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jaminan surga yang Allah sampaikan lewat lisan RasulNya hanya pantas bagi mereka yang telah melaksanakan rukun Islam yang kelima ini dengan baik. Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa yang melaksanakan haji dan dia tidak berkata-kata kotor, tidak berbuat cabul, dan tidak melakukan perbuatan maksiat maka dia kembali dari hajinya seperti hari ketika dia dilahirkan ibunya”.. (HR. Bukhari dan Muslim).
Senada dengan hadis di atas Allah berfirman yang artinya:
“Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. (QS. Al-Baqarah : 197).
Hadis dan ayat ini memberi kita pelajaran penting untuk diabadikan dalam kehidupan ubudiyah kita sepulang dari tanah suci:
- Melalui mahdzurat (larangan) ihram ibadah Haji mendidik kita untuk menjadi hamba yang tunduk terhadap aturan yang telah digariskan, takut melanggar muharramat (larangan) yang telah Allah tetapkan baginya, hamba yang menjaga diri dan selalu berhati-hati terhadap maksiat sekecil apapun.
- Larangan rafats dalam haji mengajari kita kesabaran dalam menahan hawa nafsu/syahwat yang senantiasa memantik api kejahatan. Allah berfirman yang artinya:
“…Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku”. (QS. Yusuf: 53).
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memalingkan wajah Al-Fadhl bin Abbas karena melihat wanita dari Khats’am yang mendatangi beliau untuk bertanya di saat haji, karena khawatir syetan akan terus bermain api diantara dua insan yang berbeda jenis ini.
- Larangan jidal (debat kusir, percekcokan, dsb) menginspirasi jamaah haji untuk memiliki kontrol diri dalam tutur kata, sehingga ia selalu memastikan adanya manfaat dari kata yang terucap dan menjauhi omong kosong, apalagi celotehan yang menyakitkan. Mu’adz bin Jabal pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa lantaran ucapan kita?”, beliau menjawab:
ثكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يُكِبُّ النَّاسَ عَلَى وُجُوهِهِمْ فِي النَّارِ، إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟
“Ibumu kehilangan dirimu wahai Mu’adz! bukankah yang menelungkupkan wajah manusia ke dalam api neraka kecuali hasil lidah-lidah mereka?”. (HR. Ibnu Majah).
- Konsekuensi melanggar aturan manasik haji menandakan bahwa Allah Maha Adil, tidak menzalimi seorangpun dari hambaNya. Siapapun yang melanggar aturan hidup, berarti siap menanggung resiko dan akibatnya. Jikalau belum mendapat ganjarannya, itu bukan berarti Allah lalai, namun Allah hanya menunda sampai tiba waktunya. Allah berfirman yang artinya:
“Apakah orang-orang yang berbuat kejahatanlmaksiat itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang beriman dan mengerjakan amal shalih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu”. (QS. Al-Jatsiyah : 21).
Definisi maksiat
Maksiat secara bahasa adalah lawannya ketaatan. Dalam istilah syar’i berarti menyelisihi perintah syariat, baik berupa melakukan larangan atau meninggalkan perintah. Ada beberapa sinonim dari kata maksiat, yaitu dosa (dzanb/itsm), kefasikan (fusuq), keburukan (sayyiah), dan kesalahan (khathiah). Semuanya bermuara pada keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
Para ulama membagi maksiat atau dosa menjadi dua; akbar (besar) dan asghar (kecil). Dosa besar ditandai dengan adanya hukuman tertentu di dunia, pelakunya dilaknat atau dimurkai oleh Allah, atau diancam dengan hukuman neraka. Adapun dosa kecil ialah dosa selain dosa besar. Namun ada kaidah Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Al-Lalikai yang patut kita waspadai, yaitu:
لَا كَبِيرَةَ مَعَ الِاسْتِغْفَارِ، وَلَا صَغِيرَةَ مَعَ إِصْرَارٍ
“Tidak ada dosa besar bersama istighfar, dan tidak ada dosa kecil jika bersama terus-menerus” Maksudnya, jika seseorang beristighfar dengan tulus, maka Allah akan mengampuni dosa yang ia lakukan meskipun besar. Sebaliknya, jika seseorang meremehkan dosa kecil dan melakukannya secara terus-menerus, maka tidak mustahil akan menjadi dosa besar.
Untuk mengenali dosa atau maksiat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan tipsnya untuk kita melalui sabdanya:
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Kebaikan adalah akhlak yang mulia, sedangkan dosa adalah segala apa yang terbersit dalam dadamu sementara engkau tidak suka jika orang lain melihatnya”. (HR. Muslim).
Bahaya maksiat
Allah tidak melarang sesuatu melainkan pasti ada bahaya di dalamnya. Ibnul Qayyim menyebutkan dampak negatif dan bahaya maksiat tersebut, di antaranya:
- Terhalang dari ilmu, karena ilmu adalah cahaya dan maksiat bisa memadamkannya.
- Terhalang dari rizki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
“Sesungguhnya seseorang akan terhalang dari rizki lantaran dosa yang dilakukannya”. (HR. Ahmad).
Kalaupun ada orang yang bergelimang kemaksiatan namun Allah masih memberinya kekayaan, maka itu bukanlah kenikmatan baginya tetapi istidraj atau penguluran dari Allah. Allah berfirman yang artinya:
“Jangan sekali-kali engkau terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah jahannam, dan jahannam itu tempat seburuk-buruknya”. (QS. Ali Imran : 196-197).
- Ketidaknyamanan dan kegelapan dalam hati. Para salaf mengatakan, “Ketika aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat dampaknya pada tunggangan dan istriku”.
- Dosa akan melahirkan dosa yang lain. Para salaf berkata, “Di antara hukuman dosa adalah dosa setelahnya, dan di antara pahala kebaikan adalah kebaikan setelahnya”.
- Melemahkan keinginan untuk bertaubat dan berbuat kebaikan. Semakin banyak orang bermaksiat semakin lemah dirinya di hadapan ketaatan, hatinya pun menjadi keras dan dihinggapi kehinaan. Allah berfirman yang artinya:
“Sekali-kali tidak, namun apa yang mereka lakukan telah menutupi hati mereka”. (QS. Al-Muthaffifin : 14).
- Kesempitan hidup di dunia dan di akhi Allah berfirman yang artinya:
“Dan barang siapa berpaling dari mengingatku, maka baginya penghidupan yang sempit dan akan Kami kumpulkan dia di hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Thaha : 124).
Ketaatan selama ibadah haji
Jika kita memperhatikan secara seksama manasik haji yang dilalui oleh setiap tamu-tamu Allah, maka kita akan dapatkan setiap niat, langkah, ucapan, dan gerak-geriknya sangat terjaga. Sejak berniat untuk menunaikan ibadah suci ini terasa ada benteng cahaya iman yang menjaganya untuk tidak mengusik keimanan dengan kemaksiatan.
Ketika memakai pakaian ihram bagi jamaah laki-laki, tersingkaplah keterbatasan kita sebagai seorang hamba yang lemah, yang akan pulang menghadap kepadaNya dengan sepasang kain kafan. Nuansa putih dari kain ihram ini semakin menambah keteduhan jiwa seorang tamu Allah.
Saat meninggalkan kampung halaman menuju baitullah dengan bekal seadanya semakin menegaskan bahwa dunia ini akan ditinggalkan dengan segala pahit dan manisnya. Ketika memulai talbiyah setelah melewati miqat serasa hati ini diselimuti sejuta perasaan haru yang membuat sebagian tamu-tamu Allah tak kuasa menahan derai air mata. Kalimat Talbiyah yang berisi pengesaan jiwa dan hati untuk tunduk dan taat atas setiap titah Allah Dzat Yang Maha Esa, karena sesungguhnya Dialah pemilik segala pujian atas nikmat yang dikaruniakan kepada semua makhlukNya, kerajaan langit dan bumi berada dalam genggamanNya. Seakan tak ada lagi tempat dalam hati ini kecuali dzikrullah saja, maksiat terasa lari dari hati sanubari.
Hajar Aswad (Batu Hitam), tempat jamaah memulai thawaf menjadi sarana renungan penting untuk setiap jiwa akan bahaya dosa dan maksiat yang bisa menghitamkan sebuah batu putih yang diturunkan dari surga. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
نَزَلَ الحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الجَنَّةِ، وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ
“Hajar Aswad turun dari surga yang (awal kali turunnya) lebih putih dari susu kemudian dosa anak cucu Adam yang menghitamkannya”. (HR. Tirmidzi).
Mulai Rukun Yamani mulailah bibir ini bermunajat sambil berjalan, kiranya Allah memberikan yang terbaik dalam perkara dunia dan akhirat serta menjaga dari azab api neraka.
Demikianlah tamu Allah ini berpindah dari satu ketaatan kepada ketaatan yang lain. Gelora iman dan semangat amal shalih dengan kebersamaan yang tinggi menjadikan suasana rohani yang kondusif semakin menyempitkan jalan syetan dalam mengelabuhi anak cucu Adam.
Ibadah haji ibarat madrasah yang mendidik kita hidup dengan aturan dan janji Allah, terlalu berharga jika tidak meninggalkan bibit ketaatan dalam diri, untuk kita semai dan sirami di tanah air, demi kita petik buahnya di surga Allah kelak. Selamat datang ketaatan! Selamat tinggal kemaksiatan! []
Jazakallah khairan. Apakah ada doa yang bisa diamalkan agar dijaga Allah untuk tidal kembali melakukan dosa besar setelah pulang haji. Saya takut kembali ke maksiat lagi setelah haji