Sifat-sifat Hamba Ar-Rahman (Sifat Kesembilan)
وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ
“Dan, orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.” (QS. Al-Furqān : 72)
Ayat ini mengandung dua makna yang tidak kontradiktif, yaitu :
Pertama, menyaksikan. Yaitu mereka tidak menyaksikan dan menghadiri kemungkaran, tidak mendatanginya, tidak ikut serta di dalamnya, tidak menerima kemungkaran itu, mereka pun mengingkarinya sebagaimana yang Allah firmankan melalui lisan Nabi Luth ‘alaihissalam,
وَتَأْتُوْنَ فِيْ نَادِيْكُمُ الْمُنْكَرَ
“…dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” (QS. Al-‘Ankabūt : 29).
Syirik pun termasuk di dalamnya, demikian pula hal yang sia-sia, dusta, ucapan kotor, nyanyian, dan mabuk-mabukan. Dalam sebuah hadis disebutkan,
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا بِالْخَمْرِ
“…dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah duduk di dekat meja yang di atasnya diedarkan khamar.”([1])
Kedua, persaksian, mereka tidak memberikan persaksikan palsu dalam sengketa dan permasalahan untuk mendapat sekelumit bagian dunia ini, kecintaan orang lain, atau karena rasa takut.
Nabi mengagungkan permasalahan persaksian palsu ini, sebagaimana yang disebutkan dalam As-Saḥīḥain, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ -ثَلَاثًا-؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ، وَجَلَسَ، وَكَانَ مُتَّكِئًا، فَقَالَ :أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ، قَالَ: فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ.
“Apakah kalian mau aku beritahu dosa besar yang paling besar?” Beliau menanyakannya tiga kali.
Mereka menjawab, “Mau, wahai Rasulullah”.
Beliau pun bersabda, “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua”. Lalu beliau duduk dari sebelumnya bersandar kemudian melanjutkan sabdanya, “Ketahuilah, juga ucapan dusta (persaksian palsu)”. (Abu Hurairah) berkata, “Beliau terus saja mengatakannya berulang-ulang hingga kami mengatakan, “Duh sekiranya beliau diam’.”([2])
Ibnu Kaṡīr rahimahullah berkata, “Makna yang paling tampak berdasarkan susunan kata pada ayat ini ialah mereka tidak menghadiri kemungkaran. Oleh sebabnya, Allah berfirman,
وَاِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا
“…serta apabila mereka berpapasan dengan (orang-orang) yang berbuat sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.” (QS. Al-Furqān : 72). Yakni mereka tidak menghadiri kemungkaran dan bila mereka kebetulan melewati kemungkaran itu, mereka hanya lewat dan tidak tercemar oleh kemungkaran itu sedikit pun. Olehnya, Allah mengatakan,
وَاِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا
“…serta apabila mereka berpapasan dengan (orang-orang) yang berbuat sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.” (QS. Al-Furqān : 72).([3])
Hamba-hamba Ar-Rahman menarik diri ketika bercampur dengan orang-orang yang membawa kerusakan, kesesatan, hal yang tidak bermanfaat, dam sia-sia. Mereka menjauhi mereka dan tempat di mana mereka berkumpul dikarenakan Allah telah menjadikan di dalam hati mereka kesadaran menjaga diri, kehormatan, dan kemuliaan. Mereka jauh dari sifat kekanak-kanakan, hal yang sia-sia dan rendah.
([1]) HR. Tirmizi (2801) dan Ahmad (125), dihasankan oleh Al-Albāni.