Sebuah Nasehat untuk Menjadi Manusia Terkuat
Setan tidak pernah lelah untuk menyesatkan manusia. Banyak cara yang dilakukan oleh setan untuk mengiring manusia ke jurang kesesatan itu. Kesesatan yang nantinya akan menjadi sebab kehancuran bagi manusia tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Kesesatan yang nantinya akan merugikan dirinya sendiri dan juga merugikan orang lain. Di antara jalan-jalan kesesatan tersebut adalah marah.
Lebih dari sekali Rasulullah—shallallahu ‘alayhi wasallam—menyebutkan perihal marah. Beliau tak hanya memperingati hal tersebut namun juga beliau menjelaskan mengenai balasan apabila dapat menahan amarah. Di antara wasiat Rasulullah—shallallahu ‘alayhi wasallam—mengenai marah terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Ahmad, dan Imam Tirmidzi. Abu Hurairah—radhiyallahu ‘anhu—mengisahkan dalam hadis ini bahwa salah seorang di antara para sahabat —radhiyallahu ‘anhum ajma’in—datang meminta nasehat kepada Nabi—shallallahu ‘alayhi wasallam. Beliau menasehatkan dengan nasehat ringkas agar jangan marah. Berkali-kali sahabat ini mengulang permintaannya, berkali-kali pula Nabi—shallallahu ‘alayhi wasallam—hanya menasehatkan agar janganlah ia marah.
Banyak hal yang bisa dipetik dari nasehat Nabi —shallallahu ‘alayhi wasallam—di atas. Lukmanul Hakim dalam artikelnya (Tahanlah Amarahmu!, 2020) menyatakan bahwasanya maksud dari hadits ini adalah larangan melampiaskan kemarahan dengan kata-kata dan perbuatan jika seseorang dikuasai oleh marah, sebab ada potensi untuk terjatuh dalam maksiat jika seseorang berbicara dan berbuat atas dasar marah. Jadi, yang dilarang bukanlah sifat marahnya, melainkan melampiaskan konsekuensi kemarahan tersebut dengan ucapan ataupun perbuatan. Adapun marah merupakan sifat dan tabiat yang Allah ciptakan bagi manusia. Maka tidak mungkin memisahkan manusia dengan tabiatnya.
Di sisi lain, Nabi —shallallahu ‘alayhi wasallam—memberikan gelar bagi orang yang mampu menahan amarahnya adalah orang yang kuat. Padahal, sebagian manusia menjadikan kekuatan fisik sebagai indikator seseorang diberikan predikat kuat. Berkaitan dengan hal ini, Nabi—shallallahu ‘alayhi wasallam—dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bersabda bahwa, ”Orang kuat bukanlah orang yang pandai bergulat. Justru, orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika ia marah.” Setidaknya, seseorang ketika sedang marah melawan dua musuh yaitu dirinya sendiri dan setan yang terus memanasinya untuk berbuat kerusakan. Maka ia berhak untuk mendapatkan predikat tersebut.
Bahkan, Allah menyebutkan orang yang dapat menahan amarahnya merupakan ciri dari orang yang bertakwa dan patut diganjar dengan surga dan ampunan-Nya. Allah menyebutkan hal tersebut pada surah Ali ‘Imran dari ayat 133 sampai ayat 134. Allah berfirman,
} وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ۞ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ }
“Dan bersegeralah kalian mencari ampunan dari Tuhan kamu dan memperoleh surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak tatkala dalam kondisi lapang maupun sempit, orang-orang yang menahan amarahnya, dan orang-orang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,”
Selain ayat di atas, Nabi —shallallahu ‘alayhi wasallam—juga pernah memberikan kabar gembira bagi para sahabatnya —radhiyallahu ‘anhum. Kabar gembira yang hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu menahan marahnya. Kabar gembira ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan selain beliau. Nabi —shallallahu ‘alayhi wasallam—bersabda, “Siapa yang mampu menahan amarah padahal ia mampu untuk meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di tengah para makhluk-Nya, hingga Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang sesuka hatinya.” Semoga taufik dan keselamatan selalu tercurah bagi penulis dan kaum muslimin.