Tatsqif

Ibadah Yang Membekas

Ibadah disyariatkan oleh Allah ta’ala demi indahnya suatu kehidupan. Sebab itu Allah ta’ala mensyariatkannya kepada manusia yang memiliki akal pikiran, agar kehidupan mereka bisa tegak dan berjalan sesuai dengan fitrah mereka sendiri, bahkan mereka tidaklah diciptakan melainkan untuk mewujudkan hakikat ibadah ini sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.” (QS Adz-Dzariyyat: 56).

Oleh karena itu, ibadah dengan berbagai jenis dan ragamnya hendaknya dijadikan sebagai tugas utama dan perhatian terbesar kita dalam kehidupan ini, bukan malah sebaliknya dijadikan sebagai aktivitas sampingan yang hanya bisa dikerjakan ketika ada waktu luang saja.

Ibadah yang hanya dijadikan sebagai aktivitas sampingan akan berbuah kesia-siaan dan pelakunya tidak akan mendapatkan buah positif apapun dari ibadah tersebut, sebaliknya ibadah yang dijadikan sebagai visi kehidupan mesti akan memberikan pengaruh yang sangat positif bagi kepribadian seorang muslim, dengan syarat memenuhi dua kriteria dalam proses pelaksanaannya yaitu:

  1. Ikhlas: yaitu suatu ibadah hendaknya dikerjakan dengan penuh keikhlasan karena mengharap keridhaan Allah ta’ala, bukan agar dilihat dan dipuji orang lain.
  2. Mutaba’ah: yaitu Ibadah yang dikerjakan tersebut harus benar yaitu sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Amal ibadah yang dikerjakan dengan memperhatikan dua kriteria inilah yang dijuluki oleh Allah sebagai “ahsanu ‘amalan” atau sebaik-baik amalan. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “(Sebaik-baik amalan): yang ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika dia benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam”.  (Hilyah Al-Auliya’: 8/95).

Dengan terpenuhinya dua kriteria ini dalam setiap langkah dan ibadah setiap mukmin, niscaya ibadah yang ia lakukan akan memberikan berbagai buah positif dan banyak pengaruh besar dalam kehidupannya, di antaranya:

  1. Adanya ketenteraman dan kebahagiaan jiwa di dunia dan akhirat.
Baca Juga  Pandangan Imam Syafi'i Terhadap Kehujahan Al-Qur'an Dan Sunnah

Betapa sering hati kita terasa tenteram dan tenang setelah berzikir mengingat Allah, dan betapa sering hati kita bahagia setelah menempelkan dahi ke lantai bersujud kepada-Nya dengan ikhlas, dan penuh rasa takut kepada-Nya.

Bila kita mengamati kehidupan manusia, maka cita-cita terbesar yang mereka kejar adalah kebahagiaan, namun pertanyaannya; Apakah jalan kebahagiaan itu hanya ada pada ketenaran, harta, pernikahan, dan pangkat yang mereka kejar? Fakta menunjukkan bahwa kabahagiaan jiwa hanya bisa diraih dengan ibadah dan kedekatan hubungan dengan Maha Pemberi kebahagiaan itu sendiri yang menggariskan jalan kebahagiaan dalam firman-Nya, artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (bahagia dunia akhirat) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl: 97).

Sebaliknya, orang yang berpaling dari ibadah, maka Allah menegaskan tentangnya: “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit (di dunia) dan Kami akan kumpulkan dia di hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaaha: 124).

Ketentuan rabbani dalam ayat ini adalah bahwasanya orang yang berpaling dari ibadah, dan dari ayat-ayat Allah ta’ala, akan diberikan kehidupan, namun hanyalah berupa kehidupan yang sempit yaitu tanpa merasakan ketenangan, bahagia dan kenyamanan, yang ia rasakan hanyalah penderitaan hati, kesedihan, kebingungan, kesibukan yang tiada habisnya dan tiada ketenteraman di dalamnya, ia akan terus hidup dengan kondisi seperti ini -meskipun ia adalah orang terkaya dan paling tinggi kedudukannya- hingga ajal datang menjemputnya. 

  1. Ibadah mewujudkan sifat taqwa.

Taqwa merupakan derajat iman yang paling tinggi, tidak semua mukmin bisa mencapai derajat ini kecuali orang-orang yang benar-benar bisa bersabar dalam menjalani ibadah dan ujian Allah ta’ala. Artinya: untuk mencapai suatu derajat yang tinggi, baik dalam urusan dunia apalagi akhirat, seseorang harus menjalani tes, ujian bahkan rintangan dalam melakukan ibadah dan ketaatan, bila bersabar dan berhasil melaluinya maka derajatnya akan terangkat, dan akan dimuliakan. Hal ini sangat jelas tergambarkan dalam berbagai jenis ibadah yang disyariatkan oleh Allah ta’ala. Di antaranya firman Allah ta’ala dalam hikmah dan tujuan diwajibkannya ibadah puasa: “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”. (QS Al-Baqarah: 183).

Baca Juga  Khutbah Jumat: Cintailah Nabimu

Ayat ini mengisyaratkan secara gamblang tentang hikmah dan tujuan utama syariat puasa ini yaitu agar meraih sifat taqwa, ketaqwaan ini tempatnya ada dalam hati dan merupakan pendorong seorang hamba untuk mengerjakan amal shalih dan menjauhi hal-hal selainnya.

  1. Ibadah menjauhkan seorang hamba dari berbagai perbuatan maksiat.

Ini sesuai firman Allah ta’ala yang artinya: “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.” (QS Al-‘Ankabut: 45).

Mengenai ayat ini, Ibnu ‘Aun rahimahullah menyatakan: “Bila engkau tengah shalat maka engkau tengah berada dalam perbuatan yang baik, sehingga ia menghalangimu dari amalan keji dan mungkar”. (Tafsir Ibnu Katsir: 7/82).

Shalat dan ibadah lainnya sangat berperan membangkitkan semangat seorang mukmin untuk mengerjakan berbagai amalan shalih dan memutus hubungan dirinya dengan amalan maksiat dan dosa. Para salaf berkata: “Sungguh hukuman perbuatan maksiat yang disegerakan adalah adanya maksiat lain setelahnya, dan ganjaran kebaikan yang disegerakan adalah adanya amalan baik yang dikerjakan setelahnya”.

  1. Adanya keberkahan umur dan rezeki.

Ibadah sangat berperan penting dalam memberikan keberkahan terhadap umur dan rezeki seorang muslim. Keberkahan tersebut tidak diukur dengan banyaknya rezeki atau panjangnya umur, namun terlukis dalam penggunaan rezeki dalam jalan yang baik dan membuahkan berbagai pahala di sisi Allah, serta penggunaan umur kehidupan ini dengan amal ibadah. Sebab umur manusia yang hakiki adalah masa-masa amalan shalih dan ketaatan, selainnya maka dianggap sebagai masa kematian. Keberkahan rezeki dan umur ini sangat memberikan manfaat bagi manusia ketika di akhirat kelak karena harta, amalan dan waktu mereka akan dihisab dengan hisab yang sangat ringan. Hal ini bisa didapatkan dalam fadhilah beberapa amalan di antaranya fadhilah silaturrahim sebagaimana pada hadis: “Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturrahim-nya”. (HR Bukhari).

  1. Mendapatkan kemudahan dalam berbagai urusan.
Baca Juga  Interaksi Salaf Dengan Al-Quran

Allah ta’ala berfirman, artinya: “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikannya untuknya jalan keluar dan Allah akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) 

Hal ini juga merupakan salah keutamaan istighfar, dalam hadis: “Barang siapa yang senantiasa beristighfar niscaya Allah akan menjadikan baginya kelapangan dari segala kegundahan yang menderanya, jalan keluar dari segala kesempitan yang dihadapinya dan Allah memberinya rizki dari arah yang tidak ia sangka-sangka.” (HR. Abu Daud: 1518, dan Ibnu Majah: 3819).

Semoga lima pengaruh ibadah dalam kehidupan seorang mukmin ini bisa terwujudkan dalam kehidupan kita semua, aamiin, sebab dengannya seorang mukmin akan mendapatkan janji Allah ta’ala: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (bahagia dunia akhirat) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl: 97).

Maulana Laeda, Lc., M.A., Ph.D.

Doktor Bidang Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?