Motivasi Islami

Bunda Wanita Tersuci

Hari itu, rumah yang tak jauh dari naungan Kakbah itu tengah diselimuti rasa bahagia. Rasa bahagia ini laksana oase segar yang muncul dalam saat-saat berat dan penuh kesulitan bagi para penghuni rumah itu dalam menghadapi intimidasi dan aksi radikalisme kaum Quraisy.

Ya, pernikahan bersejarah antara Rasulullah dengan Aisyah hari itu sangat membahagiakan rumah Abu Bakar sebagai sahabat karib sekaligus mertua bagi manusia termulia. Tentu saja, kadar terbesar dari kebahagiaan itu terpatri dalam diri Ummu Ruman, ibunda Aisyah yang senantiasa bersabar dalam mendidik Aisyah kecil.

Tak lama setelah pernikahan itu, kaum muslimin berbondong-bondong melakukan hijrah demi menyelamatkan agama dan keyakinan mereka ke Kota Madinah, termasuk Rasulullah yang ditemani oleh Abu Bakar. Setibanya di Madinah, Abu Bakar lalu meminta pada putranya, Abdullah bin Abu Bakar agar membawa serta Ummu Ruman, Aisyah, dan Asma’ ke Madinah.

Ummu Ruman bukan hanya berperan sebagai istri yang senantiasa mendampingi suaminya yang merupakan orang nomor 2 dalam perjuangan dan pengorbanan dakwah Islam, namun ia jugalah yang berperan besar membina dan mendidik Aisyah sehingga menjadi satu-satunya gadis yang pantas menjadi istri manusia termulia, Rasulullah, serta kelak menjadi wanita paling berilmu dan paling utama.

Demikianlah hendaknya seorang bunda mendidik putri-putrinya, ia harus berusaha agar mereka tidak hanya menjadi wanita-wanita yang sukses dalam pendidikan dan karir, tapi lebih dari itu moral dan akhlak mereka harus ditempa dan dibina agar menjadi para istri terbaik dan termulia bagi suami-suami mereka. Inilah yang dilakukan oleh Ummu Ruman; sebelum Rasul berkumpul dengan Aisyah dalam satu rumah di Madinah, ia memperbaiki moral dan etika Aisyah agar menjadi istri terindah bagi laki-laki termulia.

Baca Juga  Amar Makruf Nahi Mungkar Bukti Cinta Kepada Allah

Sebagai bunda yang penuh kasih sayang, Ummu Rumanlah yang menenangkan dan menguatkan hati putrinya itu tatkala desas-desus fitnah hubungan gelap antara Aisyah dan Shafwan bin Mu’aththal viral di seantero Madinah pasca perang Al-Muraisi’. Berita fitnah itu sengaja disebarkan oleh kaum munafikin dan turut pula digembar-gemborkan oleh sebagian sahabat Nabi yang tertipu dengan gosip keji itu.

Ketika Aisyah mengetahui bahwa pasca perang Al-Muraisi’, sekitar satu bulan Rasulullah tidak terlalu memperhatikan dirinya lantaran adanya gosip pengkhianatan dirinya itu, sementara wahyu dari Allah untuk menafikan kebenarannya belum sampai kepada Rasul; maka Aisyah pun jatuh sakit, dan lantas meminta izin kepada Rasulullah agar tinggal di rumah kedua orang tuanya; Abu Bakar dan Ummu Ruman. Tujuannya, agar dirinya bisa lebih mengetahui tentang seluk-beluk gosip tentang dirinya yang telah terlanjur viral itu.

Ketika tiba di rumah orang tuanya, Aisyah bertanya kepada Ummu Ruman, “Bu, apa yang diceritakan orang-orang tentang diriku?”

Mendengar pertanyaan putri cantiknya itu, dengan penuh ketabahan ia menjawab dengan jawaban bunda yang benar-benar cerdas, “Putriku, jangan terlalu menganggapnya besar! Demi Allah, sungguh kalau ada wanita mulia yang diperistri oleh suami yang sangat mencintainya sementara ia memiliki banyak madu, maka dirinya pasti akan diganggu oleh mereka.”

“Subhanallah! Apakah orang-orang sudah menyebarkan hal ini?!” Respon Aisyah.

Lalu dirinya pun menangis satu hari dua malam, hingga air matanya mengering dan tak bisa memejamkan mata.

Ketika wahyu Allah (QS An-Nur ayat 11-21) telah turun kepada Rasulullah tentang kesucian Aisyah dari tuduhan keji itu, sembari tersenyum Rasulullah bersabda kepadanya yang saat itu duduk bersama ibu dan ayahnya, “Wahai Aisyah! Sungguh demi Allah, Dia telah menyucikanmu (dari fitnah)!”

Mendengar itu, Ummu Ruman berkata kepada putrinya itu, “Bangkitlah untuk menyalaminya (Rasulullah)!”

Dengan jawaban mantap, Aisyah berkata, “Saya tidak akan menyalaminya, karena saya tidak akan berterima kasih pada siapa pun kecuali kepada Allah.”[1]

Baca Juga  Nilai Waktu Bagi Seorang Muslim

Selain Aisyah, Ummu Ruman juga memiliki dua anak yang lain, keduanya laki-laki. Yang paling sulung adalah Ath-Thufail bin Al-Harits bin Sakhbarah Al-Azdiy, putra dari suami pertamanya, Al-Harits bin Sakhbarah. Suami pertamanya ini merupakan sahabat akrab Abu Bakar. Ketika Al-Harits wafat, Abu Bakar menikahi istrinya, Ummu Ruman sebagai bentuk penghargaan terhadap sahabat karibnya tersebut dalam menjaga dan menafkahi mantan istri dan putranya, Ath-Thufail.[2] Ath-Thufail ini juga merupakan salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya saja informasi tentang biografi beliau sangat minim.[3]

Adapun putra keduanya ialah Abdurrahman, anak pertamanya dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan kakak kandung Aisyah. Di awal keislaman, Abdurrahman tampaknya tidak masuk Islam bersama kedua orang tua dan saudara-saudarinya yang lain. Ia baru masuk Islam menjelang Fath Mekah, dan menjadi seorang sahabat yang sangat saleh. Selain itu, putra sulung Abu Bakar ini juga merupakan salah satu ksatria para sahabat, dan jago memanah. Dalam perang Yamamah, ia sukses membunuh tujuh pembesar pasukan Musailimah Al-Kadzdab dengan bidikan anak panahnya, bahkan ia membunuh Muhakkim atau komandan pasukan Yamamah dengan bidikan panah yang melewati celah benteng lantas menembus lehernya.[4]

Atas dasar segala perjuangan dan pengorbanannya dalam dunia dakwah dan hijrah, serta pembinaan kepribadian Aisyah agar menjadi istri terindah sang baginda; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tampaknya sangat merasa berutang budi pada dirinya. Sebab itu, ketika Ummu Ruman wafat sekitar tahun 9 atau 10 H, beliau turut serta turun ke dalam lubang kuburnya untuk untuk menempatkan Ummu Ruman di pembaringan terakhirnya[5]. Beliau lalu berdoa, “Ya Allah, saksikanlah! Sungguh, tidak tersembunyi darimu apa yang menimpa Ummu Ruman dalam perjuangan demi-Mu dan demi Rasul-Mu.”

[6]

Baca Juga  Anda Cerminan Temanmu

Beliau juga bersabda, “Siapa yang ingin menyaksikan wanita dari kalangan bidadari, maka hendaknya melihat Ummu Ruman.” [7]

Sungguh bahagia akhir kehidupan Ummu Ruman yang diantar oleh kekasih Allah hingga di dalam lubang pembaringan terakhirnya. Hanya 5 sahabat yang mendapatkan kemuliaan ini, di antaranya ialah Khadijah dan Ummu Ruman. Ini tak lain kecuali besarnya jasa mereka terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

[1] . HR Bukhari (5/198-201)

[2] . Lihat: Ath-Thabaqat Al-Kubra (8/216)

[3] . Lihat biografinya di Al-Ishabah (3/421-422)

[4] . Lihat: Al-Isti’ab (2/824) dan Al-Ishabah (4/275).

    Lihat biografi Abdurrahman dalam Al-Isti’ab (2/824-826), Usudul-Gabah (3/462) dan Al-Ishabah (4/274-276).

[5] . Ath-Thabaqat Al-Kubra (8/216)

[6] . Al-Isti’ab (4/1936)

[7] . Ath-Thabaqat Al-Kubra (8/216)

Maulana Laeda, Lc., M.A., Ph.D.

Doktor Bidang Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?