Raihlah Surga dengan Berhaji ke Baitullah
Masuk surga bagi seorang mukmin tidaklah semudah membalikan telapak tangan, namun perlu ada pengorbanan dan kesungguhan. Di antara mereka ada yang ahli salat; dia akan masuk surga melalui pintu salat, ada yang ahli jihad; dia akan masuk surga melalui pintu Jihad, ada yang ahli sedekah; dia akan masuk surga melalui pintu Sedekah, ada yang ahli puasa; dia akan masuk surga melalui pintu Rayyan.[1] Ahli di sini, maksudnya orang tersebut selalu dalam ketaatan dan sering melakukan amal tersebut.[2]
Namun ada golongan yang bisa masuk surga dengan cara melakukan ibadah tertentu walaupun hanfya sekali seumur hidup, di antaranya berhaji ke Baitullah, dengan menyandang predikat Haji Mabrur. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
“Haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga” [HR. Bukhari dan Muslim].[3]
Lalu bagaimana cara mendapatkan haji yang mabrur?
Haji yang mabrur dapat kita raih dengan memenuhi kriteria – kriteria berikut ini:
Pertama: Berhaji ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala; hanya mengharap pahala dari-Nya, bukan untuk pamer, bukan mengharap pujian manusia, dan bukan juga karena ingin dipanggil oleh masyarakat “Pak Haji” ataupun “Bu Haji”. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
ﱡوَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًاﱠ
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana” [QS. Ali Imran: 97].
Allah ta’ala juga berfirman:
ﱡوَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَﱠ
“Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan” [QS. Al – Bayyinah: 5].
Kedua: Ittiba’; yaitu (mengikuti) tata cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam berhaji. Beliau memerintahkan ummatnya untuk melakukan ibadah haji seperti apa yang diperintahkan dan dicontohkan olehnya;
لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ
“Hendaklah kalian mencontoh (ku) dalam melakukan manasik (haji) kalian” [HR. Muslim][4].
Termasuk ke dalam point ini penyempurnaan hukum-hukum haji; melaksankan seluruh rukun-rukun dan kewajiban-kewajibannya. Abu Abbas Al-Qurthubi berkata: “(haji mabrur) adalah haji yang yang ditunaikan seluruh hukum-hukumnya, sesuai dengan tuntunan syariat, dan dikerjakan dengan penuh kesempurnaan”[5].
Rukun-rukun haji ada empat: Ihram (niat) berhaji, wukuf di Arafah, tawaf Ifadhah, dan sai. Sedangkan kewajiban-kewajiban haji ada tujuh: Berihram dari miqat, wukuf di Arafah sampai terbenam matahari, mabit (bermalam) di Muzdalifah, mabit di Mina pada malam-malam tasyriq, melempar jumrah, tahallul (menggundul atau mencukur rambut), dan thawaf wada’.
Perlu diperhatikan, jemaah yang berhaji ifrad dan qiran cukup baginya thawaf dan sa’i sekali saja, sedangakan yang berhaji tamattu’ seperti yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, maka dia harus thawaf dan sa’i sebanyak dua kali, yang pertama untuk umrahnya, yang kedua untuk hajinya.
Ketiga: Harta yang halal; untuk berhaji ke Baitullah membutuhkan harta untuk bekal berangkat dan tinggal selama di tanah suci. Semua harta tersebut harus berasal dari sumber yang halal dengan cara yang halal; karena Allah subhanahu wata’ala tidak akan menerima haji seseorang yang memakai harta yang haram, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ، لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik” [HR. Muslim][6].
Yang keempat: Menjauhi segala bentuk kemaksiatan dan perbuatan dosa. Hal ini sesuai dengan firman Allah ta’ala:
ﱡالْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّﱠ
“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah di maklumi, barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok, berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji” [QS. Al – Baqarah: 197].
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa yang berhaji ke Baitullah, lalu dia tidak berkata jorok dan tidak berbuat maksiat, maka dia akan kembali (suci) seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya” [HR. Bukhari dan Muslim].[7]
Ibnu Abdil Barr menyebutkan tentang haji mabrur: “haji yang tidak ada riya dan sum’ah, tidak ada perkataan kotor dan perbuatan maksiat di dalamnya, serta berasal dari harta yang halal”[8]. Dan Abu Muhammad Al-Baghawi juga menyebutkan: “(haji mabrur) adalah haji yang tidak tercampuri oleh segala macam perbuatan dosa”[9]. Hal itu akan menumbuhkan sifat-sifat yang mulia, baik dalam bentuk perbuatan maupun perkataan.
Termasuh ke dalam point ini menjauhi segala larangan-larangan ihram, dan menghindari hal-hal yang tidak ada dasarnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan kita kesempatan untuk berhaji ke Baitullah, dan menganugerahkan kemudahan dalam menunaikannya, serta mengaruniakan kita haji yang mabrur; haji yang bisa menghapus seluruh dosa-dosa kita, haji yang bisa memasukan kita ke dalam rida dan surga-Nya. Allahumma Amin.
[1] . (Shahih Bukhari: 1897, Shahih Muslim: 1027).
[2] . (Lihat: Syarh Shahih Muslim karangan An-Nawawi: 7/116).
[3] . (Shahih Bukhari: 1773, Shahih Muslim: 1349).
[4] . (Shahih Muslim: 1297).
[5] . (Al-Mufhim: 3/463).
[6] . (Shahih Muslim: 1015).
[7] . (Shahih Bukhari: 1819, Shahih Muslim: 1350).
[8] . (At-Tamhid: 22/39).
[9] . (Syarh as- Sunnah: 7/6).