Pandangan Imam Syafi’i Terhadap Kehujahan Al-Qur’an Dan Sunnah
Imam Syafi’i yang nama lengkapnya Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi‘ Al-Qurasyiy adalah sosok yang tidak asing bagi masyarakat muslim, terlebih lagi bagi kalangan terpelajar dan ulama Islam. Beliau dikenal sebagai sosok yang mampu mengkompromikan tren keilmuan Islam di masanya. Di zamannya, terdapat dua madrasah yang memiliki pengaruh besar di tengah umat, yaitu madrasah Ahlul-Hadits di Madinah yang dimotori oleh Imam Malik bin Anas dan madrasah Ahlur-Ra’yi yang dipelopori oleh murid-murid Imam Abu Hanifah di Irak. Imam Syafi’i telah berguru kepada tokoh sentral dari masing-masing madrasah tersebut.
Di usianya yang masih belasan tahun, beliau sempat berguru kepada Imam Malik setelah sebelumnya menghafalkan seluruh hadits dan atsar yang tertuang dalam kitab gurunya tersebut, Al-Muwaththa‘. Lalu setelah beliau bertugas sebagai hakim di Yaman, beliau ditakdirkan untuk berjumpa di Bagdad dengan Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibaniy yang merupakan satu di antara tokoh utama dalam mazhab Hanafi. Dari madrasah Ahlil-Hadits beliau mendalami ilmu hadits dan atsar. Dan dari madrasah Ahlir-Ra’yi, beliau mendalami nalar yang kuat dalam ber–istidlal.
Setelah beliau membuka halaqah ilmiyah di Mesjid Al-Jami’ Al-Garbiy di Bagdad, pengajiannya selalu ramai, tidak hanya dihadiri oleh para pelajar pemula, tetapi juga dihadiri oleh sejumlah ulama, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuwiyah, AbdurRahman bin Mahdi, Abu Tsaur, Husain Al-Karabisiy dan lainnya. Kedalaman ilmu dan keunikan metodenya dalam mengajar menyebabkan murid-murid yang berguru pada halaqah lainnya di mesjid tersebut akhirnya berpindah ke halaqahnya.
Di bidang naql, Imam Syafi’i sangat kuat berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah. Setiap pernyataannya disertai dengan dalil Al-Quran dan Sunnah. Setidaknya hal itu tergambar dari penuturan orang-orang yang dahulunya menentangnya, sebelum akhirnya menjadi murid utamanya. Imam Abu Tsaur menuturkan pengamalannya: “Tatkala Imam Syafi’I –radhiyallahu anhu– tiba di Irak, Husain Al-Karabisiy yang selalu ikut bersama saya berguru kepada ulama Ahlu-Ra’yi mendatangi aku dan mengajak aku mengejeknya. Ia mengatakan, ‘Telah datang seorang Ahlul-Hadits untuk belajar; mari kita mengejeknya.‘ Lalu kami pun mendatanginya, kemudian Husain bertanya kepadanya suatu masalah, dan dijawab oleh Syafi’i dengan terus-menerus mengatakan; Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda. Demikianlah jawabannya terus menerus hingga malam dan tempat tinggalnya menjadi gelap. Akhirnya kami meninggalkan bid’ah dan menjadi pengikutnya.” (lihat: Manaqib ASy-Syafi’i lil-Baihaqiy: 1/221).
Dan dalam bidang akal atau logika, beliau sangat kukuh dalam nalar hingga beliau berhasil menulis kitab Ar-Risalah sebagai karya yang gemilang dan menjadi pencetus disiplin ilmu ushul fiqh dengan kitab tersebut. Dalam setiap halaqah ilmiyah yang diasuhnya, tampak sekali ketajaman nalar fiqh dan kemampuan interpretasinya terhadap setiap nas Al-Quran dan Sunnah. Sewaktu Imam Ahmad berkunjung ke Mekah, setelah sebelumnya ia sempat mengikuti halaqah Imam Syafi’i di Bagdad, Ia rela meninggalkan halaqah Imam Sufyan bin ‘Uyainah dan konsen mengikuti halaqah Imam Syafi’i. Tidak hanya itu, bahkan ia mengajak Imam Ishaq bin Rahuwiyah dan Imam Al-Humaidiy, hingga mereka semua terpukau dengan ilmu dan metodenya lalu mereka menjadi muridnya. Bahkan Imam Al-Humaidiy akhirnya meninggalkan Mekah dan mendampingi Imam Syafi’i ke Mesir hingga Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H. (lihat: Adab Asy-Syafi’iy wa Manaqibuh li Ibn Abi Hatim, hal. 108-110).
Imam Syafi’i Senantiasa Mendahulukan Nas Al-Quran dan Sunnah
Imam Syafi’i sangat gigih mempertahankan posisi Sunnah Nabi sebagai sumber aqidah dan hukum, termasuk hadis Ahad, hingga beliau digelar sebagai Nashir As-Sunnah. Beliau menempatkan nas-nas Al-Quran dan Sunnah di atas segala-galanya. Tidak ada kata protes apalagi menolak dalam kamusnya. Karena Al-Quran dan Sunnah merupakan dasar pijakan aqidah dan hukum yang mengikat seorang muslim. Dalam kaitan ini, beliau pernah berkata,
الأصل قرآن وسنة، فإن لم يكن فقياس عليهما، . . . ولا يقال لأصل: لم ولا كيف، وإنما يقال للفرع: لم، فإذا صح قياسه على الأصل صح، وقامت به الحجة.
“Dasar dalil adalah Al-Quran dan Sunnah, jika tidak ditemukan maka qiyas kepada keduanya. . . . Tidak boleh suatu dasar diprotes dan dikatakan kenapa dan bagaimana! Pernyataan kenapa hanya dapat ditujukan kepada cabang (bukan dasar). Jika suatu cabang telah diqiyaskan kepada suatu dasar maka cabang tersebut telah valid dan hujah telah tegak.” (Lihat: Hilyah al-Auliya li Abi Nu’aim: 9/106).
Imam Syafi’i menolak setiap perkataan, pendapat ataupun logika yang melangkahi dan melampau nas Al-Quran dan Sunnah. Baginya, setiap perkataan dan perbuatan seseorang harus mengikut kepada Allah dan Rasulullah. Saat berbicara dalam konteks wajibnya seorang muslim taat sepenuhnya kepada Rasulullah, dengan tegas beliau katakan: “Hendaklah seorang muslim menyadari bahwa ketaatan tersebut tidak diberikan kepada makhluk selain kepada Rasulullah. Hendaknya setiap perkataan dan perbuatan seseorang mengikut kepada Kitabullah kemudian kepada Sunnah Rasul–Nya.“ (Lihat: Ar-Risalah, hal. 198-199).
Ketegasan Imam Syafi’i dalam menjunjung tinggi nas Al-Quran dan Sunnah Nabi yang sahih di atas segala-galanya telah diriwayatkan dan dituliskan oleh sejumlah ulama dalam kitab-kitab mereka. Antara lain; Ibnu Abi Hatim, Abu Nu’aim, Al-Lalakaiy, Abu Utsman Ash-Shabuniy, dan Al-Baihaqiy.
Penegasannya tidak hanya diterapkan kepada orang lain. Beliau minta penerapannya diberlakukan pada mazhab dan kitab-kitabnya. Di antara perkataannya yang masyhur dan turut disahihkan oleh Imam Nawawi adalah:
“إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا قولي“.
“Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka ambillah Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan tinggalkan pendapatku“. (Lihat: Manaqib Asy-Syafi’iy li Al-Baihaqiy: 1/472; Al-Majmu‘ Syarh Al-Muhadzzab li An–Nawawiy: 1/63).
قال الربيع بن سليمان: سمعت الشافعي -وذكر حديثا– فقال له رجل: تأخذ بالحديث. فقال لنا –ونحن خلفه كثير-: «اشهدوا أني إذا صح عندي الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم آخذ به فإن عقلي قد ذهب»
Rabi’ bin Sulaiman menuturkan bahwa pernah Imam Syafi’i membaca satu hadis lalu seseorang berkata kepadanya: Apakah Engkau mengambil hadis tersebut? Maka dengan tegas beliau menjawab, “Saksikanlah bahwa apabila hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berstatus sahih dalam pandanganku lalu aku tidak mengambilnya maka saksikanlah bahwa akalku telah tiada“. (Lihat: Hilyah Al-Auliya li Abi Nu’aim: 9/106).
Imam Al-Humaidiy menceritakan bahwa di Mesir Imam Syafi’i pernah meriwayatkan suatu hadis lalu seseorang bertanya kepadanya: Wahai Abu Abdillah; Apakah engkau mengambil hadis ini? Maka dengan tegas beliau menjawab, “Apakah engkau melihat aku keluar dari gereja? Atau apakah engkau melihat aku memakai zunnar/sabut pendeta!? Jika suatu hadis telah valid menurut pandanganku niscaya aku berpegang teguh dengannya dan aku menjadikannya dasar perkataanku, aku tidak akan berpaling darinya“. (Lihat: Hilyah Al-Auliya li Abi Nu’aim: 9/106).
Harmalah bin Yahya meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata, “Semua apa yang aku katakan lalu terdapat hadis sahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam menyelisihi pendapatku, maka hadis Nabi shallallahua alaihi wasallam lebih harus diikuti. Jangan kalian taklid kepadaku“. (lihat: Adab Asy-Syafi’iy wa Manaqibuhu li Ibn Abi Hatim, hal. 147).
Sikap dan penegasan Imam Syafi’i tersebut dengan narasi yang beragam, berulang kali disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu‘, hingga beliau menyebutnya sebagai kaidah umum yang diwasiatkan oleh Imam Syafi’i. (lihat: Al–Majmu‘ Syarh Al-Muhadzzab li An–Nawawiy: 3/30-31).
Sikap dan pengagungan Imam Syafi’i terhadap Al-Quran dan Sunnah ini seyogyanya diwarisi oleh semua pengagum dan pengikutnya, bukan saja karena Imam Syaf’i atau ulama lainnya melakukan hal tersebut tetapi karena hal tersebut merupakan perintah Allah dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, serta sebagai perwujudan dari sikap tunduk, pasrah dan penyerahan diri kepadaNya yang digariskan, antara lain dalam firmanNya (artinya): “Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya“ (QS. Az-Zumar: 54)