Bunda Para Kesatria Tampan Ahli Bait

Gelombang hijrah para sahabat ke Madinah kian bertambah. Sebab ia adalah kewajiban iman. Hanya saja, seorang muslimah yang masuk Islam setelah Khadijah[1] tak bisa melangkahkan kaki menyongsong tanah hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Putra-putranya masih kecil, suaminya belum juga mengikrarkan dua kalimat syahadat, dan tak ada seorang pun yang bisa membawanya menyelusuri jalan hijrah Mekah-Madinah.
Ia kemudian terus bersabar. Delapan tahun bukan waktu yang singkat untuk seorang muslimah yang berada dalam penantian hijrah. Selama itu pula, ia lengkap memiliki 6 putra. Meskipun suaminya, Al-‘Abbas bin Abdul-Muththalib agak terlambat masuk Islam, dirinya dengan kecerdasan dan keuletannya, sanggup membina 6 putranya tersebut sebagai anak-anak yang terdidik di atas tauhid dan bermoral Islam dalam lingkungan Kota Mekah yang saat itu dipenuhi kekufuran dan kebencian terhadap Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah.
Dialah Ummul-Fadhl, Lubabah binti Harits Al-Hilaliyah. Keenam putranya adalah cucu Abdul-Muththalib sekaligus sebagai sepupu satu kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain keenamnya memiliki rupa wajah yang mirip Rasulullah, mereka juga memiliki karakter mulia dan akhlak yang baik. Sebab itu, Ummul-Fadhl ini dijuluki oleh Adz-Dzahabiy sebagai bunda 6 pemuda tampan dan mulia.[2]
Dia tak hanya mengajarkan mereka keislaman, tapi juga keberanian dalam membela Islam. Ia juga selalu memotivasi putra-putranya untuk terus mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Suatu ketika, ia mendengar putra tercintanya, Abdullah bin ‘Abbas membaca surah Al-Mursalat, ia pun berkata padanya, “Wahai putraku! Bacaanmu terhadap surah ini mengingatkanku bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ialah surah yang paling terakhir aku dengar Rasulullah membacanya pada salat Magrib.”[3]
Dalam perang Badar, suaminya, Al-‘Abbas dipaksa untuk ikut serta sebagai bagian dari pasukan Quraisy. Namun, ia tertangkap oleh para sahabat. Sehingga kaum Quraisy pun kembali ke Mekah tanpa Al-‘Abbas. Saat itu, kaum Quraisy yang kembali ke Mekah berkisah tentang jalannya perang Badar, bahwa mereka menyaksikan adanya pasukan putih berkuda yang melayang antara langit dan bumi.
Seketika hamba sahaya Ummul-Fadhl yang bernama Abu Rafi’ menimpali kisah mereka, “Demi Allah! Yang kalian lihat itu adalah para malaikat”.
Mendengar ucapannya itu, Abu Lahab lantas marah besar dan menjotos wajahnya hingga terjatuh dan kemudian melayangkan padanya pukulan bertubi-tubi. Melihat hamba sahayanya dipukul seperti itu, Ummul-Fadhl yang juga ipar Abu Lahab ini mengambil kayu, dan dengan penuh keberanian melayangkannya ke kepala Abu Lahab hingga ia terhuyung dan terluka parah. Setelah itu Ummul-Fadhl pergi tanpa ada seorang pun yang berani menghalanginya.[4]
Pada fase penaklukan Kota Mekah, tahun 8 H, mereka sekeluarga lalu melakukan hijrah ke Madinah untuk hidup di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di Kota Madinahlah mereka tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang hebat. Rasulullah sangat menyukai putra Ummul-Fadhl ini, bahkan tak jarang beliau bermain bersama mereka.
Dikisahkan, bahwa Rasulullah kadang membariskan mereka (Abdullah, Ubaidullah, Qutsam dan Katsir -putra ‘Abbas dari ibu yang lain-) secara sejajar, lalu bersabda, “Siapa yang lebih duluan memegangku maka aku akan berikan ia hadiah.” Lantas mereka saling berlomba untuk memegang beliau; ada yang menaiki punggung beliau, dan ada yang memeluk dada beliau. Dan, beliau pun mendekap dan mencium mereka.[5]
Putra pertamanya adalah Al-Fadhl. Pada usia 15 tahun, dialah di antara sahabat yang melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di perang Hunain ketika banyak para sahabat yang terpaksa mundur karena serangan jebakan pasukan Tsaqif. Dengan seusia itu, ia dan ayahnya tetap tegar berada di samping Rasulullah di garis terdepan menghalau berbagai serangan pedang dan anak panah sampai para sahabat yang mundur berkumpul kembali seperti semula di sisi Rasulullah.
Salah satu kisah unik dirinya dengan Rasul ialah saat ia dan Muththalib bin Rabi’ah yang juga cucu Abdul-Muththalib itu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta izin menikah. Seusai salat Zuhur, mereka berdua lantas bergegas mendahului Rasulullah ke rumah istrinya, Zainab binti Jahsy. Mereka pun berdiri menunggu Rasul di depan rumahnya tersebut. Rasulullah lalu datang dan menarik telinga mereka berdua sembari mengajak mereka masuk ke dalam rumah.
“Katakan apa yang kalian mau?” Tanya beliau.
Lalu mereka berdua pun saling menyuruh siapa yang mau berbicara. Akhirnya salah satu mereka berkata, “Wahai Rasulullah! Engkau manusia paling baik dan paling menyambung tali silaturahmi. Sekarang kami telah sampai pada usia pernikahan, sehingga kami mendatangimu agar kami berdua diberikan kerja sebagai amil sedekah; agar kami bisa menunaikannya kepadamu dan mendapatkan rezeki sebagaimana orang lain.”
Mendengar permintaan mereka itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam begitu lama, lalu kemudian menjawab, “Sesungguhnya sedekah tidak pantas diberikan kepada keluarga Muhammad (seperti kalian) karena ia adalah harta kotor manusia. Kalian berdua panggilkan aku Mahmiyah (petugas pembagian harta khumus untuk Ahli Bait) dan Naufal bin Al-Harits bin Abdul-Muththalib.”
Setelah mereka berdua datang, beliau bersabda pada Mahmiyah bin Jaz’iy Az-Zubaidiy, “Silakan menikahkan pemuda ini (Al-Fadhl) dengan putrimu.” Dan bersabda pada Naufal, “Silakan menikahkan pemuda ini (Muththalib) dengan putrimu.”
Kemudian Rasul memerintahkan Mahmiyah agar mengambil sejumlah harta khumus Ahli Bait untuk dijadikan sebagai mahar pernikahan mereka berdua.[6]
Al-Fadhl kemudian terus-menerus mendampingi Rasulullah yang juga sepupunya dalam kesehariannya serta yang selalu menemani beliau hingga beliau wafat. Ia terus-menerus berjuang dalam berbagai kancah perang baik ketika Rasul masih hidup ataupun setelah wafatnya, sehingga ia pun menemui kesyahidan yang indah pada perang Yamamah dalam rangka memerangi kaum murtadin pimpinan Musailimah Al-Kadzdzab di era kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia syahid di usia 19 tahun.[7]
Putra kedua Ummul-Fadhl adalah Abdullah bin ‘Abbas yang juga dikenal dengan sebutan singkat: Ibnu ‘Abbas. Ia terlahir di pengasingan, saat kabilah-kabilah Quraisy memboikot Bani Hasyim dan Bani Muththalib di salah satu lembah Kota Mekah yang kini dikenal dengan nama: Syi’b Abi Thalib. Saat itu, terpaksa mereka memakan dedaunan dan apa saja yang mereka bisa makan lantaran kerasnya dan lamanya pemboikotan tersebut. Mereka diboikot karena enggan menyerahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada kaum Quraisy yang dianggap sebagai pemimpin makar dan konspirasi. Dalam kondisi kelaparan dan kemiskinan itulah, Ummul-Fadhl melahirkan Abdullah.[8]
Selain tampan, ia juga merupakan sosok sahabat yang sempurna, berakhlak dan berhati mulia, tinggi, gagah, ksatria, cerdas, berlisan fasih, berjiwa pemimpin dan berilmu luas. [9] Ibnu ‘Abbas tumbuh di bawah pembinaan sang bunda yang cekatan, Ummul-Fadhl di Kota Mekah yang saat itu dipenuhi kesyirikan. Lalu ketika di Madinah, Ummul-Fadhl memotivasinya untuk terus menimba ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, sampai mengizinkan agar Ibnu ‘Abbas sering bermalam di rumah saudarinya, Maimunah binti Al-Harits, yang merupakan istri Rasulullah, dengan tujuan berkhidmat kepada Rasul dan menimba ilmu secara langsung dari beliau. Karena khidmatnya kepada Rasul itulah, beliau mendoakannya, “Ya Allah! Berikanlah ia (Ibnu ‘Abbas) kefakihan dalam agama dan ajarkanlah ia takwil (tafsir Al-Quran).”[10]
Atas berkat doa inilah, ia menjelma menjadi ulama besar di eranya.
Setelah Rasulullah wafat, ia tetap giat menuntut ilmu dan hadis-hadis Rasulullah dari para sahabat senior. Ia banyak mendatangi mereka dengan membawa buku catatan, lalu menanyakan pada mereka tentang ucapan dan amalan-amalan Rasulullah secara detail. Tentang kegigihannya ini ia pernah bercerita, “Suatu saat saya mendapati ilmu Rasulullah banyak dihafal oleh sekelompok kaum Anshar. Lalu aku pun menuntut ilmu itu dari mereka meskipun aku sering menunggu mereka dengan tidur di depan rumah mereka. Meskipun aku sanggup untuk meminta izin masuk ke rumah mereka, tapi aku tidak melakukannya demi tidak mengganggu diri mereka.”[11]
Ibnu ‘Abbas kemudian dikenal dengan Al-Bahr alias lautan ilmu; atau Hibr Al-Ummah alias ulama rabbani umat Islam; atau Turjumanul-Quran alias imam penafsir Al-Quran, lantaran kedalaman ilmu yang dianugerahkan Allah pada dirinya. Ia wafat tahun 68 H di Thaif.
Lantaran kealiman dan kedalaman ilmunya, di masa Khalifah Umar ia malah dijadikan sebagai salah satu anggota dewan penasihatnya bersama para sahabat-sahabat senior, padahal di era Umar usia Ibnu ‘Abbas sekitar 15 sampai 25 tahun.
Putra ketiga Ummul-Fadhl adalah Ubaidullah bin ‘Abbas. Ia lebih muda setahun dari Ibnu ‘Abbas.[12] Ia seringkali dibonceng oleh Rasulullah di atas kendaraannya. Bahkan Rasulullah seringkali merasa senang menyaksikan ia dan adik-adiknya, Qutsam, Katsir dan Ma’bad bermain-main.[13] Bila Abdullah terkenal dengan keluasan ilmunya, maka Ubaidullah terkenal dengan ibadah dan sedekahnya. Bila keduanya memasuki Kota Madinah, maka Abdullah akan menyebarkan ilmu dan hadis-hadis Rasulullah, sedangkan Ubaidullah akan menyebarkan harta sedekah dan makanan sebanyak-banyaknya.[14] Ia wafat di Madinah tahun 58 H.[15]
Putra keempat ialah Qutsam. Wajahnya sangat mirip dengan wajah Rasulullah. Beliaulah yang paling terakhir keluar dari kubur Rasulullah ketika mereka masuk mengubur jasad beliau di mana saat itu ia masih berusia sekitar 8 tahun. Ia seorang mujahid dan ksatria yang selalu berjihad. Ia menemui kesyahidan di era Muawiyah ketika berjihad ke wilayah Samarkand.[16]
Putra kelima ialah Abdurrahman. Tidak banyak informasi tentang beliau, namun dikisahkan bahwa ia juga senantiasa keluar berjihad di jalan Allah hingga menemui kesyahidan di Afrika bersama adiknya, Ma’bad. Ada yang menyatakan ia syahid di negeri Syam.[17]
Putra terkecil Ummul-Fadhl adalah Ma’bad. Ia seorang sahabat junior yang merupakan putra terakhir Ummul-Fadhl yang lahir di era Rasulullah. Ia menjelma menjadi pemuda yang tangkas dan ksatria. Ia banyak mengikuti berbagai gerakan jihad hingga menemui kesyahidan saat jihad ke Afrika bersama kakaknya, Abdurrahman di era khalifah Usman bin ‘Affan tahun 35 H.[18]
Enam putranya ini terkenal sebagai laki-laki mulia dan ksatria. Sebab itu, salah seorang penyair memuji mereka,
مَا وَلَدَتْ نَجِيْبَةٌ مِنْ فَحْلِ … كَسِتَّةٍ مِنْ بطن أم الفضلِ
Tak ada wanita terindah yang melahirkan para ksatria…
seperti enam ksatria dari kandungan Ummul-Fadhl
[1] . (Lihat: As-Siyar: 3/440)
[2] . (As-Siyar: 2/314)
[3] . HR Muslim (173/462)
[4] . Sirah Ibn Hisyam (1/647)
[5] . (HR Musnad Ahmad: 1836, dan Ath-Thabaraniy: 423. Hadisnya agak sedikit daif)
[6] . Lihat: Diringkas dari HR Muslim (167/1072)
[7] . Lihat: As-Siyar (3/332) dan Al-Ishabah (5/287-288)
[8] . Lihat: As-Siyar (3/332) dan Al-Ishabah (4/122)
[9] . Lihat: Al-Ishabah (4/122)
[10] . HR Bukhari dan Muslim
[11] . Al-Ishabah (4/125)
[12] . As-Siyar (3/513) dan Al-Ishabah (4/330)
[13] . Al-Ishabah (4/331)
[14] . Al-Ishabah (4/331)
[15] . Al-Ishabah (4/332)
[16] . As-Siyar (3/440-441)
[17] . Al-Isti’ab (2/838), Usudul-Gabah (3/461) dan Al-Ishabah (5/33)
[18] . Usudul-Gabah (3/461) dan Al-Ishabah (6/207)