Bunda Terbaik dari Kaum Quraisy
Salah satu momen terindah bagi wanita adalah ketika hatinya berbunga lantaran lamaran seorang pria yang dikagumi dan dicintainya. Hatinya kan mekar membentuk liontin yang menghiasi relung jiwa yang sempat merasakan kekosongan.
Mungkin, seperti itulah perasaan seorang Fakhitah binti Abu Thalib, tatkala Sang Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam mengajukan lamaran terhadap dirinya di era Jahiliah. Namun, tak selamanya impian seorang gadis bisa tercapai hanya dengan sekadar lamaran. Sejak jauh-jauh hari, sang ayah telah berjanji pada seorang pemuka Quraisy lain, Hubairah bin Abu Wahb untuk menikahkannya dengan dirinya. Tentunya, sangat pantang bagi seorang Abu Thalib, pemuka kabilah Quraisy saat itu, untuk menyalahi janji sakralnya, meskipun harus memupuskan hasrat keponakan sekaligus anak angkatnya, Muhammad bin Abdullah, dan membuat layu hati sang putri tercintanya. Akhirnya, ia pun dinikahi Hubairah, sedangkan Muhammad di kemudian hari menikahi Bunda Khadijah.
Ketika masa kecil, keduanya sudah hidup bersama karena Rasulullah hidup di rumah ayahnya, Abu Thalib. Keakraban keduanya sudah terjalin baik sejak saat itu, karena beliau hanya lebih tua beberapa tahun. Keduanya sama-sama memiliki akhlak mulia, tutur kata yang lembut dan fasih, dan paras yang indah. Sebab itu, bukan hal aneh bila Rasulullah kembali meminangnya tiga puluh tahun kemudian setelah dirinya menjadi janda 4 putra lantaran suaminya melarikan diri dalam keadaan kafir ke Najran dalam Fathu Makkah.
“Wahai Rasulullah! Anda sungguh lebih saya cintai daripada kedua telinga dan mataku. Namun, hak suami sangatlah besar. Saya khawatir bila saya fokus pada suamiku akan melalaikan sebagian hak diriku serta hak anak-anakku. Sebaliknya, bila saya fokus pada hak anak-anakku, saya khawatir akan melalaikan hak-hak suamiku.” Demikianlah penolakan halus seorang wanita yang populer dengan kuniah Ummu Hani’ tersebut, setelah Sang Baginda menawarkan lamaran kedua kepada dirinya.[1]
Jawaban indah ini hanya direspon oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sabda populernya:
خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإبِلَ نِسَاءُ قُرَيْشٍ؛ أحْنَاهُ علَى ولَدٍ في صِغَرِهِ، وأَرْعَاهُ علَى زَوْجٍ في ذَاتِ يَدِهِ
“Sungguh sebaik-baik wanita penunggang kuda adalah wanita kaum Quraisy; mereka lebih sayang pada anak di masa kecilnya dan lebih perhatian terhadap hak dan harta suaminya.” [2]
Tentang faktor penolakan Ummu Hani’ ini, al-Hafizh al-‘Iraqiy rahimahullah berkata, “Ummu Hani’ memohon uzur ketika dilamar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena faktor usianya yang agak tua dan faktor kepemilikan banyak anak… dia merasa kasihan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar tidak terganggu dengan istri yang sudah tidak muda lagi dan dengan keberadaan banyak anaknya. Seandainya wanita ini bukan Ummu Hani’, niscaya ia akan memprioritaskan maslahat dirinya (dengan menerima lamaran Nabi) dan tidak menghiraukan maslahat calon suami dan anak-anaknya.”[3]
Dua karakter yang disebutkan dalam hadis di atas adalah dua sifat paling menawan bagi seorang wanita, yang menonjol dalam diri Ummu Hani’. Rasulullah sama sekali tak menampakkan rasa kecewa terhadap penolakan ini karena sangat memuliakan Ummu Hani dan telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga terdekatnya. Hal ini sangat jelas di saat penaklukkan Kota Makkah ketika saudaranya, Ali bin Abu Thalib bersumpah untuk membunuh seorang pria dari kabilah Bani Makhzum yang merupakan mantan ipar Ummu Hani’. Mendengar sumpah bunuh dari adiknya itu, Ummu Hani’ bergegas menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Marhaban wa ahlan, wahai Ummu Hani’. Apakah gerangan yang membuatmu tergesa-gesa mendatangiku?” Ucap Rasulullah setelah membalas salamnya. Setelah Ummu Hani’ menceritakan sumpah adiknya dan memohon agar beliau mengampuni mantan iparnya itu, Rasulullah lantas bersabda, “Wahai Ummu Hani! Kami telah mengampuni orang yang engkau mohonkan ampunan dan memberikan jaminan keamanan bagi mereka.!”[4].
****
Karakter dirinya harus menjadi karakter bagi setiap bunda yang ingin mendidik putra-putrinya secara baik. Rasa kasih sayang besar pada mereka membuatnya menolak menikah lagi, di samping adanya rasa khawatir tidak bisa memenuhi hak suaminya kelak secara maksimal. Untuk dua alasan inilah, ia lebih memilih fokus mendidik putra-putrinya dibanding menjadi ibunda kaum mukminin yang memiliki konsekuensi berat bagi dirinya.
Pengorbanan ini tentunya membuahkan hasil pembinaan yang luar biasa. Putra keduanya, Ja’dah bin Hubairah, menjelma menjadi salah satu sahabat junior yang tangkas, ksatria, dan ahli perang.[5]
Sebab itu, pamannya, Ali bin Abu Thalib menyerahkan padanya kepemimpinan wilayah Khurasan dan mengangkatnya sebagai salah satu komandan perangnya di era kekhalifahannya. Selain memiliki skill sebagai komandan perang dan pemimpin, ia juga seorang fakih, khatib, dan penyair yang sangat fasih. Ia seringkali mendendangkan syair:
Bila Anda bertanya tentangku,
Maka dari Bani Makhzumlah ayahku berasal,
Adapun ibuku, maka dari Bani Hasyim, sebaik-baik kabilah,
Tak ada yang bisa berbangga dengan paman-pamannya,
seperti kebanggaanku dengan pamanku yang dermawan Ali, dan juga Aqil.[6]
Ketika terjadi Perang Siffin, paman-pamannya dari kabilah Bani Makhzum yang merupakan kabilah ayahnya berpihak ke kubu Muawiyah, semisal Amr bin al-‘Ash. Adapun dirinya lebih memilih berada di pihak Ali, paman dari pihak ibundanya. Ia kemudian bertemu dengan Utbah bin Abu Sufyan dalam perang tersebut.
“Tampaknya, yang membuatmu tidak bergabung dengan pasukan kami adalah rasa cintamu pada pamanmu (Ali)…”. Ketus Utbah.
“Wahai Utbah! Sungguh, jika kamu memiliki paman seperti Ali, engkau pasti akan melupakan ayahmu sendiri.” Sahut Ja’bah.[7]
Mendengar jawaban ini, ‘Utbah hanya bisa terdiam karena ia tahu bahwa seluruh umat Islam -termasuk dirinya- sepakat Ali bin Abu Thalib lebih utama dibanding Muawiyah radhiyallahu ‘anhum, dan bahwa ia satu-satunya sosok manusia paling utama di atas bumi saat itu.
[1] . Lihat: Thabaqat Ibn Sa’ad (8/120) dan al-Ishabah (8/317)
[2] . Sabda Rasulullah ini ada dalam Shahih Muslim (2527)
[3] . Tharh at-Tatsrib (7/15)
[4] . HR. Bukhari (357)
[5] . Lihat: al-Isti’ab (1/240)
[6] . Lihat: al-Wafi bil-Wafiyyat: 11/66
[7] . Lihat: al-Isti’ab (1/240) dan Usdul-Gabah (1/340)