Hukum Azan di Telinga Bayi yang Baru Lahir
Hukum Fikih Seputar Anak (bagian 3);
Hukum Azan di Telinga Bayi yang Baru Lahir
Azan ditelinga bayi yang baru lahir sangat lumrah dilakukan oleh para orang tua di Indonesia. Namun terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama terkait hal ini; mazhab Syafii dan Hanbali berpendapat bahwa azan ditelinga bayi adalah perkara sunah dan dianjurkan. Adapun caranya adalah dengan mengumandangkan azan ditelinga bayi sebelah kanan, dengan suara yang sedang.
Pendapat ini berdasarkan 3 hadis berikut:
- Hadis pertama:
عن عبيد الله بن أبي رافع، عن أبيه قال: رأيت رسول الله أذن في أذن الحسن بن علي حين ولدته فاطمة بالصلاة (رواه الترمذي وقال حديث حسن صحيح)
Artinya: Dari Ubaidullah bin Abi Rafi, bahwa ayahnya berkata: “Saya melihat Nabi Muhammad mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin Ali ketika di lahirkan oleh Fatimah, (seperti azan) salat”. (HR. Tirmiżi, dan dia berkata: “Hadis Hasan Sahih”)
- Hadis kedua:
عن ابن عباس أنَّ النبي أذّن في أذن الحسن بن علي يوم ولد، فأذن في اليمنى، وأقام في اليسرى (أخرجه البيهقي في شعب الإيمان)
Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata: “Bahwa Nabi pernah mengumandangkan azan di telinga Hasan bin Ali ketika dia lahir, beliau mengumandangkan azan di telinga sebelah kanan, dan melantunkan lafaz iqamat di telinga kiri” (HR. Baihaqi dalam kitab Syuabul Iman).
- Hadis ketiga:
عن الحسين قال: قال رسول الله: من ولد له فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى، لم تضره أم الصبيان (رواه البيهقي في شعب الإيمان، وأبو يعلى في مسنده، وأورده ابن حجر في المطالب العالية)
Dari Al-Husain berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang diberi anak, kemudian dia azan di telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya, maka anak tersebut tidak akan diganggu oleh Ummu Shibyan.” (HR. Baihaqi dalam kitab Syuabul Iman, Abu Ya’la dalam musnadnya, dan Ibnu Hajar menyebutkan hadis ini dalam kitab Al-Mathalib ‘Aliyah)
Ummu Shibyan adalah salah satu jenis jin, atau sejenis penyakit anak kecil.
Ada satu hadis lagi yang jarang di sebutkan oleh para Ulama dalam kitab-kitab fikih mereka, yaitu hadis:
قالت أم الفضل (حين أتت بغلامها إلى النبي ﷺ): فلما وضعته أتيت به النبي ﷺ، فأذن في أذنه اليمنى، وأقام في أذنه اليسرى (أخرجه الطبراني في الأوسط)
Ummu Al-Fadl berkata (ketika dia membawa anaknya ke Nabi): “Maka ketika telah melahirkan anakku, aku mendatangi Nabi ﷺ, kemudian beliau mengumandangkan azan di telinga kanan, dan melantunkan lafaz iqamah di telinga kiri”. (Diriwayatkan oleh Imam Thabrani).
Hadist pertama telah dihukumi Shahih oleh Imam Tirmiżi, adapun hadis kedua dan ketiga dihukumi lemah oleh Imam Baihaqi sendiri, olehnya ulama berbeda pendapat dalam menghukum kedua hadis di atas, ada yang melemahkannya seperti Syaikh Al-Bani, ada pula yang meng-hasan-kan kedua hadis di atas karena melihat dari sisi jumlah hadis, dan juga merupakan hadis susulan serta penguat bagi hadis pertama, sebagaimana disebutkan oleh Imam Mubarakfuri. Hadis ke empat pun demikian, dihukumi lemah karena terdapat rawi yang lemah dalam jalur periwayatannya.
Melihat sisi hukum lemah dari beberapa hadis di atas, olehnya Imam Malik berpendapat bahwa azan yang di sebutkan di atas makruh, lebih baik tidak dilaksanakan. Meskipun Imam malik berpendapat demikian, tapi para pengikut Imam Malik setelahnya (mazhab Maliki) lebih condong membolehkan azan tersebut, karena sudah menjadi amalan kaum muslimin dari zaman ke zaman dan berbagai penjuru.
Adapun mazhab Hanafi, mereka juga mengatakan bahwa azan di telinga bayi adalah sunah, meskipun tidak ada teks resmi dari perkataan Imam Abu Hanifah secara langsung dalam permasalahan ini, namun pengikut mazhabnya mengatakan bahwa jika hadisnya sahih, dan Imam Syafii mengatakan demikian, maka tidak salah kalau hal ini adalah sunah.
Tak sedikit dari masyarakat Indonesia yang tidak mengamalkan amalan ini, karena beranggapan bahwa hadis-hadis di atas adalah lemah (bahkan hadis Tirmiżi sekalipun), mereka juga berargumen bahwa andai hadisnya pun sahih, tetap tidak bisa di amalkan karena bisa jadi Nabi mengumandangkan azan karena memang telah masuk waktu salat, jadi sekalian azan.
Adapun penulis sendiri, maka lebih condong bahwa azan di telinga bayi yang baru lahir adalah amalan yang di syariatkan, karena jumlah hadis-hadis di atas yang banyak -meskipun lemah-, tapi mengisyaratkan bahwa amalan ini memiliki dasar dalam syariat Islam, Wallahu Alam.
Referensi:
Hasyaih Ibnu Abidin, Ibnu Abidin
Mawahib Jalil, Al-Hattab
Minhaj Thalibin, Imam Nawawi
Tuhfatul Muhtaz, Ibn Hajar Al-Haitami
Kasyyaf Qina, Buhuti
Al-Bayan fil Mazhab Syafii, Umrani
Al-Mufassal fil Aqiqah, Husamuddin