Maqashid Ibadah Haji (2)
Pada artikel sebelumnya, telah dikemukakan dua di antara maqashid (tujuan) penting dari ibadah haji, yaitu menegakkan ketauhidan dan mewujudkan mutaba’ah dan ketundukan kepada sunnah Nabi. Sebagai lanjutan dari artikel tersebut, berikut pembahasan tentang maqashid lainnya dari ibadah haji tersebut:
Ketiga: Menegakkan Zikir kepada Allah
Maqshad (tujuan) ini berulang kali disebutkan Allah dalam pelaksanaan ibadah haji. Dalam konteks ibadah haji, setidaknya Allah telah mengulang seruan berzikir kepada-Nya sebanyak enam kali di dalam Surah Al-Baqarah dan Surah Al-Hajj. Di dalam Surah Al-Baqarah, Allah mengulangnya sebanyak tiga kali, yaitu masing-masing pada ayat ke 198, 200 dan 203.
“Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat… Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu…Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang”. (QS. Al-Baqarah: 198, 200, 203).
Sedang di dalam Surah Al-Hajj, Allah menyebutnya masing-masing pada ayat ke 28, 34, dan 37.
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak… Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka… Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Hajj: 28, 34, 37).
Hal yang sama juga telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dalam salah satu hadisnya, beliau bersabda:
»إنما جُعِلَ الطوافُ بالبيتِ وبين الصَّفا والمروةِ ورمْيُ الجِمار لإقامةِ ذكرِ الله«
“Disyariatkannya tawaf di sekeliling kakbah, sai antara Shafa dan Marwah, dan melontar jumrah hanya semata-mata untuk menegakkan zikir kepada Allah.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Ketika Nabi ditanya tentang amalan haji yang paling afdal, beliau menjawab: al-‘ajju wa as-tsajju. (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Al-‘ajju adalah bertalbiyah dengan suara nyaring, sedang as-tsajju adalah menyembelih hadyu (hewan).
Keempat: Mengagungkan Syi’ar-syi’ar dan Hurumat Allah
Maqshad (tujuan) ini, disebutkan dalam firman-Nya:
{ ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ }[الحج: 30].
“Demikianlah (perintah Allah). Dan siapa yang mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya“. (QS. Al-Hajj: 30).
Juga dalam firman-Nya:
{ ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ }[الحج: 32].
“Demikianlah (perintah Allah). Dan siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32).
Kedua ayat tersebut disebutkan oleh Allah dalam konteks ibadah haji. Keduanya dituangkan setelah firmanNya di ayat 27 dari Surah Al-Hajj. Yaitu ayat yang berisi perintah kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk mengumumkan kepada manusia agar turut menunaikan ibadah haji dengan semua rangkaiannya, termasuk menyembelih hadyu, tawaf di sekeliling kakbah, dan rangkaian haji lainnya. Keduanya juga masuk ke dalam maqashid yang diungkapkan Allah dengan lafal manafi’a lahum yang disebutkan dalam konteks haji dalam ayat 28.
Hurumat Allah ditafsirkan oleh Ibnu Sa’diy dengan: “Semua yang memiliki kehormatan dan diperintahkan untuk dihormati (diagungkan) dalam bentuk ibadah atau bentuk lainnya, seperti semua bentuk manasik, tanah haram, berihram, menyembelih hadyu, dan ibadah-ibadah lainnya yang diperintahkan Allah untuk ditunaikan”. Sedang syi’ar-syi’ar Allah ditafsirkannya dengan: “Simbol-simbol agama yang tampak menonjol, termasuk di dalamnya segala bentuk manasik atau ibadah, juga menyembelih hadyu dan kurban yang dipersembahkan di tanah haram Mekah”. (Lihat: Tafsir As-Sa’diy, hal. 628).
Cara mengagungkan syi’ar-syi’ar dan hurumat Allah secara umum adalah dengan menghormati dan mencintainya dengan hati, menunaikannya dengan semaksimal kemampuan, tanpa rasa malas atau berat hati.
Kelima: Mewujudkan Nilai-nilai Wala’ dan Bara’
Maqshad ini tergambar dalam kebersamaan jamaah haji yang datang dari berbagai belahan dunia dan negeri kaum muslimin. Yaitu pada saat berkumpul di tempat yang satu, di tanah yang sama yaitu tanah haram, pada waktu yang sama di bulan haji, untuk menunaikan yang ibadah yang sama, dengan model dan warna pakaian yang sama, juga dengan ucapan talbiyah yang sama. Fenomena ini merupakan gambaran loyalitas kaum muslimin yang mengalahkan semua perbedaan tabiat, suku, ras, bangsa dan golongan.
Dalam monentum ibadah haji inilah Nabi shallallahu alaihi menegaskan larangannya untuk mencederai sesama muslim pada darah, harta dan kehormatannya. Dengan tegas Nabi menyampaikan dalam salah satu khutbahnya:
«إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا»
“Sesungguhnya darah dan harta kalian telah diharamkan atas yang lain di antara kalian, sebagaimana diharamkannya hari kalian ini, di bulan kalian ini dan di negeri kalian ini.”(HR. Muslim).
Dalam momentum haji ini pula Allah menurunkan surat Bara’ah atau surat At-Taubah yang permulaannya (ayat: 1-3) berbicara tentang bara’ah (pemutusan hubungan) Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin.
Setahun sebelum haji wada’, saat Abu Bakar menjadi Amir Haji atas perintah Rasulullah pada tahun ke IX hijriyah, beliau melarang orang-orang musyrik untuk melakukan ibadah haji sejak tahun itu dan melarang orang telanjang melakukan tawaf di sekeliling kakbah. (Muttafaq alaihi).
Praktik manasik haji yang dicontohkan Nabi pada haji wada’ juga sangat sarat dengan prinsip bara’ah dari orang-orang musyrik dan dari tatacara ibadah mereka. Hal ini tergambar antara lain dari:
- Lafal talbiyah berisi kesyirikan diganti dengan lafal talbiyah ketauhidan.
- Tempat wukuf mereka di dalam wilayah tanah haram diganti dengan wukuf di luar wilayah tanah haram, yaitu Arafah.
- Waktu ifadhah dari Arafah yang orang musyrikin lakukan sebelum terbenam matahari, diganti dan diundur waktunya menjadi ifadhah setelah terbenam matahari.
- Kebiasaan kaum musyrikan menunda meninggalkan Muzdalifah setelah terbit matahari, diganti dengan dimajukannya ke sebelum matahari terbit.
Semua ini merupakan gambaran penting dalam wala’ dan bara’ yang merupakan salah satu di antara maqashid ibadah haji.
Keenam: Mewujudkan Ketakwaan kepada Allah Ta’ala
Seperti ibadah lainnya, ibadah haji juga bertujuan untuk mewujudkan ketakwaan dengan senantiasa mengerjakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Maqshad ini tergambar di dalam Al-Quran. Dalam banyak ayat-ayat haji, Allah sering kali mengakhiri ayat-ayat tersebut dengan seruan untuk bertakwa kepada Allah. Setidaknya dalam tiga ayat haji di Surah Al-Baqarah, Allah senantiasa mengakhirinya dengan perintah tersebut.
Setelah Allah perintahkan untuk menyempurnakan ibadah haji pada ayat 196, Allah menutup perintah tersebut dengan seruan: “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya”.
Dan setelah Allah melarang berbuat rafats (dosa), kefasikan dan debat kusir saat berhaji pada ayat ke 197, Allah perintahkan mereka untuk bertakwa kepada Allah dan berbekal dengannya dalam firmanNya: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.
Dan setelah Allah menyebutkan bahwa tidak ada dosa bagi jamaah haji nafar awal atau nafar tsani jika mereka semua bertakwa pada ayat 203, Allah perintahkan mereka bertakwa kepada Allah dan menyadari bahwa mereka semua akan kembali kepada Allah.
Penegasan perlunya menjaga ketakwaan dalam melaksanakan ibadah haji juga disebutkan Allah dalam proses menyembelih hadyu (lihat QS. Al-Hajj: 37). Karena pada hakikatnya daging dan darah sembelihan tersebut tidak akan sampai kepada Allah. Yang akan sampai kepada-Nya hanyalah ketakwaan orang yang melakukannya.
Ketujuh: Mencari Karunia Allah
Pada masa Jahiliyah; pusat belanja Ukazh, Majannah, dan Dzulmajaz merupakan pasar terkenal sepanjang waktu. Tetapi setelah masyarakat jahiliyah masuk Islam maka sebagian di antara mereka merasa berdosa jika berbisnis di musim haji. Sikap tersebut diluruskan oleh Allah dengan menurunkan firma-Nya:
{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ} [البقرة: 198].
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (QS. Al-Baqarah: 198).
Mengingat pentingnya musim haji sebagai momentum peningkatan taraf perekonomian, dan dengan adanya kelonggaran yang disebutkan dalam ayat tersebut, maka secara proporsional para sahabat Nabi benar-benar memanfaatkan momen tersebut untuk melakukan aktifitas bisnis. Karenanya, ketika Amirul Mukminin Umar bin Khattab ditanya: Apakah kalian berbisnis di musim haji? Maka beliau menjawab: “Cadangan kebutuhan hidup mereka hanya diperoleh lewat bisnis di musim haji”. (Lihat Tafsir Ibn Jarir At-Thabariy).
Idealnya, musim haji yang berulang setiap tahun, benar-benar dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis yang datang berhaji untuk melakukan lobi-lobi dan MoU untuk kerjasama bisnis di antara mereka. Bahkan momen ini sesungguhnya cukup menjadi kesempatan untuk mendirikan perusahaan besar yang mampu memenuhi kebutuhan umat sekaligus menyaingi perusahaan-perusahaan non muslim yang masih merajai perekonomian dunia.