Haji & Umrah

Momentum Terkabulnya Doa di Hari Arafah

Tanggal sembilan Zulhijah yang dikenal sebagai hari Arafah setiap tahun merupakan salah satu momen terkabulnya doa. Doa yang diajukan kepada Allah pada hari tersebut terhitung sebagai doa yang paling banyak berkahnya, paling besar pahalanya dan paling dekat terkabulnya.

Abdullah bin Amr bin Ash radiallahu anhum menuturkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik ucapan yang Aku ucapkan dan para nabi sebelumku: Laa ilaaha illallahu wahdahuu laa syariikalah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa alaa kulli syai’in qadiir.” (HR. Tirmizi, no. 3585, dan dihasankan oleh Al-Albany dalam Shahih At-Targhib, no. 1536)

Dalam riwayat mursal dari Thalhal bin Ubaid bin Kuraiz dikatakan:

أَفْضَلُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ

Doa yang paling utama adalah doa pada hari Arafah.” (HR. Malik dalam kitab Al-Muwatha, no. 246, dan dihasankan oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami, no. 1102)

Abul Walid Al-Baji rahimahullah menjelaskan, “Ungkapan doa yang paling utama adalah doa Arafah” maksudnya adalah zikir yang paling banyak berkahnya dan paling besar pahalanya serta paling dekat terkabulnya. (Al-Muntaqa Syarhul Muwatha: 1/358).

Karena besarnya keutamaan berdoa di hari Arafah, terutama bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah, maka syariat Islam mengosongkan segala aktivitas lainnya, sejak selesai salat Zuhur yang dijamak takdim dengan salat Asar hingga terbenam matahari, agar jamaah haji yang sedang wukuf dapat fokus untuk berdoa dan berzikir dengan sungguh-sungguh hingga terbenam matahari.

Terkabulnya doa jamaah haji dan non jamaah haji di hari Arafah.

Bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah terkumpul bagi dirinya keutamaan tempat dan keutamaan waktu, sedang non jamaah haji yang berada di luar Arafah hanya mendapatkan keutamaan waktu saja.

Para ulama sepakat bahwa doa jamaah haji yang wukuf di Arafah di hari Arafah doa yang terbaik dan terdekat untuk dikabulkan oleh Allah, tetapi mereka berselisih pendapat, apakah keutamaan berdoa tersebut berlaku pula bagi non jamaah haji yang notabene tidak wukuf di Arafah atau khusus hanya berlaku bagi jamaah yang berada di Arafah di hari tersebut.

Baca Juga  Mendulang Mutiara Di Tanah Suci (Bag. 3)

Imam Abul Walid Al-Baji cenderung mengkhususkan keutamaan doa hari Arafah bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah. Setelah menjelaskan makna “Doa yang paling utama adalah doa Arafah”, Al-Baji rahimahullah berkata, “Yang dimaksud boleh jadi khusus jamaah haji, karena makna doa pada hari Arafah terkait dengan mereka adalah benar dan khusus untuk mereka, meskipun harinya secara umum disifati dengan hari Arafah, maka yang dimaksud adalah amalan haji. Wallahu a’lam“. (Al-Muntaqa Syarhul Muwatha: 1/358)

Syaikh Abdur Rahman bin Nashir Al-Barrak juga berpendapat bahwa keutamaan doa di hari Arafah yang disebutkan dalam hadis di atas berlaku khusus untuk jamaah yang sedang wukuf di Arafah karena hadis Nabi shallahu alaihi wasallam yang berkaitan dengan turunnya Allah atau mendekatnya Allah kepada hambaNya pada hari Arafah khusus untuk mereka yang sedang wukuf di sana pada hari tersebut. Saat beliau ditanya apakah hadis “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah” ini khusus untuk orang-orang yang sedang wukuf di Arafah atau berlaku umum mencakup semua kaum muslimin? Beliau menjawab dengan menukil hadis berikut:

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ، مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمِ الْمَلَائِكَةَ، فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ؟

Tidak ada hari yang lebih banyak Allah membebaskan seorang hamba dari neraka  di banding pada hari Arafah. Sesungguhnya Dia mendekat dan membanggakannya (di hadapan) para malaikat, seraya bertanya, “Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim No. 1348).

Lalu beliau berkata, “Hadis ini secara gamblang menunjukkan bahwa janji pembebasan dari neraka dan terkabulnya doa yang sinergi dengan penyebutan dunuw (mendekatnya) Allah, yang sebentuk dengan turunnya Allah pada sepertiga malam terakhir setiap malam, tetapi turunnya Allah setiap malam berlaku umum untuk setiap muslim yang berdoa pada waktu tersebut. Adapun mendekatnya Allah Ta’ala pada siang hari Arafah maka bersifat khusus untuk orang-orang yang sedang wukuf. Oleh karenanya kandungan hadis ini berupa pembebasan dari neraka dan terkabulnya doa juga berlaku khusus bagi orang-orang yang diterima amalannya dari kalangan jamaah wukuf. Oleh karena itu para ulama tidak menyebut hadis “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah” kecuali Ketika membahas tentang wukuf di Arafah dan tidak seorang pun di kalangan mereka yang menyebutkannya dalam membahas tentang keutamaan hari (waktu) secara mutlak. Oleh karena itu, hadis yang ditanyakan tersebut khusus untuk jamaah haji yang wukuf di Arafah, wallahu a’lam. (Lihat: https://sh-albarrak.com/article/8613 )

Baca Juga  Shalat Istisqa

Sedang ulama lainnya berpendapat bahwa keutamaan doa tersebut tidak terbatas pada mereka saja,  karena hari Arafah sekalipun dari segi tempat berlaku khusus bagi yang sedang wukuf di Arafah, namun dari segi waktu istilah hari Arafah tidak hanya mencakup jamaah haji yang sedang wukuf di sana, tetapi ia berlaku umum kepada siapa saja yang masih hidup pada tanggal 9 Dzulhijjah di mana pun mereka berada.

Mereka memandang bahwa meskipun para jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah peluang doa mereka terkabul lebih besar karena di samping mereka mendapatkan keutamaan tempat dan waktu sekaligus juga karena mereka sedang dalam keadaan berihram, namun non jamaah haji juga dianjurkan untuk berdoa pada hari Arafah. Terlebih lagi, karena di hari Arafah non jamaah haji dianjurkan berpuasa yang ganjarannya dapat menghapus dosa selama dua tahun, setahun lalu dan setahun mendatang sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sedang orang yang sedang berpuasa doanya mustajab. Sehingga non jamaah haji yang puasa di hari Arafah juga memiliki peluang besar doa terkabul dan mengumpulkan keutamaan doa dari dua sisi, yaitu keutamaan doa di hari Arafah dan keutamaan doa saat berpuasa di hari Arafah.

Olehnya, non jamaah haji hendaknya bersungguh-sungguh pula memanfaatkan waktunya, terutama di sore hari Arafah untuk berdoa dan bermunajat memohon kebutuhannya kepada Allah semata di momen tersebut.

Hukum Ta’rif di hari Arafah.

Demi memburu keutamaan doa di hari Arafah, maka Sebagian kaum muslimin yang tidak wukuf di Arafah ada yang sengaja melakukan ritual ta’rif, yaitu acara berkumpul di masjid tempat domisili mereka untuk berzikir dan berdoa kepada Allah Ta’ala. Ritual ini dikenal dengan istilah ta’rif yang diambil dari kata Arafah karena mereka berkumpul di hari Arafah di masjid setelah salat Asar untuk berdoa dan berzikir hingga Magrib, menyerupai para jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah.

Baca Juga  Mengaktifkan Energi Berfikir Positif

Ritual ini diperselisihkan hukumnya oleh ulama, antara yang membolehkan dan yang membid’ahkan.

Ulama yang membolehkannya mendasarkan pendapatnya pada riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa sebagian salaf melakukannya. Seperti Ibnu Abbas dan Amru bin Huraits. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa yang pertama sekali melakukan ritual ini adalah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma di kota Bashrah dan Amru bin Huraits di Kufah. (Lihat: Al-Mugni karya Ibnu Qudamah: II/296).

Imam Hasan al-Bashri, Bakar, Tsabit dan Muhamad bin Wasi berkata, “Dahulu mereka berkumpul di masjid pada hari Arafah”. Imam Ahmad berkata, “Tidak mengapa dengan hal itu, karena di dalamnya terdapat doa dan zikir kepada Allah”. Lalu ada yang bertanya kepadanya, “Apakah engkau melakukannya?” Beliau menjawab,  “Adapun aku, tidak melakukannya”. Diriwayatkan dari Yahya bin Ma’in bahwa beliau ikut hadir bersama orang-orang pada sore hari Arafah. (Lihat: Al-Mugni karya Ibnu Qudamah: II/296).

Sedang ulama yang tidak membolehkannya mendasarkan pendapatnya bahwa hal tersebut tidak dikerjakan atau disunahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Sehingga mereka memandangnya sebagai bid’ah dan oleh Sebagian ulama memasukkannya dalam kitab-kitab yang membahas tentang bid’ah, seperti: Imam Thurthusyi menyebutnya dalam kitabnya al-Bida’ wal Hawadits, Imam Abu Syamah al-Maqdisi dalam kitabnya al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits.

Ulama yang melarang dan memakruhkan ritual ta’rif antara lain: Nafi’ Maula Ibnu Umar, al-Hakam, Hammad, Ibrahim an-Nakha’i dan Imam Malik bin Anas (Lihat: Al-Majmu’ karya An-Nawawi: VIII/117).

Oleh Sebagian di antara ulama kontemporer memandang bahwa perkara ini masuk dalam ranah ijtihad, sehingga sebaiknya seorang mujtahid tidak mengingkari mujtahid lain yang membolehkannya. (lihat: https://sh-albarrak.com/article/19094 ).

Salahuddin Guntung, Lc., MA., Ph.D.

Alumni S3, Bidang Aqidah & Pemikiran Kontemporer, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?