Jual Beli Sende, Apakah Sah atau Tidak? (Bagian 2)

Jual Beli sende adalah jual beli dengan syarat: ketika penjual telah mengembalikan sejumlah uang harga barang yang dia terima dari pembeli, maka si pembeli wajib mengembalikan barang dagangan tersebut. Pada masa barang tersebut berada di tangan pembeli, dia dapat memanfaatkan barang tersebut sebagaimana jika dia memiliki barang secara penuh, sesuai dengan yang telah kita jelaskan pada bagian 1.
Dalam akad ini, para ulama kita membagi contoh kasus ini menjadi dua:
Pertama: Para pelaku jual beli sende melakukan proses jual beli ini dengan menyebutkan syarat tersebut dalam lafaz akad (ijab kabul).
Contoh: Si A (Penjual) membutuhkan uang dan mengatakan “Saya ingin menjual tanahku ini seharga 100 juta rupiah, dengan syarat ketika saya telah mengembalikan uang 100 tersebut, tanah yang telah kamu ambil itu kembali kepada saya”, Si A pun (selaku pembeli) mengatakan “Iya saya terima jual belinya”.
Kedua: Para pelaku jual beli sende melakukan proses jual beli ini dengan tidak menyebutkan syarat tersebut dalam lafaz akad, namun mereka telah bersepakat sebelumnya untuk melaksanakan syarat tersebut.
Contoh: Si A (penjual) membutuhkan uang dan mengatakan: “Saya ingin menjual tanah ini seharga 100 juta rupiah”, Si A pun (selaku pembeli) mengatakan “Iya saya terima jual belinya”, dan sebelumnya atau jauh hari sebelumnya mereka telah bersepakat untuk melakukan syarat tersebut, baik secara lisan ataupun isyarat.
Pada bagian ini kita akan membahas contoh kasus Pertama, yaitu ketika pelaku jual beli sende melakukan proses jual beli ini dengan menyebutkan syarat dalam lafaz akad (ijab kabul).
Ulama mazhab Malik mengatakan bahwa jual beli ini adalah jual beli “tsun-ya”, sebagaimana telah kita sebutkan pada bagian 1, yang memiliki arti “pengecualian”, seakan-akan akad tersebut berjalan sebagaimana mestinya, kecuali akad tersebut tidak memberikan kepemilikan yang penuh kepada pembeli (kepemilikan penuh dicabut). Kepemilikan penuh yang dicabut maksudnya adalah pembeli boleh saja memakai barang/tanah tersebut, tapi tidak boleh dijual ke orang lain, dan harus dikembalikan kepada penjual jika penjual tersebut mengembalikan sejumlah uang. Seandainya barang/tanah adalah milik pembeli secara penuh dan tidak dicabut, dia bisa melakukan apa saja terhadap barang tersebut.
Landasan dalil mereka adalah sabda Nabi kita Muhammad ﷺ dalam hadis Jabir t:
(نهى…عن الثنيا، ورخص في العرايا)
“Bahwa Nabi melarang jual beli Tsun-ya dan melegalkan jual beli Araya”.
(HR. Muslim)
Mereka juga -ulama mazhab malik- beserta mazhab Hanbali mengatakan bahwa jual beli sende merupakan akad jual beli yang mengandung unsur riba berupa pinjaman yang mendatangkan keuntungan, yang di mana pinjaman yang mendatangkan keuntungan merupakan hal yang dilarang oleh mayoritas bahkan seluruh ulama, karena akad pinjam-meminjam adalah akad sukarela, tidak boleh ada unsur eksploitasi dari salah satu pihak terhadap pihak lain yang mengalami kesulitan.
Keuntungan yang di maksud adalah ketika si B meminjamkan uang kepada si A dan mengizinkan si A untuk memanfaatkan tanah, maka ketika akad telah selesai dan uang dikembalikan, si A akan mendapatkan uangnya kembali, dan telah mendapatkan keuntungan berupa pemanfaatan tanah (telah menggunakan tanah), dan hal ini adalah hal yang terlarang dalam agama.
Bahkan Imam Malik sendiri, imam pemilik mazhab mengatakan bahwa jual beli ini termasuk dalam jual beli yang dilarang dalam sabda Nabi ﷺ:
(لا يحل بيع وسلف)
“Tidaklah halal jual beli dan (mengandung) pinjaman”
(HR. Abu Daud, Tirmiżi, Nasāi, Ibnu Mājah)
Akad sende ini mengandung unsur pinjaman, tidak dipungkiri lagi, apalagi jika memang itu tujuan awal para pelaku akad. Jika pun tidak demikian, yaitu ketika pelaku sende membatalkan syarat dikemudian hari, tetap saja akad di awal ketika syarat di lafazkan dan disebutkan, memiliki unsur pinjaman yang dilarang dalam hadis. Akad yang telah rusak sejak awal, tidak bisa dibenarkan. Jika ingin sah, maka harus dengan cara dibatalkan dan diulang kembali dengan cara yang sah dan dibenarkan.
Ulama mazhab Syafii dan sebagian mazhab Hanafi, ketika melihat dalam akad ini, mereka mengatakan bahwa pelaku akad melakukan peramuan tiga hukum akad sekaligus menjadi satu.
Pertama: Mereka mengambil hukum jual-beli sah, ketika mereka menetapkan hak kepemilikan yang sah kepada pembeli, dan memberikan wewenang kepadanya untuk memanfaatkan barang dagang yang telah dia beli dengan metode sende.
Kedua: Mereka mengambil hukum jual beli yang tidak sah, ketika mereka mensyaratkan bahwa jika barang dikembalikan, maka uang harus dikembalikan juga.
Ketiga: Mereka mengambil hukum akad gadai, ketika konsekuensi dari akad mereka adalah barang dagang tidak boleh dijual ke orang lain, dan hanya boleh dikembalikan kepada penjual aslinya.
Secara kaidah, hal ini tidak dibenarkan, karena mereka menggunakan lafaz “jual-beli” yang sah, untuk akad yang mengandung unsur jual beli yang tidak sah, bahkan mengandung unsur gadai. Hal ini juga dalam istilah fikih ini disebut dengan “talfiq”, yaitu mencomot hukum dari sana dan sini kemudian menciptakan kasus baru dengan hukum yang baru.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa akad jual beli pada contoh kasus pertama ini tidak sah karena mengandung unsur riba, jenis akad pinjaman yang terlarang ditambah lagi akad ini adalah hasil comotan dari banyak akad.
Bagaimana dengan hukum jual beli sende pada contoh kasus ke dua? Kita akan bahas di bagian ke-3, Insya Allah.
Referensi:
Mudawwanah, Imam Malik
Muqoddimat Mumahhidat, Ibn Rusyud Al-Jad Al-Qurthubi
Minahul Jalil, Syarah Mukhtashar Khalil, Muhammad Alasy
Hasyiah Dasuqi, Muhammad bin Ahmad Ad-Dasuqi
Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Ibnu Hajar Al-Haitami
Kassyaf Qina’, Al-Buhuti.