Tatsqif

Bunda Yang Puitis

Suatu hari, Abu Lahab terlihat sangat kesal. Orang tua yang satu ini memang selalu kesal dengan Islam sedari awal. Hanya saja, kali ini kekesalannya memuncak. Pasalnya, sampai kepadanya informasi bahwa saudari tercintanya, Arwa binti Abdul Mutthalib, telah mengikrarkan dua kalimat syahadat. Ia lantas bergegas untuk menemui Arwa demi memverifikasi kebenaran kabar itu.

“Sungguh aneh! Apakah kamu benar-benar mengikuti agama keponakanmu, Muhammad, dan malah meninggalkan agama ayahmu, Abdul Mutthalib?” Tanya Abu Lahab yang tampak geram.

Dengan mantap dan tanpa rasa takut, Arwa menjawab, “Benar!”. Dirinya malah menyuruh Abu Lahab untuk membela Muhammad yang merupakan keponakan mereka berdua, “Bela dan dukunglah dakwah keponakanmu itu. Bila suatu saat agamanya telah meluas, maka kamu tinggal memilih. Antara masuk ke dalam agamanya, atau tetap memeluk agamamu sendiri.”

Hanya saja, dari sononya, Abu Lahab memang berkepala batu. Sebab itu, bukan hal aneh bila Allah Ta’ala sendiri mengutuknya dalam surah al-Masad yang akan terus dibaca hingga hari Kiamat. Dengan penuh kesal, ia malah berseloroh, “Kami memiliki kekuatan seluruh bangsa Arab untuk meniadakan agama baru yang ia buat-buat.” [1]

***

Arwa merupakan saudari kandung Abdullah, ayah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab itu, sangat lumrah bagi dirinya untuk mencintai satu-satunya putra saudaranya itu. Bahkan, dirinya mendukung dakwah Rasulullah sebelum dirinya mengikrarkan dua kalimat syahadat.

Ketika dakwah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ditentang secara keras oleh kaum Quraisy, putra tercintanya yang masih remaja 15 tahunan, Thulaib bin ‘Umair, masuk Islam di Dar al-Arqam bin Abil-Arqam. Setelah itu, ia kemudian menemui sang ibu untuk mengabarkan keislamannya.

“Bunda, saya telah mengikuti agama Muhammad.” Tutur putranya yang juga merupakan sepupu satu kali Rasulullah.

Baca Juga  Urgensi Maslahat dalam Kebijakan Pemimpin

Dengan bangga dan bahagia, sang bunda menyemangatinya, “Wahai putraku! Orang yang paling pantas untuk kamu ikuti dan bela adalah sepupumu, Muhammad. Demi Allah! Jika kami memiliki kekuatan seperti halnya kaum laki-laki, niscaya akan mengikuti Muhammad dan membelanya.”

Mendengar wejangan ini, Thulaib pun menawarkan pada bundanya, “Wahai Bunda! Kenapa Anda belum masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad. Padahal saudaramu, Hamzah, telah masuk Islam!”

Bundanya hanya menyahut, “Saya masih menanti sikap semua saudara saya. Setelah jelas, saya baru akan masuk Islam.”

Thulaib terus memohon pada ibunya, “Saya memohon padamu atas nama Allah agar mendatangi Muhammad kemudian masuk Islam, membenarkannya, dan bersyahadat.”[2]

Dengan motivasi sang bunda, Thulaib pun semakin mantap menjadi salah satu pembela utama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika para pemuka kaum Quraisy semakin gencar menentang dakwah beliau.

Keberanian dan keksatriaan dirinya yang masih remaja terbukti saat para pemuka Quraisy itu sengaja mengganggu dan menyakiti hati dan jasad Rasulullah. Melihat Rasulullah disikapi demikian, ia pun mendatangi Abu Jahal yang kebetulan menjadi sosok paling sadis terhadap beliau. Tanpa berbasa-basi, Thulaib melayangkan tinju kuatnya ke kepala Abu Jahal. Saking kuatnya, kepala Abu Jahal sampai berdarah-darah dan mengalami luka berat. Ia kemudian dikeroyok oleh pemuka Quraisy lain sehingga berhasil diringkus dan diikat. Melihat Thulaib diikat, Abu Lahab yang merupakan pamannya kemudian melepaskannya dan memintanya agar tidak mengulangi perbuatannya itu. Karena kisah ini, banyak ulama menyatakan bahwa Thulaib adalah orang pertama yang menumpahkan darah demi membela Rasulullah dalam Islam.

Kabar keberanian Thulaib muda yang melukai komandan terkuat Quraisy, Abu Jahal itu, lantas tersebar di seantero Kota Makkah. Orang-orang pun berkata pada ibunya, Arwa, “Apakah kamu setuju Thulaib menjadi sasaran penyiksaan demi membela Muhammad?”

Baca Juga  Faktor-faktor Penyebab Runtuhnya Andalusia (Bag. 1)

Sang Bunda menjawab, “Sebaik-baik hari adalah hari dimana dirinya menjadi pembela sepupunya, Muhammad, yang datang membawa agama yang hak dari sisi Allah.”

“Lho, apakah kamu sudah mengikuti agama Muhammad?” Tanya mereka.

Dengan mantap, dirinya menjawab, “Iya. Saya telah mengikutinya.” [3]

Kabar keislamannya ini lantas terdengar oleh telinga saudaranya, Abu Lahab. Ia pun bergegas menemuinya. Lalu terjadilah percakapan antara mereka berdua sebagaimana yang disebutkan di awal kisah ini.

Arwa bersama saudarinya, Shafiyah binti Abdul Mutthalib, kemudian ikut berhijrah demi hidup berdampingan dengan keponakan tercinta mereka, Baginda Rasulullah, di Madinah, ketika para sahabat di Makkah berbondong-bondong hijrah.

 Arwa sangat berbangga dengan putra tercintanya yang selalu mengorbankan dirinya demi membela putra dari saudaranya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia mengungkapkan kebanggaannya ini dalam bait-bait syair abadi:

“Sungguh, Thulaib benar-benar membela sepupunya…

Dengan mengorbankan seluruh jiwa dan hartanya….”[4]

Thulaib kemudian menjadi salah satu sahabat pilihan, lantaran termasuk golongan “as-sabiqun al-awwalun”, melakukan hijrah dua kali; ke Habasyah lalu ke Madinah, dan termasuk sahabat ahli Badr. Ia terus mengikuti peperangan bersama Rasulullah hingga wafat. Thulaib kemudian menemui kesyahidan dengan usia 35 tahun pada tahun 13 H di perang Ajnadain di tanah Palestina ketika umat Islam di bawah komando Khalib bin al-Walid bertempur melawan pasukan Romawi Timur.[5]

Beginilah seharusnya sikap bunda dalam mendukung perjuangan putra-putrinya dalam dakwah dan jihad yang sesuai syariat. Karena motivasi dirinya tidak sama dengan motivasi dari orang lain lantaran kedudukannya yang istimewa di hati sang anak. Bunda tidak cukup menyemangati mereka untuk menjaga ibadah dan akhlak mulia, tapi lebih dari itu ia dianjurkan memotivasi mereka untuk belajar agama dan berdakwah sesuai kemampuannya.

Baca Juga  Sejarah Indah Hubungan Erat Indonesia-Palestina

***

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, dengan sedih Arwa bersyair:

Wahai Rasulullah, Engkaulah harapan kami

Selama hidupmu, engkau sangat baik pada kami dan tak pernah bersikap keras[6]

Arwa wafat pada tahun 15 H di masa kekhalifahan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu. Para ulama mengatakan, “Bibi-bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dari pihak ayahnya) tidak ada yang masuk Islam kecuali Shafiyah dan Arwa radhiyallahu ‘anhuma.” [7]

[1] . Lihat: ath-Thabaqat al-Kubra (8/35) dan al-Ishabah (3/439)

[2] . Lihat: ath-Thabaqat al-Kubra (8/35)

[3] . Lihat: ath-Thabaqat al-Kubra (8/35)

[4] . Lihat: ath-Thabaqat al-Kubra (8/35)

[5] . Lihat: Usdul-Gabah (3/93)

[6] . Lihat: al-Isti’ab (8/1778), Usdul-Gabah (3/39), dan al-Wafi bil-Wafiyyat (8/236)

[7] . Lihat: ath-Thabaqat al-Kubra (8/35)

Maulana Laeda, Lc., M.A., Ph.D.

Doktor Bidang Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?