Fikih

Hukum Fikih berkaitan dengan Anak (bagian 6) – Tasmiyah

Hukum Fikih berkaitan dengan Anak (bagian 6) – Tasmiyah

Dalam fikih Islam, istilah at-tasmiyah memiliki dua makna pokok. Pertama, makna secara umum yaitu menyebut nama Allah sebelum melakukan sesuatu, seperti ketika menyembelih hewan atau memulai makan. Kedua, makna yang akan kita bahas kali ini yaitu pemberian nama kepada seorang anak atau seseorang yang baru lahir, yang disebut dengan وضع الاسم على المولود , meletakkan/memberikan nama pada bayi yang baru dilahirkan.

Makna ini sebagaimana dijelaskan oleh para fuqaha, dimaksudkan sebagai bentuk ta‘rîf atau identifikasi terhadap seseorang. Sebab, jika seorang anak telah lahir namun belum diberi nama, maka ia belum memiliki tanda pengenal yang bisa digunakan untuk menyebut dan mengenalinya. Dengan demikian, penamaan menjadi hal penting dalam kehidupan sosial dan keagamaan seseorang sejak awal kelahirannya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa memberi nama adalah kewajiban orang tua terhadap anaknya. Imam Ibn ‘Arafah menyebutkan:

“إن مقتضى القواعد وجوب التسمية”

Menurut kaidah-kaidah fikih, hukum penamaan adalah wajib.”

Hal ini karena nama merupakan alat identifikasi yang menjadi hak setiap manusia. Tanpa nama, seseorang tidak dapat dikenali, diseru, ataupun disebut dalam urusan hukum. Oleh karena itu, penamaan termasuk hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua.

Para fuqaha juga menyebut bahwa yang paling berhak memberi nama kepada anak adalah ayah, bukan ibu. Ibn ‘Arafah menegaskan:

“ومما لا نزاع فيه أن الأب أولى بها من الأم، فإن اختلف الأبوان في التسمية فيقدم الأب”

“Tidak ada perbedaan pendapat bahwa ayah lebih berhak dalam penamaan daripada ibu. Jika keduanya berselisih, maka pendapat ayah yang didahulukan.”

Hal ini karena penamaan termasuk bagian dari wilayah (perwalian), dan perwalian berada di tangan ayah sebagaimana dalam perkara lainnya.

Disunahkan untuk menamai anak pada hari ketujuh dari kelahirannya, sebagaimana kebiasaan yang dikenal luas di tengah masyarakat Muslim. Dalilnya adalah hadis dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِتَسْمِيَةِ الْمَوْلُودِ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَوَضْعِ الْأَذَى عَنْهُ، وَالْعَقِّ».

“Sesungguhnya Nabi ﷺ memerintahkan untuk menamai bayi pada hari ketujuh, mencukur rambutnya, dan menyembelihkan ‘aqiqah untuknya.” (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: hadis hasan gharib).

Hadis ini menunjukkan bahwa hari ketujuh merupakan waktu yang disunnahkan untuk memberi nama, karena bertepatan dengan pelaksanaan ‘aqiqah dan pembersihan rambut bayi.

Namun, juga ada hadis yang mengatakan bahwa disunahkan untuk menamai anak pada hari kelahirannya, sebagaimana hadis dari Abu Musa al-Asy‘ari , beliau berkata:

«وُلِدَ لِي غُلَامٌ، فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ ﷺ، فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ، وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ، وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ»

“Telah lahir untukku seorang anak, maka aku membawanya kepada Nabi ﷺ. Beliau menamainya Ibrahim, mengunyahkan kurma dan mengoleskannya ke langit-langit mulutnya, serta mendoakan keberkahan untuknya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Kedua hadis ini menunjukkan bahwa waktu penamaan bersifat longgar, baik pada hari kelahiran maupun hari ketujuh.

Dengan demikian, makna keduanya saling melengkapi, penamaan sejak hari lahir dibolehkan, dan penamaan pada hari ketujuh lebih Afdhal bila disertai dengan pelaksanaan ‘aqiqah, sebagaimana pendapat resmi yang dikemukakan oleh mazhab Syafii.

Atau bisa juga dikompromikan dengan cara: penamaan boleh dilakukan sejak lahir, untuk keperluan pengenalan dan administrasi, namun kemudian diumumkan atau diresmikan pada hari ketujuh bertepatan dengan pelaksanaan ‘aqiqah, sebagai bentuk syukur dan pengumuman kelahiran.

Pendapat ini senada dengan yang ditegaskan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud. Beliau berkata:

“فجاز تعريفه يوم وجوده، وجاز تأخير التعريف إلى ثلاثة أيام، وجاز إلى يوم العقيقة عنه، ويجوز قبل ذلك وبعده، والأمر فيه واسع”

“Boleh menamainya pada hari kelahirannya, boleh menundanya hingga tiga hari, boleh pula sampai hari ‘aqiqah, bahkan sebelum atau sesudahnya. Perkara ini bersifat luas (bebas).”

Menurut Ibn al-Qayyim, karena hakikat penamaan adalah ta‘rîf (pengenalan), maka ia tidak terikat waktu tertentu, Wallahu alam.

Referensi

Hasyiah Ibn Abidin, Ibn Abidin

Mawahib Jalil, Al-Hattab

Raudhatul Thalibin, Nawawi

Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud

Usamah Maming, Lc., M.A.

Kandidat Doktor, Qassim University, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button