Hukum Fikih Berkaitan dengan Anak (Bagian 1)
Penyair arab pernah bersenandung: “Anak-anak kita, adalah potongan daging kita… yang terus berjalan di atas bumi”. Anak merupakan buah hati yang terus mewarnai kehidupan kita. Keberadaannya menjadi pelipur lara, namun terkadang membuat onar di dalam rumah, begitulah riak kehidupan nan penuh warna; memberi arti bahwa cinta itu tak harus melulu datar.
Anak merupakan bagian penting dalam kehidupan, olehnya Islam memberi perhatian serius terhadap pendidikan anak; mulai dari perintah salat, memberi nama baik kepada anak, juga hukum-hukum fikih khusus terkait anak.
Kata anak menurut KBBI memiliki banyak makna; mulai dari keturunan (contoh: “Ini adalah anakku”, “aku adalah anak Adam”), manusia berumur kecil (contoh: anak itu bermain di taman), binatang yang masih kecil (contoh: anak ayam), atau bahkan pesuruh (contoh: anak buah). Namun yang menjadi fokus pembahasan adalah anak yang berarti keturunan dan manusia yang masih berumur kecil.
Dalam bahasa arab sendiri, kata anak disebut waladun (ولدٌ) berarti mauludun (مولودٌ) dengan makna “yang di lahirkan”. Anak laki-laki dan anak perempuan dalam bahasa arab dibedakan dalam dua kata yang berbeda, anak laki-laki disebut sebagai ibnun (ابن), di mana ibnun berasal dari padanan kata yang serupa dengan binaa (بناء), yang berarti bangunan. Hal ini karena anak laki-laki adalah bagian dari bangunan ayahnya; mewarisi nasab, nama keluarga, serta tanggung jawab lainnya sebagai keturunan pria dari keluarganya. Atau dapat juga di artikan bahwa ayahlah yang ‘membangun’ anak tersebut. Adapun anak perempuan maka disebut dengan ibnah (ابنة), dengan makna yang sama, namun pemakaian yang lebih populer untuk anak perempuan adalah bintun (بنت).
Agama Anak
Agama anak yang baru lahir, atau anak kecil dapat diketahui dan di identifikasi dengan mengetahui agama kedua orang tua anak tersebut. Jika agama kedua orang tua anak tersebut telah di ketahui, maka anak itu dihukumi mengikuti “Agama terbaik” dari kedua orang tuanya.
Jika seorang anak memiliki ayah beragama Islam, dan ibu beragama Kristen, maka anak itu dihukumi beragama Islam. Contoh lain misalnya (dalam mazhab Hanafi) seorang anak memiliki ayah penyembah berhala, dan ibu beragama Yahudi, maka anak itu dihukumi beragama Yahudi, karena Yahudi masih lebih baik daripada agama penyembah berhala. Namun jika kedua orang tuanya beragama yang sama (Islam misalkan). maka sudah jelas agama anak itu mengikuti agama kedua orang tua mereka. Jadi agama seorang anak mengikuti agama terbaik dari kedua orang tuanya, dan bukan mengikuti agama bapak.
Pada kasus tertentu misalnya, salah satu dari kedua orang tua masuk Islam, maka anak yang dia miliki juga dihukumi masuk ke dalam Islam dikarenakan salah satu dari kedua orang tua telah masuk Islam. Di sini perlu ditekankan, bahwa anak yang di maksud dalam pembahasan ini adalah anak kecil yang belum dewasa. Adapun jika telah balig, maka tali hukum perkara agama yang dia anut terputus dan memiliki hukum tersendiri dan tidak berhubungan lagi dengan agama orang tuanya.
Hal ini berdasarkan penerapan hukum kaidah yang berbunyi: “At-Taabi’u taabi’un” yang berarti: “Hukum cabang itu mengikuti hukum asalnya”, olehnya anak yang merupakan sebuah cabang, mengikuti hukum kedua orang tuanya, meskipun anak tersebut tidak mengikrarkan bahwa dia beragama dengan agama tertentu.
Bagaimana jika, seorang anak yang telah mumayyiz (dapat membedakan baik dan buruk) akan tetapi belum balig lalu mengikrarkan kemurtadan?, nantikan pembahasannya pada bagian 2, biiznillah. Wallahu A’lam.
Referensi:
Ibn Abidin, Hasyiah Ibn Abidin
Ensiklopedia Hukum Fikih