Hari Raya Penuh Berkah
Berikut ini adalah beberapa hukum seputar hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha), beserta adab-adabnya dalam syariat Islam.
HUKUM-HUKUM SEPUTAR HARI RAYA
Diharamkan berpuasa pada hari raya. Dari Abu Said Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ: يَوْمِ اَلْفِطْرِ وَيَوْمِ اَلنَّحْرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang puasa pada dua hari, yakni hari raya Fitri dan hari raya Kurban.” [HR. Muslim]
Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa hukum shalat ’Ied adalah wajib, pendapat ini kemudian dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, sedangkan pendapat Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah, adapun Mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah melihat bahwa hukumnya adalah sunnah muakkadah.
Akan tetapi hendaklah seorang muslim tetap berusaha menghadiri shalat ‘Ied, dikarenakan pendapat yang melihat wajibnya shalat ‘Ied adalah pendapat kuat. Adanya kebaikan, keberkahan, pahala yang besar serta meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bukti akan kewajibannya.
- Tata cara shalat ’Ied.
Dari Abu Said Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى المُصَلَّى، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ …
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha menuju al-mushalla (tanah lapang), dan hal yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat ‘Ied…” [HR. Bukhari]
Shalat Idul Fitri terdiri dari dua rakaat dan tata caranya serupa dengan shalat sunah dua rakaat pada umumnya. Perbedaannya hanya terletak pada jumlah takbir sebelum membaca al-Fatihah dalam setiap rakaat, pada rakaat pertama bertakbir dengan tujuh kali (7X) takbir setelah takbiratul ihram, dan lima kali takbir (5X) pada rakaat kedua.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، فِي الْأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ، وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الرُّكُوعِ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir dalam shalat Idul Fitri dan Idul Adha sebanyak tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua, selain dua kali takbir saat hendak ruku’. [HR. Abu Daud, shahih]
Barang siapa yang mendapati imam telah bertakbir beberapa kali dari takbir tambahan, maka cukup baginya melakukan takbiratul ihram dan mengikuti takbirnya imam tanpa mengganti takbir yang telah lewat, karena takbir-takbir itu hukumnya sunah dan bukan wajib.
Adapun doa yang dibaca pada setiap takbiran, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengajarkan zikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
يَحْمَدُ اللَّهَ بَيْنَ التَّكْبِيرَتَيْنِ وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Membaca hamdalah di antara dua takbir serta membaca salawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” [HR. Baihaqi, mauquf]
Boleh juga membaca:
اللهُ أَكْبَرَ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا
Seperti yang dipilih Imam Syafi’i dan lainnya.
- Bacaan surat pada shalat ‘Ied.
Dianjurkan bagi seorang imam untuk membaca pada sholat ’Ied surat Qaaf pada rakaat pertama dan surat al-Qamar pada rakaat kedua [HR. Muslim], dan yang banyak disebutkan pada riwayat-riwayat hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika shalat ‘Ied membaca surat al-A’laa pada rakaat pertama dan surat al-Ghasyiyah pada rakaat kedua [HR. Muslim].
- Mendengarkan khotbah
Dan di antara perkara yang diperintahkan setelah melakukan shalat ‘Ied adalah duduk mendengarkan khotbah, karena terkandung di dalamnya zikir (peringatan dan nasihat) dan hal-hal penting bagi seorang muslim. Selanjutnya mengaminkan doa di akhir khotbah demi mengharapkan kebaikan dan keberkahan di hari itu.
Berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami agar mengajak para gadis, wanita haid dan wanita yang sedang dipingit untuk keluar ke tempat shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun mereka yang sedang haid tidak ikut shalat, namun turut menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin.” [HR. Bukhari]
Akan tetapi, boleh bagi yang mempunyai urusan penting untuk tidak mendengarkan khotbah sebab hukumnya sunah, hal ini berdasarkan riwayat Abdullah bin as-Saib: “Saya hadir bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Ied, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama kami, kemudian beliau bersabda: “Telah kita tunaikan shalat ‘Ied, maka barang siapa yang ingin duduk mendengarkan khotbah maka duduklah, dan bagi yang ingin pergi maka pergilah.” [HR. Abu Daud, shahih]
ADAB-ADAB SHALAT HARI RAYA
- Mandi
Nafi’ mengatakan: “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mandi pada hari Idul Fitri sebelum berangkat ke lapangan.” [HR. Malik dan Syafi’i, sanadnya shahih]
Al-Faryaby menyebutkan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib mengatakan: “Sunnahnya Idul Fitri ada tiga: Berjalan menuju lapangan tempat shalat, mandi, dan makan sebelum keluar (menuju lapangan/masjid).” [Ahkamul ‘Iedain karya al-Faraby dan sanadnya shahih]. Dan sepertinya beliau mengambil perkataan ini dari para sahabat. Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan ijma’ ulama tentang dianjurkannya mandi sebelum shalat ‘Ied.
Catatan: Diperbolehkan untuk mandi hari raya sebelum atau sesudah subuh. Ini adalah pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i dan pendapat yang dinukil dari Imam Ahmad. Allahu A’lam.
- Makan sebelum berangkat ke lapangan/masjid
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar di hari Raya Idul Fitri sebelum beliau makan beberapa kurma, beliau memakannya dalam jumlah ganjil.” [HR. Bukhari]
Hikmah dianjurkannya makan sebelum keluar menuju shalat adalah sebagai bentuk penekanan terhadap larangan berpuasa di hari raya, dan sebagai tanda telah berlalunya puasa Ramadhan, maka barang siapa tidak mempunyai kurma, maka hendaklah mencicipi makanan ringan lainnya.
- Bertakbir
Bertakbir di hari raya merupakan sunnah teragung dalam Islam, berdasarkan Firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [QS. Al-Baqarah: 185]
Imam Az-Zuhry rahimahullah berkata:
“Para sahabat bertakbir saat mereka berangkat menuju tempat shalat ‘Ied dari rumah-rumah mereka sampai mereka tiba di tempat shalat ‘Ied, dan mereka terus bertakbir sampai imam shalat ‘Ied tiba, jika imam shalat ‘Ied tiba, maka mereka berhenti bertakbir, dan apabila imam telah mengucapkan takbiratul ihram (untuk shalat ‘Ied), mereka pun turut melakukannya.” [Al-Irwa’ 2/212]
Waktu takbiran Idul Fitri dimulai sejak malam Idul Fitri hingga keluarnya imam untuk shalat.
- Bentuk takbiran
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengucapkan takbir pada hari taysriq (11, 12, 13 Dzulhijjah) dengan lafal:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
“Allah Maha Besar 3x, tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar, dan hanya untuk Allahlah segala pujian.” [HR Ibnu Abi Syaibah, sanadnya shahih]
Dalam riwayat yang lain dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dengan redaksi:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar lagi Mulia, Allah Maha Besar, dan hanya bagi Allah segala pujian.” [HR Al-Muhamili, sanadnya shahih]
- Ucapan Selamat Hari Raya
Dari Jubair bin Nufair berkata: “Kebiasaan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika mereka saling bertemu pada hari ‘Ied adalah sebagian mereka mengucapkan selamat kepada sebagian lainnya dengan ucapan: Taqabballahu minnaa waminkum (semoga Allah menerima amal kami dan amal kalian).” [HR. Al-Muhamili dalam Al-Fath 2/446, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: Sanadnya hasan]
Ucapan Selamat Hari Raya ada dan dikenal di zaman sahabat, dan hal ini diperbolehkan oleh para ulama seperti Imam Ahmad, hal ini merupakan bentuk kemuliaan akhlak dan tradisi sosial yang turun-temurun pada masyarakat Islam. Adapun tentang boleh atau tidaknya, Imam Ahmad mengatakan: “Jika ada yang menyampaikan kata selamat untukku, maka aku akan membalasnya dengan ucapan selamat pula, dan bila tidak, maka aku tak akan memulainya.”
- Berhias dan merapikan diri di hari raya
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai jubah yang selalu beliau kenakan untuk shalat dua hari raya dan shalat Jumat.” [HR. Ibnu Khuzaimah di kitab Shahih].
Bagi laki-laki hendaklah mengenakan pakaian terindah yang ia punya, dan bagi wanita hendaknya menghindari perhiasan saat keluar menuju tempat shalat dikarenakan mereka dilarang untuk menampakkan perhiasan yang dimilikinya bagi lelaki asing, sebagaimana mereka juga dilarang menggunakan wewangian atau yang mendatangkan fitnah bagi lelaki, sebab mereka hanya keluar rumah demi ibadah dan ketaatan.
- Pergi menuju tempat shalat dan kembali ke rumah dengan jalan yang berbeda
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika hari ‘Ied, beliau mengambil jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.” [HR. Bukhari]
Di antara hikmah yang disebutkan dari mengambil jalan yang berbeda adalah untuk menampakkan dzikrullah, untuk membuat ciut kaum munafik dan kaum kafir, serta menanamkan rasa takut pada hati-hati mereka dengan banyaknya jumlah kaum muslimin yang berjalan bersama beliau. Juga untuk menunaikan hajat masyarakat, seperti memberi fatwa, memberi pengajaran bagi mereka, untuk bersedekah, untuk berziarah dan bersilaturahmi bersama karib kerabat beliau, atau untuk semua maslahat dan hikmah yang lainnya.
PERINGATAN TERHADAP HAL-HAL YANG DIMURKAI
Sebagian orang beranggapan disyariatkannya menghidupkan malam hari raya, dengan berdalihkan hadits:
مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ الْعِيدِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ
“Barang siapa yang menghidupkan malam hari raya (dengan ibadah), maka tak akan mati hatinya di hari saat semua hati mati.”
Padahal hadits ini adalah hadits yang tidak shahih, ia diriwayatkan dengan dua jalur salah satunya palsu dan satunya lagi sangat lemah [lihat: Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah, oleh Syeikh Al-Albani: 520,521]
Oleh karena itu, tidak disyariatkan untuk mengkhususkan malam hari raya dengan ibadah dan shalat. Adapun orang yang telah terbiasa menghidupkan malam-malamnya dengan shalat, maka tak mengapa baginya untuk menghidupkan malam hari raya.
Dan perlu diingatkan perkara ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan wanita) di lapangan shalat ‘Ied dan di jalan-jalan atau tempat-tempat lainnya. Sungguh sangat disayangkan bila hal itu terjadi di masjid-masjid. Kita lihat para wanita berangkat menuju shalat dengan berhias/bersolek dan memakai wewangian dengan penampilan yang menyelisihi syariat, sehingga di saat terjadi kemacetan dikarenakan mesjid penuh sesak banyak terjadi fitnah dan bahaya yang besar yang tidak dapat dihindari.
Seharusnya para panitia atau para petugas merapikan dan mengkhususkan pintu dan jalan bagi wanita, dan bagi lelaki untuk tidak meninggalkan tempat shalat hingga para wanita meninggalkan tempat-tempat mereka, demi kelancaran jalannya shalat ‘Ied dan agar terhindar dari kemacetan.
Kita memohon kepada Allah untuk menerima segala amal puasa dan tarawih kita semua, dan semoga Allah menutup bulan Ramadhan kali ini dengan keridhaan-Nya dan membebaskan kita semua dari neraka-Nya, serta mengampuni segala dosa kita, dosa ibu dan bapak kita, dan dosa seluruh kaum muslimin.