Zakat Fitri
Di antara wujud dari kasih sayang Allah Subhanahu wata’ala adalah bahwa Dia membukakan pintu-pintu rezeki bagi hamba-hambaNya. Tak satu pun dari hamba-hambaNya melainkan mendapatkan bagian rezeki dari-Nya bahkan hingga hewan-hewan sekalipun. Namun di antara hikmah-Nya, Dia memberikan rezeki kepada hamba-hambaNya dalam bentuk dan jumlah yang berbeda-beda, ada yang rezekinya berupa harta, ada yang berupa ilmu, ada yang berupa kesehatan dan berbagai macam bentuk lainnya,serta dalam jumlah yang berbeda-beda.
Hamba yang beriman pasti akan bersyukur atas nikmat dan rezeki yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala apapun bentuknya dan berapapun jumlahnya. Salah satu bentuk kesyukuran atas rezeki yang berupa harta adalah dengan cara mengeluarkan sebagian dari harta tersebut dan memberikannya kepada orang lain. Islam telah memberikan tuntunan kepada manusia untuk tidak kikir dalam mengeluarkan harta di jalan Allah dan memberikannya kepada mereka yang berhak. Bahkan begitu banyak motivasi yang diberikan oleh syariat agar kaum muslimin terdorong dan gemar untuk mengeluarkan harta mereka kepada orang-orang yang membutuhkan. Allah berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan beberapa mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohon ampunan di waktu-waktu sahur (sebelum fajar). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” [QS. Adz-Dzariyat: 15-19]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang bersedekah seberat sebiji kurma dari sumber penghasilan yang halal –dan tidak akan sampai kepada Allah kecuali yang halal–, maka sesungguhnya Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya kemudian Dia akan memeliharanya untuk pemiliknya –sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak kudanya– hingga menjadi sebesar gunung.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Masih banyak lagi dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan menafkahkan harta untuk orang-orang yang membutuhkan, yang tentu saja bertujuan menggugah kepedulian terhadap mereka. Namun, ada saja orang yang belum tergerak untuk mengeluarkan hartanya sekalipun dengan keutamaan yang begitu besar. Karenanya, Islam mewajibkan untuk mengeluarkan sebagian dari harta dengan aturan-aturan tertentu. Inilah yang disebut dengan zakat, yang dengannya seorang muslim yang telah memenuhi syarat wajib zakat mau tidak mau, suka atau tidak suka, berat ataupun ringan harus mengeluarkan sebagian dari hartanya kepada mereka yang berhak untuk mendapatkannya yang pada hakikatnya memang merupakan pemilik harta tersebut.
Karena itu, Allah mengancam orang-orang yang menimbun harta dan tidak mengeluarkan zakatnya kepada mereka yang berhak dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” [QS. At-Taubah: 34-35]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang yang memiliki emas atau perak yang tidak ditunaikan zakatnya melainkan pada hari kiamat harta itu akan dijadikan lempengan-lempengan besi dari neraka kemudian akan dipanaskan di dalam neraka Jahanam kemudian ditempelkan pada sisi tubuhnya dan jidatnya dan punggungnya, setiap kali lempengan itu dingin maka dipanaskan kembali, pada satu hari yang kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun, hingga selesai pengadilan di antara hamba-hamba, kemudian dia akan melihat jalannya apakah ke surga ataukah ke neraka…” [HR. Muslim]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang diberikan harta lalu dia tidak menunaikan zakatnya, maka hartanya itu akan dijadikan dalam bentuk seekor ular yang sangat berbisa yang memiliki dua titik di atas matanya yang dikalungkan di lehernya pada hari kiamat. Kemudian ular itu akan menggigit orang tersebut dengan kedua rahangnya sambil mengatakan: “Akulah hartamu, akulah harta simpananmu.” [HR. Bukhari]
Zakat yang diwajibkan dalam Islam ada dua macam yaitu zakat harta dan zakat fitri, dan jenis zakat yang akan dijelaskan di sini adalah zakat fitri karena zakat tersebut terkait dengan bulan Ramadhan.
Definisi zakat fitri secara bahasa dan istilah syar’i
Kata zakat (زكاة) dalam bahasa Arab bermakna: sesuatu yang tumbuh, bertambah, atau suci. Bisa juga bermakna keberkahan.
Dan kata fithr (فطر) dalam rangkaian kalimat bahasa Arab bermakna: berbukanya orang yang berpuasa.
Mengapa zakat disandarkan kepada perkara berbuka puasa?Jawabannya: karena penyebab zakat ini diwajibkan adalah berbuka dan selesainya seorang muslim dari ibadah puasa selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan.
Di kalangan ulama ahli fiqih sering juga digunakan istilah fitrah untuk benda yang dizakatkan. Karena itulah kemudian zakat ini populer di kalangan masyarakat dengan sebutan zakat fitrah.
Adapun definisi zakat fitri dalam istilah adalah:
Sedekah yang diwajibkan karena selesainya berpuasa selama bulan Ramadhan, sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa, dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia serta rafats (rafats artinya cumbu rayu seorang suami kepada istrinya pada saat menunaikan ibadah puasa).
Hukum zakat fitri
Zakat fitri hukumnya wajib atas setiap pribadi muslim baik laki-laki ataupun perempuan, tua ataupun muda, merdeka ataupun hamba sahaya, berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitri dari bulan Ramadhan satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari tepung sya’ir atas setiap orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, dari kaum muslimin.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Hikmah diwajibkannya zakat fitri
Allah Subhanahu wata’ala memiliki hikmah-hikmah yang besar dalam setiap syariat yang ditetapkan-Nya bagi hamba-hambaNya. Di antara hikmah-hikmah diwajibkannya zakat fitri adalah:
- Menumbuhkan kasih sayang di antara kaum muslimin sehingga semakin mempererat ukhuwah dan persatuan,sehingga tidak ada jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin.
- Mengikis kecintaan terhadap harta dalam diri orang-orang yang kaya dengan mengeluarkan sebagian dari hartanya kepada saudaranya yang tidak mampu.
- Melatih kepedulian terhadap orang lain.
- Menutupi kekurangan-kekurangan yang terjadi selama melaksanakan puasa Ramadhan.
Kepada siapa zakat fitri diwajibkan
Untuk mengetahui siapa saja yang wajib menunaikan zakat fitri kita perlu mengetahui terlebih dahulu syarat-syarat yang menjadikan seseorang wajib menunaikan zakat fitri. Syarat wajibnya menunaikan zakat fitri ada tiga:
- Islam, maka ia wajib atas setiap muslim; hamba sahaya atau orang yang merdeka, laki-laki ataupun perempuan, orang dewasa maupun anak kecil.
Dan bagi anak yatim, ditunaikan oleh wali yang memegang hartanya.
- Mampu, yaitu ketika dia memiliki pangan yang lebih dari kebutuhan dirinya dan keluarganya, dan kebutuhan primer lainnya, kelebihan itu sebesar satu sha’.
- Telah masuk waktunya, yaitu terbenamnya matahari pada malam ‘Idul Fitri (berakhirnya bulan Ramadhan).
Dengan demikian zakat fitri wajib dikeluarkan atas setiap orang Islam yang mendapatkan waktu sebelum terbenamnya matahari pada hari terakhir dari bulan Ramadhan. Termasuk setiap anak yang lahir sebelum terbenamnya matahari pada hari terakhir Ramadhan atau orang yang baru masuk Islam pada waktu tersebut dan memiliki kelebihan makanan pada malam dan hari raya wajib mengeluarkan atau dikeluarkan zakat fitri atas namanya.
Adapun mereka yang meninggal dunia sebelum terbenamnya matahari pada hari terakhir dari bulan Ramadhan atau bayi yang baru lahir setelah terbenamnya matahari yang menandakan masuknya 1 Syawal,maka tidak wajib dikeluarkan zakat fitri atas nama mereka. Akan tetapi baik juga menunaikan zakat fitri atas janin yang masih dalam kandungan, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Usman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Dalam hal ini kepala keluarga wajib mengeluarkan zakat fitri dari semua yang berada di bawah tanggungannya. Anak-anak yatim dikeluarkan zakat fitri mereka oleh wali-wali yang memegang urusan dan harta warisan mereka. Adapun budak, maka zakat fitrinya dikeluarkan oleh pemilik budak tersebut.
Waktu mengeluarkan zakat fitri
Zakat fitri dikeluarkan sebelum pelaksanaan shalat ‘Ied. Waktu mengeluarkannya yang paling afdhal adalah sebelum orang-orang berangkat shalat ‘Ied sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu:
“Dan beliau, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, memerintahkan agar (zakat fitri tersebut) dikeluarkan sebelum orang-orang berangkat ke tempat shalat ‘Ied.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Namun diperbolehkan pula untuk mengeluarkan zakat fitri sebelum itu, dan sebaiknya paling cepat dimulai dua hari sebelum hari raya Idul Fitri berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
“Adalah mereka (para sahabat) mengeluarkan zakat fitri mereka sehari atau dua hari sebelum ’Ied.” [HR. Bukhari]
Tempat dikeluarkannya zakat fitri
Disunnahkan mengeluarkan zakat fitri di tempat mana si wajib zakat menetap, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mengutusnya berdakwah ke negeri Yaman:
“Maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu diberikan kepada orang-orang miskin mereka.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Namun boleh juga zakat tersebut dikeluarkan di tempat lain khususnya jika di tempat lain tersebut banyak kaum muslimin yang lebih membutuhkan, sementara kaum muslimin yang miskin di tempat tinggal si wajib zakat sedikit, sebagaimana yang terjadi di sebagian negara makmur saat ini yang jumlah kaum muslimin di sana sedikit dan rata-rata hidup dalam kemakmuran dari sisi ekonomi.
Bentuk zakat fitri
Zakat fitri dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan pokok yang dikonsumsi di daerah mana zakat fitri itu dikeluarkan,dari jenis yang biasa dikonsumsi oleh si wajib zakat. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitri dari bulan Ramadhan satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari tepung sya’ir atas setiap orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, dari kaum muslimin.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Seorang yang biasa mengonsumsi beras dari jenis yang mahal misalnya, harus mengeluarkan beras dari jenis tersebut sebagai zakat fitrinya. Sebaliknya seorang yang biasa mengonsumsi beras dari jenis yang murah juga mengeluarkan beras dari jenis tersebut sebagai zakat fitrinya.
Apakah boleh mengeluarkan zakat fitri dalam bentuk uang? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, namun mayoritas ulama tidak membolehkan. Pendapat yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama yang mengkhususkan zakat fitri dalam bentuk bahan makanan dan tidak membolehkan dikeluarkannya zakat fitri dalam bentuk uang. Hal ini berdasarkan beberapa alasan:
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluarkan zakat fitri dan memerintahkan kaum muslimin untuk mengeluarkannya dalam bentuk bahan makanan.
- Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hidup,uang (dinar dan dirham) sudah dipergunakan untuk transaksi dan masyarakat pada saat itu juga sangat membutuhkan uang, namun beliau tidak pernah memerintahkan atau memberi pilihan untuk mengeluarkan zakat fitri dalam bentuk uang.
- Syariat Islam sangat lengkap dan sempurna karena Islam tidak hanya mewajibkan zakat fitri namun juga mewajibkan zakat harta yang dikeluarkan dalam berbagai bentuk; emas, perak, uang, hewan ternak, dan hasil bumi. Dengan demikian kebutuhan masyarakat miskin terhadap uang sudah tertutupi dengan zakat harta yang dikeluarkan oleh kaum muslimin yang mampu.
Kadar zakat fitri
Zakat fitri adalah zakat yang dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan seperti beras, gandum, kurma dan bahan-bahan makanan pokok lainnya yang dikonsumsi secara umum oleh penduduk di suatu wilayah. Kadar bahan makanan yang dikeluarkan adalah 1sha’ per kepala berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu di atas.
Akan tetapi para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang takaran atau timbangan yang setara dengan 1 sha’. Hal itu disebabkan karena tidak adanya alat takar sha’ yang dipergunakan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu yang masih ada hingga saat ini, sehingga sebagian ulama menetapkannya berdasarkan perkiraan yang didasarkan pada keterangan bahwa 1 sha’ setara dengan 4 mud berukuran sedang dari seorang laki-laki dewasa (ukuran satu mud adalah isi dari kedua telapak tangan yang dirapatkan dan terbuka ke atas) dan sebagian lagi mengonversi dari takaran dan timbangan masa lalu ke takaran dan timbangan modern dengan perhitungan tertentu.
Karena itu lebih mudah bagi masyarakat untuk mengikuti ketetapan pemerintah atau majelis ulama di negerinya masing-masing. Di Saudi Arabia misalnya, majelis ulama besar Kerajaan memfatwakan 1 sha’ sama dengan 3 kg. Adapun di Indonesia MUI Pusat pada tahun 2003 memfatwakan 1 sha’ sama dengan 2,5 kg sedangkan MUI Jawa Timur pada tahun 2010 menganjurkan untuk menggenapkan menjadi 3 kg.
Yang berhak menerima zakat fitri
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa penerima zakat fitri sama dengan penerima zakat harta yaitu 8 golongan yang disebutkan dalam surah At-Taubah ayat 60 yang artinya.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, orang-orang yang berhutang untuk (memerdekakan) budak, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Namun di antara ulama ada yang berpendapat bahwa zakat fitri dikhususkan untuk golongan fakir miskin saja. Hal ini didasarkan kepada hadits Abdullah bin Abbas, beliau berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan mendekati syahwat serta menjadi makanan bagi orang-orang miskin.” [HR. Abu Dawud, hasan]
Pendapat kedua inilah yang lebih kuat insyaallah berdasarkan hadits Ibnu Abbas di atas dan karena Idul Fitri adalah hari bergembira dengan makan dan minum setelah berpuasa sebulan penuh sehingga dilarang berpuasa pada hari tersebut, maka sudah sepantasnya zakat pada hari itu dikhususkan untuk fakir miskin agar mereka bisa bergembira bersama dengan kaum muslimin lainnya.
Demikianlah tuntunan ringkas pelaksanaan zakat fitri, semoga dapat membantu dan mengarahkan kita untuk dapat menunaikan zakat fitri ini dengan sebaik-baiknya.