Berjalan di Atas Takdir: Antara Keyakinan, Ikhtiar, dan Tawakal

Berjalan di Atas Takdir: Antara Keyakinan, Ikhtiar, dan Tawakal
Takdir adalah ketetapan Allah atas segala sesuatu yang besar dan kecil, yang tampak dan tersembunyi, yang lalu dan akan datang dengan ilmu-Nya yang meliputi dan hikmah-Nya yang sempurna. Beriman kepada qadha’ dan qadar merupakan rukun iman yang menegakkan ketenangan jiwa: ketenangan karena tahu segala sesuatu berada dalam genggaman Allah, dan kesungguhan karena diperintahkan untuk berusaha sebaik-baiknya.
Firman Allah subhanahu wataa’la :
اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ)
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (Al-Qamar: 49), yang artinya, setiap kejadian berjalan di atas ketentuan ilahi yang presisi.
Iman kepada takdir meliputi empat tingkatan yang dikenal para ulama:
1. ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu
2. pencatatan takdir di Lauh Mahfuz,
3. kehendak/iradah Allah, dan penciptaan
4. tingkatan ini menjaga keseimbangan pandang seorang mukmin antara keyakinan pada ketetapan Allah dan kewajiban berusaha.
Pertama, Allah Maha Mengetahui; tidak ada daun yang gugur melainkan dalam pengetahuan-Nya. Kedua, apa yang terjadi telah tercatat, riwayat menyebut penetapan takdir 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Ketiga, segala yang terjadi berada di bawah kehendak-Nya, tiada sesuatu pun terjadi di alam ini kecuali dengan izin-Nya. Keempat, Allah adalah Pencipta segala sebab dan akibat; Dia menciptakan manusia dan perbuatannya, dan memberikan pilihan serta pertanggungjawaban dalam batas kemampuan manusia.
Bahwa takdir itu ada, tidak berarti manusia bebas dari perintah untuk berikhtiar. Justru Al-Qur’an mengajarkan dua sisi yang berjalan bersama: ketegasan tentang takdir dan dorongan untuk bertindak benar. Allah berfirman:
قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَنَآ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَنَاۚ هُوَ مَوْلٰىنَا وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah: tidak akan menimpa kami kecuali apa yang Allah tetapkan bagi kami; Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakal orang-orang yang beriman” (At-Taubah: 51). Ayat ini bukan ajakan pasrah tanpa usaha, melainkan pengokoh hati agar dalam usaha yang halal dan terukur, seorang mukmin tidak gentar oleh hasil yang belum dipegang.
Allah berfirman
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin, laki-laki atau perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan lain bagi mereka dalam urusan mereka” (Al-Ahzab: 36), yang menegaskan kepatuhan pada ketentuan syariat sebagai bentuk menerima ketetapan Allah dalam perkara hukum dan perintah.
Hadis Jibril yang masyhur menempatkan iman kepada takdir sebagai pilar Iman: “Engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” Redaksi hadits-hadits menunjukkan bahwa takdir itu meliputi segala hal, namun syariat mengikat manusia dengan amanah usaha dan larangan berputus asa. Riwayat lain menyebutkan bahwa Allah telah menulis takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, mengokohkan makna pencatatan takdir di Lauh Mahfuz.
Di sinilah arti keseimbangan: iman kepada takdir melahirkan tenang, ikhtiar melahirkan gerak. Tanpa iman kepada takdir, usaha berubah jadi kecemasan; tanpa ikhtiar, iman berubah jadi fatalisme. Jalan lurus di antara keduanya adalah tawakal: melakukan sebab yang disyariatkan, kemudian menyerahkan hasil kepada Allah. Dalam praktiknya, tawakal dimulai dari rencana yang jelas, pelaksanaan yang sungguh-sungguh, evaluasi yang jujur, dan doa yang terus menerus. Bila hasil sesuai harap, Syukur,bila menyimpang, sabar dan memperbaiki cara. Inilah corak jiwa mukmin yang diajarkan Al-Qur’an: “Tidak ada yang menimpa kami, kecuali apa yang Allah tetapkan bagi kami” ketenangan; “Dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang beriman” kelanjutan usaha dan doa.
Ada beberapa kekeliruan umum dalam memahami takdir. Pertama, menuduh takdir untuk menutupi kelalaian. Padahal syariat menuntut sebab: orang yang tidak belajar lalu gagal dalam ujian tidak bisa berkata “ini takdir” untuk membenarkan malas; yang benar, ia mengakui lalai dan memperbaiki usaha sambil beriman bahwa rezeki dan kemudahan berada di tangan Allah. Kedua, menafikan takdir hingga mengangkat manusia seolah penentu mutlak hasil.
Padahal banyak faktor di luar kendali: kesehatan, peluang, dan sinergi yang tidak selalu bisa dihitung; di sinilah doa dan tawakal mengisi ruang-ruang yang tak mungkin dijangkau tangan manusia.
Beriman kepada takdir membawa buah akhlak yang indah. Ia menumbuhkan sabar saat ujian, syukur saat nikmat, qana’ah dalam rezeki, berani dalam kebenaran, dan dermawan dalam harta. Para ulama menegaskan, orang yang paling berbahagia adalah yang paling lurus imannya pada takdir: ia tidak berlebihan dalam sedih, tidak melampaui batas dalam gembira, dan tidak mudah goyah saat rencana berubah—karena ia mengenal Tuan dari semua rencana. Ketika seseorang yakin bahwa Allah menulis takdir dengan ilmu dan rahmat, ia pun yakin bahwa di balik setiap ketentuan ada hikmah, sekalipun hikmah itu baru tampak di penghujung perjalanan.
Bagaimana membawa iman kepada takdir ke dalam kegiatan harian? Pertama, mulai hari dengan doa dan niat lurus: memohon rezeki yang halal, ilmu yang bermanfaat, amal yang diterima. Kedua, rencanakan tiga prioritas harian; jalankan sebab-sebabnya dengan disiplin. Ketiga, di tengah hari, lakukan “re-set” singkat: istighfar atas kelalaian, doa mohon kemudahan. Keempat, akhiri hari dengan muhasabah: mana sebab yang sudah dikerjakan, mana yang terhambat, dan mana hasil di luar dugaan; syukuri yang sesuai, sabari yang belum, perbaiki rencana esok. Dalam alur ini, iman kepada takdir terasa konkret: bukan teori di langit, melainkan energi yang menenangkan dan menggerakkan.
Pada tataran keluarga dan komunitas, iman kepada takdir mencegah friksi yang tidak perlu. Orang tua yang beriman pada takdir mendidik dengan kasih dan ketegasan: melakukan sebab terbaik mencari sekolah, mendampingi belajar, menanamkan akhlak lalu menyerahkan hasil kepada Allah, tidak mencaci anak atau pasangan saat hasil belum tampak. Pemimpin yang beriman pada takdir merancang program matang, menggerakkan tim, membuka ruang tawakal melalui doa dan etika kerja bersih; ketika gagal, ia mengakui kekurangan dan tidak membebankannya pada pihak lemah. Dalam organisasi, iman kepada takdir memuliakan proses: hasil baik adalah anugerah, proses baik adalah amanah.
Dalil-dalil Al-Qur’an mengukuhkan seluruh bangunan ini. Selain Al-Qamar: 49, ayat-ayat lain menegaskan keluasan ilmu dan ketetapan Allah: “Dan adalah ketetapan Allah suatu ketetapan yang pasti berlaku” (Al-Ahzab: 38), “Tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu” (Al-Hijr: 21), “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi; perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu” (Ath-Thalaq: 12). Ayat-ayat ini membimbing hati agar tidak sombong saat berhasil, dan tidak putus asa saat gagal.
Dari hadis, selain hadis Jibril tentang rukun iman, terdapat riwayat: “Allah telah menetapkan takdir segala makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi” (HR. Muslim), yang menegaskan aspek pencatatan azali; serta banyak hadis yang mengajarkan adab berikhtiar—seperti kisah “ikatlah unta lalu bertawakal”—meski redaksinya berbeda-beda dalam sumber, spiritnya selaras: gabungkan sebab dan tawakal, jangan pertentangkan. Demikian pula doa-doa Nabi saat sempit membuka ruang bagi hati untuk tetap sabar dan berharap, menempatkan takdir sebagai ladang pahala, bukan alasan pasif.
Akhirnya, iman kepada takdir adalah seni berjalan di atas tanah sebab sambil menatap langit ketentuan. Kita pegang kuat perintah-Nya, kita ikhtiarkan sebab yang halal, kita hindari maksiat, lalu kita pasrahkan hasil tanpa getir. Bila Allah bukakan, itu nikmat; bila Allah tahan, itu didikan. Keduanya baik bagi orang beriman. Dengan demikian, takdir bukan musuh yang menakutkan, tetapi sahabat yang menenangkan: ia mengajarkan batas kita, memuliakan usaha kita, dan mengantar kita kepada ridha dan tawakal. Semoga Allah meneguhkan hati kita dalam iman kepada qadha’ dan qadar, menjadikan kita hamba yang giat berusaha dan ringan bersyukur, serta sabar saat ujian—hingga setiap langkah kita menjadi ibadah yang diterima di sisi-Nya.
Barakallahufikum……….


