Fikih

Batasan Aurat dan Hijab Muslimah Dalam Pandangan Al’Allaamah Muhammad Nawawi Al-Bantani rahimahullah

Pendahuluan

Bismillahirrahmanirrahim…

Menarik untuk bisa mengkaji dan melakukan study terhadap ijtihad dan pandangan para ulama kita, khususnya para ulama Syafi’iyah, dan terlebih lagi ulama kharismatik yang berasal dari Bumi Nusantara. Study tentang masalah aurat dan hijab ini bukanlah hal baru, namun mengangkatnya dalam bentuk study yang lebih mengarah pada kreatifitas ilmiyah yang terangkai oleh informasi yang valid dan dalil yang otentik dan shahih adalah suatu keharusan tersendiri. Akan lebih memperkaya khazanah kita, atau bahkan merevisi cara pandang kita, jika kita mengkajinya lewat perspektif salah satu ulama kenamaan tanah air kita yaitu Imam dan Syaikh Masjidil Haram Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani rahimahullah. Pastinya, sebagai seorang ulama madzhab Syafi’i, pendapat beliau sering kali sejalan dengan masaa-il mu’tamadah (perkara-perkara fiqh yang dijadikan patokan) dalam madzhab Syafi’iyah, tak terkecuali dalam perkara hijab dan aurat muslimah ini. Selamat membaca.

Biografi Singkat Beliau

Al-Zirikli seorang sejarawan besar Islam, dalam kitabnya Al-A’laam menyebutkan bahwa beliau seorang ahli tafsir, shufi, dan diantara ulama fiqih madzhab Syafi’i. Beliau seringkali dijuluki ” ‘Aalimul-Hijaaz ” (Ulama Negeri Hijaz). Beliau tentunya lahir diIndonesia, namun tahun kelahirannya tidak diketahui. Beliau wafat di Kota Mekah tahun 1316 H , bertepatan pada tahun 1898 H. Beliau memiliki banyak karya tulis yang diantaranya akan disebutkan dalam tulisan sederhana ini.[1]

Sebagai tambahan bahwa, ketika penulis menemani KH. Ma’ruf Amin (Ketua MUI) dan Ustadz Muhammad Zaitun berziarah ke kediaman Syaikh Isa Al-Masmali hafizhahullah di Kota Mekah, pada musim haji tahun ini, Pak Kyai Ma’ruf Amin sempat menyatakan, bahwa beliau merupakan salah satu keturunan Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantani ini.

Hijab Dan Aurat Wanita Muslimah

 Dalam kitab Nihaayah Al-Zain Syarah Qurrah Al-‘Ain, beliau mengklasifikasikan aurat wanita dewasa hurrah (yang bukan hamba sahaya) menjadi 4 macam -sesuai pendapat yang mu’tamad dan popular dalam madzhab syafi’iyah-.

Beliau berkata :

الحرة لها أربع عورات؛ إحداها جميع بدنها إلا وجهها وكفيها ظهرا وبطنا وهو عورتها في الصلاة فيجب عليها ستر ذلك في الصلاة حتى الذراعين والشعر وباطن القدمين. ثانيتها ما بين سرتها وركبتها وهي عورتها في الخلوة وعند الرجال المحارم وعند النساء المؤمنات. ثالثتها جميع البدن إلا ما يظهر عند المهنة وهي عورتها عند النساء الكافرات. رابعتها جميع بدنها حتى قلامة ظفرها وهي عورتها عند الرجال الأجانب فيحرم على الرجل الأجنبي النظر إلى شيء من ذلك ويجب على المرأة ستر ذلك عنه والمراهق في ذلك كالرجل فيلزم وليه منعه من النظر إلى الأجنبية ويلزمها الاحتجاب منه.

Artinya: “Wanita merdeka memiliki empat macam aurat ;

-Pertama ; seluruh  tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya,-baik punggung maupun telapaknya- dan ini adalah auratnya dalam shalat,jadi wajib baginya menutupnya ketika shalat sekalipun itu kedua lengan,rambut ataupun dua telapak kaki.

-Kedua ; bagian antara pusar dan lututnya,dan ini adalah auratnya tatkala ia sendiri,dan ketika berada di hadapan  laki-laki yang mahram dan  kaum wanita yang muslimah,

-ketiga ; seluruh tubuhnya kecuali yang nampak pada saat ia bekerja, dan ini adalah auratnya dihadapan wanita-wanita kafir.

-Keempat ; seluruh tubuhnya sekalipun kukunya yang telah tercabut, dan ini adalah auratnya dihadapan laki-laki yang bukan mahram, maka haram atas laki-laki bukan mahram untuk memandang sesuatu dari tubuhnya dan wajib bagi wanita untuk manutupnya (auratnya) dari pandangannya.”[2]

Dari empat klasifikasi aurat inilah, poin-poin bahasan ini akan dikaji insya Allah.

Pertama : Aurat wanita dalam shalat

Yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak/punggung tangan. Ini juga sesuai dengan ijma’  (consensus) para ulama.

Rambut dan telapak kaki juga merupakan aurat wanita dalam shalat, artinya tidak boleh ditampakkan. Jika keduanya ditampakkan maka shalatnya batal – menurut beliau – sebagaimana dalam kitabnya “Kaasyifah Al-Sajaa Syarah Safiinah Al-Najaa” (hal. 117)” : “Telapak kaki wajib ditutup – dalam shalat – walaupun ketika qiyam/ berdiri (tidak boleh terlihat)… dan apabila sebagian telapak kaki ini nampak tatkala sujud, atau nampak mata kakinya tatkala ruku’ atau sujud maka shalatnya batal.”

Kedua: Aurat wanita di hadapan mahram laki-laki dan wanita muslimah lainnya

Yaitu bagian antara pusar dan lututnya.

Hal ini tidak berarti bahwa wanita muslimah dibolehkan untuk berpakaian dengan ukuran antara pusar sampai lutut dihadapan muslimah lain atau mahram laki-lakinya sebab ini menyelisihi fitrah wanita dan adab/etika Islam. Namun apabila bagian atas pusar atau bawah lutut tersingkap dihadapan mahramnya maka ini tidak mengapa sebab bagian itu bukanlah aurat untuk mereka. Diantara dalilnya adalah :

-Bahwasanya wanita muslimah atau mahram laki-lakinya bisa memandikan jenazahnya ketika wafat yang mana hanya sebatas melihat bagian tubuh atas pusar dan bawah lutut tatkala memandikannya, maka demikian pula tatkala hidup, ia hanya boleh melihat bagian tersebut dan tidak boleh melihat bagian antara pusar hingga lutut.

Baca Juga  Video: Jangan Ulur Waktumu | Ustaz Farih Muzaky, S.H.

-Pandangan muslimah/mahram laki-lakinya pada bagian tersebut dari tubuh wanita muslimah secara umum tidak menimbulkan fitnah dan syahwat. Wallaahu a’lam.

Ketiga : Aurat wanita di hadapan wanita kafir

Yaitu seluruh badannya kecuali yang biasa nampak ketika melakukan pekerjaan hariannya yaitu hanya wajah dan kedua telapak tangannya. Dalilnya adalah :

-Firman Allah Ta’ala dalam QS. An-Nur ayat 31 :

[وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ]

Artinya:  “Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara lelaki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, wanita-wanita Islam.”

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan bahwa diantara yang hanya boleh melihat perhiasan (aurat) wanita muslimah adalah wanita-wanita muslimah juga, dan Dia tidak menyebutkan bahwa wanita kafir juga boleh melihatnya.

-Dalil lainnya adalah : bahwasanya wanita kafir kebanyakan tidak memiliki amanah, sehingga dikhawatirkan apabila melihat aurat khusus wanita muslimah maka ia akan menyebarkan dan menceritakannya pada laki-laki kafir lainnya. Dan dengan sebab ini jugalah, para ulama tidak membolehkan seorang wanita yang fasiq (suka berbuat dosa besar) untuk melihat aurat wanita muslimah kecuali wajah dan telapak tangannya saja, karena ia tidak lagi bisa dipercayai memegang amanah sehingga dikhawatirkan menyebarkan sifat aurat wanita muslimah pada orang lain. Ini telah diisyaratkan oleh Imam Al-‘Izz bin Abdus-Salam sebagaimana dalam kitab Asnaa Al-Mathalib (3/111) : “(Dalam perkara pandangan ini) hukum seorang wanita fasiq (memandang aurat) wanita ‘afifah (yang baik-baik/terjaga kehormatannya) adalah sama hukumnya (dengan pandangan) wanita kafir terhadap (aurat) wanita muslimah”.

Keempat : Aurat wanita dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya

Aurat wanita dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya : yaitu seluruh tubuhnya tanpa terkecuali, termasuk wajah dan telapak tangan.

Laki-laki yang diharamkan untuk memandang aurat wanita ini adalah baik kafir ataupun muslim, baik tua ataupun muda selama ia telah dewasa atau menginjak usia remaja, ataupun baik ia memiliki syahwat ataupun impotensi dan tidak memiliki syahwat. Ini beliau sebutkan dalam Syarah ‘Uquud Al-Lijjain Fi Bayaani Huquuqu Al-Zaujain (hal.4). Khusus bagi yang tidak memiliki nafsu syahwat, maka sebagian ulama membolehkannya untuk memandang wanita. Namun Syaikh Nawawi dalam kitab tersebut menegaskan bahwa yang beliau fatwakan adalah keharamannya. Di bawah ini beberapa poin yang disinggung oleh Syaikh Nawawi dalam kitab-kitabnya:

1.Hukum pandangan laki-laki terhadap wajah wanita bukan mahram

Dalam Kaasyifah As-Saja (hal.118), Al-‘Allamah Nawawi Al-Bantani menegaskan beberapa poin tentang masalah ini bahwa seorang laki-laki haram baginya memandang bagian tertentu dari tubuh wanita bukan mahramnya, termasuk wajah dan telapak tangan, walaupun tidak dikhawatirkan adanya fitnah/syahwat yang muncul akibat pandangan tersebut, bahkan beliau sangat tegas dalam hal ini, sampai-sampai menyatakan haram dipandang : “Walaupun potongan kukunya yang sudah terlepas dari jarinya”. Dalil beliau dalam masalah ini adalah sebagaimana yang beliau sebutkan dalam tafsir ayat 59 dari QS. Al-Ahzab.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (59)

Artinya: Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 59)

Beliau menafsirkan ayat ini “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”  dengan menutup seluruh tubuh mereka (para wanita) tanpa terkecuali termasuk wajah dan telapak tangan.[3] Tentunya ini senada dengan tafsir para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menafsirkan ayat ini dengan menutup wajah mereka dengan jilbab yang diulurkan dari kepala kewajah mereka, sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas, Aisyah, dan selain mereka.[4]

2.Pandangan seorang remaja sama hukumnya dengan laki-laki dewasa

Keharaman ini tidak hanya bagi laki-laki dewasa, namun juga bagi anak-anak yang sudah menginjak usia remaja, sebagaimana beliau tegaskan dalam Nihayah Al-Zain di atas, juga dalam kitabnya “Syarah ‘Uquud Al-Lijjain (hal.4): “Seorang muraahiq (anak-anak yang menginjak usia remaja) dihukumi sama dengan laki-laki dewasa (dalam masalah pandangan ini), sebab itu wajib bagi walinya untuk melarangnya dari memandang aurat wanita bukan mahramnya, dan wajib bagi wanita untuk berhijab (menutup auratnya) darinya.”

Al-‘Allamah Ibrahim Al-Bajuri menyatakan sebab ketidakbolehannya dalam komentarnya : “Haram bagi wanita untuk menampakkan wajahnya kepadanya – yaitu kepada anak yang mendekati dewasa (dalam masa puber) –  sebab ia seperti laki-laki dewasa, bahkan demikian juga anak-anak yang selain dalam masa puber jika ia bisa menggambarkan apa yang ia lihat (dari wajah wanita) dengan menimbulkan syahwat.”[5]

Baca Juga  Khiyar Dalam Jual Beli (Bag. 1)

3.Kewajiban istri terhadap suami : menutup auratnya dihadapan laki-laki lain

Dalam Kitab Syarah ‘Uquud Al-Llijjain (hal.3) tatkala menyebutkan beberapa poin kewajiban istri terhadap suami, beliau menyebutkan salah satunya : “Menutup seluruh tubuhnya dari pandangan laki-laki bukan mahramnya, walaupun wajah dan telapak tangan, sebab memandang pada keduanya (wajah dan telapak tangan) adalah perkara haram, meskipun tidak akan menimbulkan syahwat dan fitnah.”

4.Beberapa pengecualian tentang bolehnya memandang aurat/wajah wanita

Dalam Kitab Syarah ‘Uquud Al-Lijjain (hal.5), beliau menyebutkan beberapa macam kondisi yang menyebabkan bolehnya seorang laki-laki untuk melihat aurat wanita, yaitu :

1.BolehnyaNadzhor (Pandangan Laki-Laki Dengan Tujuan Menikah). Tapi beliau Cuma membatasinya pada wajah dan telapak tangan, Artinya memandang selain kedua anggota tubuh ini haram hukumnya. Beliau berkata : “Adapun pandangan dengan tujuan pernikahan, maka hukumnya boleh sebatas pada wajah dan kedua telapak tangan, ini bagi wanita yang merdeka”.

2.Boleh bagi dokter memandang atau menyentuh aurat wanita yang terkena penyakit, sebatas pada bagian tubuh yang terkena penyakit tersebut walaupun pada alat vitalnya, namun Syaikh Nawawi memberikan dua syarat pada kondisi ini :

Pertama : Ketika terjadi pengobatan harus ada orang lain dari kalangan mahramnya, agar tidak terjadi khalwat (kondisi berdua-duaan antara dua lawan jenis). Sebab ini haram hukumnya.

Kedua : Tidak adanya dokter wanita yang bisa mengobatinya atau yang mempunyai keahlian pengobatan pada penyakit yang dideritanya.

3.Bolehnya seorang guru/ustadz untuk melihat wajah wanita yang diajarkan ilmu-ilmu yang hukum menuntutnya adalah wajib sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Subki dan selainnya, namun pastinya harus sebisa mungkin untuk tetap menahan pandangan karena ini adalah perkara hajat dan darurat yang juga perlu dilakukan sekedarnya, dan tidak berlarut-larut didalamnya. Tentunya hal ini dilakukan jika terpenuhi dua syarat :

Pertama: Tidak adanya wanita atau mahram laki-lakinya yang bisa mengajarkannya ilmu wajib ini.

Kedua : Adanya kesulitan untuk mengajar dibalik hijab.

Adapun ilmu yang hukumnya sunat, maka tetap haram hukumnya mengajarkannya pada wanita muslimah sambil melihat atau memandang wajah mereka.

4.Dalam perkara syahadah/persaksian, seorang wanita harus dilihat wajahnya. Ini beliau sebutkan dalam tafsirnya Murah Labid (2/109). Namun hal ini tidak dibolehkan secara mutlak melainkan ada batasannya sebagaimana yang diucapkan oleh Al-‘Allamah Ibrahim Al-Bajuri : “Jika seorang laki-laki butuh memandang wajahnya (wanita) karena adanya persaksian atasnya,maka ia harus menampakkan wajahnya ketika melaksanakan hal itu, ini jika ia tidak mengenal wanita itu saat memakai niqab (penutup wajah)…namun apabila ia telah mengenalnya,maka tidak perlu untuk menampakkan wajahnya,bahkan hal ini haram dikarenakan haramnya memandang (wajahnya)”.[6]

 5.Wajibnya Menutup Wajah: Karena Ia Aurat Ataukah Karena Khawatir Menimbulkan Adanya Fitnah ?

Tatkala beliau menjelaskan tentang pengkafanan mayat wanita dalam kitabnya Nihayah Al-Zain (hal. 151) bab jenazah, Syaikh Nawawi Al-Bantani menyinggung perkara ini dalam ucapannya :

المرأة حرة كانت أو أمة ومثلها الخنثى ما يستر بدنها غير الوجه والكفين ووجوب سترهما في الحياة لخوف الفتنة لا لكونهما عورة

Artinya: “Seorang wanita –baik yang merdeka ataupun hamba sahaya dan yang dihukumi sepertinya yaitu khuntsa ; maka pengkafanannya dengan menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, karena kewajiban menutup keduanya saat masih hidup adalah dengan sebab kekhawatiran adanya fitnah, bukan karena ia adalah aurat”.

Pernyataan beliau dalam bab jenazah ini seakan menyelisihi pernyataan beliau diatas dalam kitab yang sama dalam bab syarat shalat, bahkan juga pernyataan dalam semua kitab beliau yang disebutkan diatas, tentang keauratan wajah dan telapak tangan dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Sebelum mengkaji ini, perlu diingat bahwa wajah dan telapak tangan memang dipersilisihkan apakah keduanya aurat ataupun bukan, akan tetapi banyak ulama yang tidak berpendapat bahwa keduanya aurat, menyatakan agar keduanya ditutup karena merupakan wasilah dan penyebab adanya fitnah dan munculnya syahwat bagi laki-laki yang memandangnya. Dalam kitab Raudahah Ath-Thalibin wa ‘Umdah Al-Muftin  (7/21-24), Imam Muhyiddin Al-Nawawi rahimahullah berkata : Adapun pandangan seorang laki-laki pada seorang wanita ,maka haram baginya untuk memandang auratnya tanpa terkecuali dan juga (haram memandang) wajah dan kedua telapak tangannya-jika ia takut akan terfitnah-,namun jika ia tidak khawatir akan hal itu maka ada dua pendapat ; al-ashab (para imam madzhab syafi’iyah)  khususnya para pendahulu berkata : tidak haram…namun makruh saja, ini disebutkan oleh As-Syaikh Abu Hamid (Al-ghazaly) dan selainnya. Pendapat kedua,bahwa hal itu haram,ini disebutkan oleh Al-AshThohary,Abu ‘Ali ath-Thobary,dan pendapat ini dipilih oleh As-Syaikh Abu Muhammad dan Al-Imam (Abul-Ma’ali Al-Juwainy) dan pendapat ini dikuatkan oleh penulis kitab Al-Muhadzdzab dan Ar-Ruuyany. Al-Imam menegaskan atas terlarangnya kaum wanita untuk keluar (dari rumah) dengan membuka wajah mereka -sesuai kesepakatan kaum muslimin- dan juga karena pandangan merupakan sumber munculnya fitnah yaitu penggerak munculnya syahwat,maka hal yang sangat sesuai dengan kebaikan syari’at ini adalah menutup pintu (fitnah) darinya dan menjauhkan (umat) dari keadaan-keadaan yang lebih parah seperti berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahram….semua ini dimaksudkan jika yang memandang adalah laki-laki dewasa dan yang dipandang adalah wanita merdeka (bukan hamba sahaya),dewasa dan bukan mahram….sedangkan wanita yang telah tua maka Imam Al-Ghazaly menyamaratakannya dengan gadis karena syahwat tidak hanya terbatas (padanya)”.

Menurut hemat penulis, bahwa pendapat yang dipilih oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah adalah keauratan wajah dan telapak tangan wanita, dengan alasan: Bahwa beliau menyebutkan hal ini dalam banyak kitab dan tulisannya sebagaimana yang dinukil sebelumnya, adapun pernyataan tentang ketidak-auratannya maka hanya dalam redaksi yang penulis nukil diatas saja.

Baca Juga  Hukum Bepergian Bagi Seorang Wanita

Bahkan seandainya tetap ada kontradiksi –secara zahir- dari ucapannya tersebut maka bisa disinkronkan dengan penjelasan berikut :

Ulama telah ijma’/consensus bahwa aurat ada dua jenis, Pertama : ‘Aurah Al-Satr (Aurat yang memang harus ditutup kapanpun dan dimanapun), ini merupakan anggota tubuh yang merupakan aurat dari segi zatnya. Kedua: Aurah Al-Nadzhr ; yaitu anggota tubuh yang bukan merupakan aurat secara zatnya, namun wajib ditutup dan tidak ditampakkan ketika berada dihadapan orang yang bukan mahramnya karena kekhawatiran akan munculnya fitnah atau syahwat karenanya.[7]

Sebab itu, pernyataan Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam bab jenazah ini bahwa kewajiban menutup wajah dan kedua telapak tangan saat masih hidup adalah dengan sebab kekhawatiran adanya fitnah, bukan karena ia adalah aurat, tidak bertentangan dengan pernyataan lainnya dalam buku-bukunya yang lain, sebab maksud ucapan beliau “bukan karena ia adalah aurat” : bukan aurah al-satr/aurat dari segi zatnya, tapi aurat yang harus ditutup “ dengan sebab kekhawatiran adanya fitnah” dan ini disebut sebagai aurah al-nadzhor, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Wallaahu a’lam.

Faedah: Pernyataan diatas senada dengan ucapan Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ (3/174), sebagaimana juga dinukil oleh Al-Ramli dalam Nihayah Al-Muhtaaj (2/457) : “Diantara ulama yang mengeluarkan wajah dan dua telapak tangan (dari aurat) adalah Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’, akan tetapi beliau tetap mewajibkan (penutupannya) bagi wanita merdeka (yang dewasa), dan kewajiban menutup keduanya semasa hidupnya bukan karena keduanya adalah aurat, melainkan karena memandang pada keduanya kebanyakannya bisa mendatangkan fitnah”.

Inilah yang dinamakan aurah al-nadzhor sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Sebab itu, ketika Al-Subki membahas permasalahan ini –sebagaimana dinukil Al-Syarbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj (4/209)- beliau berkata : “Yang lebih dekat/benar sesuai pendapat Ash-haab (para ulama madzhab syafi’iyah) adalah bahwasanya wajah dan kedua telapak tangannya merupakan aurat dari segi dipandang (‘aurah al-nadzhor) dan bukan aurat dalam shalat”.

Dan ucapan Al-Subki ini begitu jelas menetapkan bahwa yang mu’tamad dalam madzhab syafi’iyah adalah sebagaimana yang beliau ucapkan dan ini juga merupakan perkara yang disepakati oleh dua imam mu’tamad dalam madzhab syafi’iyah yaitu Imam Al-Nawawi dan Imam Al-Rafi’i, dan juga dua imam syafi’iyah muta-akhirin yaitu Ibnu Hajar Al-Haitami dan Al-Ramli.

Hikmah Adanya Hijab Dan Menutup Aurat

Beliau berkata dalam kitab tafsirnya “Murah Labid li Kasyfi Ma’na Al-Qur-an Al-Majid” (2/261):

” Dalam Firman Allah ta’ala : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka  yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal…”(QS.Al-Ahzab ; 59), yakni ” mereka hendaknya mengulurkan”  keleher dan dada mereka dengan ” jilbab-jilbab  mereka” yaitu pakaian yang mereka berselimutkan dengannya,karena “yang demikian  itu” maksudnya -penutupan  badan-  “supaya mereka lebih mudah untuk dikenal” yakni mereka lebih mudah dan berhak untuk diketahui bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka,dan bahwasanya mereka adalah wanita-wanita yang tertutup (terjaga), sebab mustahil meminta  untuk  berzina dengan mereka sebab wanita yang menutup wajahnya tidak mungkin diharapkan untuk menampakkan auratnya..”.

Sekian, semoga tulisan sederhana ini bisa memberikan manfaat, Wallaahu a’lam.  Sengaja penulis tidak mengakhiri tulisan ini dengan beberapa poin kesimpulan agar para pembaca sendirilah yang menyimpulkan sendiri dari pandangan Al-‘Allamah Nawawi Al-Bantani ini, Wassalaam.

_____________________________________

[1]. Lihat Al-A’laam : 6/318 dan Mu’jamul-Muallifin : 11/87

[2].Beliau menyebut dan memberikan syarah tentang empat aurat ini juga dalam kitabnya ” Kaasyifah Al-Saja Syarah Safiinah Al-Najaa ” (Hal.117-118).

[3]. Lihat : “Murah Labid li Kasyfi Ma’na Al-Qur-an Al-Majid” (2/261). Dan juga akan disebutkan diakhir tulisan ini, insya Allah.

[4].Lihat penafsiran Ibnu Abbas tentang ayat ini dalam Tafsir Al-Thabari (19/81) dan Fath Al-Bari (8/438) serta penafsiran Aisyah dalam Sunan Said bin Manshur sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (3/406). Keduanya diriwayatkan dengan sanad yang shahih.

[5]“Hasyiatul-Bajury ‘Ala Syarhi Ibni Qasim Al-Ghazy ‘Ala Matni Abi Syuja’ (2/96,97,100)

[6]. “Hasyiatul-Bajury ‘Ala Syarhi Ibni Qasim Al-Ghazy ‘Ala Matni Abi Syuja’ (2/96,97,100)

[7]Lihat penjelasan tentang dua jenis aurat ini dari pemaparan Syaikh Al-Tharifi dalam kitabnya ” Al-Hijab fi Al-Syar’I wa Al-Fitrah” (hal.80).

Maulana Laeda, Lc., M.A., Ph.D.

Doktor Bidang Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?