Usul Tafsir

Serial Usul Tafsir (bag. 13)

Bagian Kelima

Kaidah-kaidah Tafsir dan Tarjih

A. Kaidah-kaidah Tafsir

Kaidah adalah rumus umum yang dapat diterapkan pada banyak kasus. Misalnya, ungkapan “setiap perempuan itu subur” merupakan bentuk kaidah. Adapun kaidah-kaidah tafsir adalah hukum-hukum dan aturan-aturan umum yang menjadi pedoman untuk mencapai pemahaman yang benar terhadap makna Alquran. Berikut ini terdapat sebelas kaidah tafsir beserta contoh-contohnya:

Kaidah pertama: Tidak diperbolehkan menafsirkan kata-kata Alquran dengan bahasa yang tidak dikenal oleh bangsa Arab. Bentuk penyimpangan dalam hal ini antara lain:

Menciptakan makna baru yang asing bagi orang Arab. Contohnya, menafsirkan kata (الاستواء) dalam firman Allah azza wajalla: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} “Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsy” [Taha:5], dengan makna “menguasai”.

Mengkaitkan istilah Alquran dengan istilah asing, misalnya menafsirkan kata (الذَّرَّة) dengan istilah fisika modern yaitu atom.

Kaidah kedua: Alquran hanya boleh ditafsirkan berdasarkan bentuk tata bahasa Arab yang paling fasih. Contohnya adalah bantahan an-Naḥḥās dalam kitab I‘rāb al-Qur’ān dalam firman Allah azza wajalla: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ} “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang di bulan suci” [Al-Baqarah: 217], bahwa bentuk khafḍ (kasrah) pada kata (قِتَالٍ) disebabkan posisinya setelah kata yang berkasrah. Menurut an-Naḥḥās, penafsiran seperti itu tidak sesuai dengan kefasihan bahasa Arab, bahkan dianggap ganjil dan lemah.

Kaidah ketiga: Kalimat nominal (jumlah ismiyyah), yaitu kalimat yang diawali dengan kata benda atau kata sifat, menunjukkan makna ketetapan dan sesuatu yang bersifat tetap (statis). Seperti ucapan Ibrahim ‘alahissalam dalam firman Allah azza wajalla: {وَلَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَى قَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ} “Dan para utusan Kami (para malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, “Selamat”. Dia (Ibrahim) menjawab, “Selamat (atas kamu)”” [Hud: 69]. Di sini, jawaban Ibrahim dengan lafaz (سَلَامٌ) berbentuk kalimat nominal, yang menunjukkan makna ketetapan dan kelanggengan.

Kaidah keempat: Kalimat verbal (jumlah fi‘liyyah), yaitu kalimat yang diawali dengan kata kerja, menunjukkan makna terjadinya suatu perbuatan serta adanya pembaruan. Seperti penambahan keterangan waktu pada kalimat verbal dalam firman Allah azza wajalla: {وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ} “Dan (ingatlah), ketika Kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah” [Al-Hajj: 26].

Kaidah kelima: Penggunaan fi‘il māḍī (kata kerja lampau) untuk perkara yang akan datang berfungsi menegaskan kepastian terjadinya peristiwa tersebut. Seperti penyebutan Hari Kiamat dengan bentuk kata kerja lampau dalam firman Allah azza wajalla: {أَتَى أَمْرُ اللَّهِ فَلَا تَسْتَعْجِلُوهُ} “Ketetapan Allah pasti datang, maka janganlah kamu meminta agar dipercepat (datang) nya” [An-Nahl: 1].

Kaidah keenam: Segala hal yang ambigu (samar) dalam Alquran tidak memiliki manfaat makna yang muncul setelah disebutkan. Seperti jenis pohon yang dimakan Nabi Ādam dan Ḥawwā’, pengetahuan tentang jenisnya tidak menambah manfaat dan ketidaktahuan terhadapnya juga tidak menimbulkan mudarat.

Kaidah ketujuh: Penghapusan atau tidak disebutkannya keterangan yang terkait dalam sebuah kalimat menunjukkan makna umum. Seperti dalam firman Allah azza wajalla: {لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ} “Agar kamu bertakwa” [Al-Baqarah: 21]. Ini mencakup segala hal yang wajib dihindari, seperti kelalaian, kebodohan, taklid (meniru tanpa dasar), dan lainnya.

Kaidah kedelapan: Apabila suatu lafaz ditafsirkan dengan lebih dari satu makna bahasa yang benar tanpa adanya pertentangan, maka diperbolehkan menafsirkannya dengan semua makna tersebut, dalam rangka variasi dalam tafsir.

Contohnya adalah perbedaan pendapat dalam menafsirkan kata (النَّجْم) pada firman Allah azza wajalla: {وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ} “Tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya)” [Ar-Rahman:6]. Ada yang menafsirkannya sebagai bintang di langit, dan ada pula yang menafsirkannya sebagai tumbuhan yang yang tidak berbatang, berbeda dengan pepohonan yang memiliki batang.

Kaidah kesembilan: Apabila suatu lafaz memiliki banyak makna, maka pemilihan makna harus disesuaikan dengan konteks ayat. Tidak cukup hanya karena makna tersebut benar secara bahasa. Contohnya, tafsiran sebagian ahli ta’wil terhadap kata ‘dua tangan’ dalam firman Allah azza wajalla: {بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ} “Bahkan kedua tangan-Nya terbuka” [Al-Maidah: 64], dengan makna kekuasaan atau nikmat. Kedua makna ini meskipun benar secara bahasa, namun tidak sesuai dengan konteks ayat.

Kaidah kesepuluh: Jika makna suatu kata bertentangan antara makna syar‘i (istilah agama) dan makna bahasa, maka yang didahulukan adalah makna syar‘i. seperti penafsiran kata (الزكاة) dalam firman Allah azza wajalla: {وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ . الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ} “Celakalah orang-orang musyrik, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir terhadap akhirat” [Fushshilat: 6-7]. Ada yang menafsirkannya: orang-orang yang tidak bersyahadat ‘lā ilāha illallāh’, ada pula yang menafsirkannya: orang-orang yang tidak menunaikan zakat harta yang telah Allah wajibkan atas mereka. Maka makna yang benar adalah yang kedua, karena itulah makna syar‘i dari zakat.

Dan tidak boleh mendahulukan makna bahasa (lughawī) atas makna syar‘i, kecuali jika ada indikasi yang menunjukkan bahwa makna syar‘i tidak dimaksud. Seperti dalam penafsiran kata shalat dengan doa, yaitu makna lughawī, pada firman Allah azza wajalla: {خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ} “Ambillah zakat dari harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman bagi mereka” [At-Taubah: 103]. Hal itu karena adanya indikasi dalam hadis Abu Aufā, ketika Nabi ﷺ bersabda: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada keluarga Abu Aufā”().

Kaidah kesebelas: Tafsiran salaf yang bersifat lughawī (bahasa) adalah hujjah yang dapat dijadikan rujukan baik dari sisi bahasa maupun tafsir. Contohnya adalah bantahan DR. Aisyah binti Abdurrahman dalam bukunya At-Tafsīr al-Bayānī terhadap makna yang diriwayatkan dari para salaf tentang firman Allah: {وَأَنْتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ} “Dan engkau (Muhammad) bertempat di negeri ini” [Al-Balad: 2], yaitu bahwa Allah menghalalkan bagi Rasul-Nya (segala sesuatu di) negeri ini. Beliau membantahnya dengan alasan bahwa penafsiran itu mengandung takalluf (pemaksaan makna), dan bahwa dari sisi bahasa bentuk lafaz tersebut tidak mungkin bermakna ihlāl (penghalalan) yang berasal dari kata ḥalla().

Sadnanto. BA. MA

Kandidat Doktor Ulumul Hadis Universitas Islam Madinah

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button