Refleksikan Hajimu

8. Haji Sesuai Tuntunan [1]

HAJI SESUAI TUNTUNAN (I)

(Oleh : H. Saiful Yusuf,  Lc., M.A.)

Ibadah haji adalah salah satu ibadah penting dalam Islam karena ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima. Karena haji adalah ibadah, maka kita tidak dapat menjalankannya kecuali dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِي لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ

“Ambillah dariku manasik haji kalian”. (HR. Muslim).

Beliau juga bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan kami ini (agama Islam) yang bukan bagian dari Islam itu sendiri maka dia tertolak”. (HR. Muslim).

Karena itu, seseorang yang akan menunaikan ibadah haji harus mempelajari dengan baik bagaimana cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunaikan ibadah haji beliau, agar ibadah haji yang dikerjakannya menjadi ibadah yang maqbul (diterima) oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjadi haji mabrur yang pasti mendapatkan surga seperti yang dijanjikan Allah Subhanahu wata’ala.

Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Hukum Haji

A. Hukum haji

Melaksanakan ibadah haji hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah yang telah memenuhi syarat-syarat wajibnya haji, sekali seumur hidup.

B. Keutamaan haji

Haji memiliki beberapa keutamaan, di antaranya :

  1. Mendapatkan balasan surga

Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam bersabda, “Dari satu umrah ke umrah yang lain adalah penghapus dosa-dosa yang terjadi diantara keduanya dan haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga”. (HR. Bukhari dan Muslim).

  1. Dibersihkan dari dosa-dosa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan haji dan dia tidak berkata-kata kotor, tidak berbuat cabul, dan tidak melakukan perbuatan maksiat maka dia kembali dari hajinya seperti hari ketika dia dilahirkan ibunya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

C. Syarat wajib haji

Syarat-syarat diwajibkannya ibadah haji bagi seseorang adalah sebagai berikut :

  1. Islam
  2. Berakal
  3. Baligh
  4. Merdeka (bukan budak)
  5. Mampu

Maka setiap muslim yang berakal dan sudah mencapai usia baligh dan bukan seorang budak serta memiliki kemampuan untuk melaksanakan haji baik secara fisik maupun keuangan selama perjalanan dan bagi keluarga yang ditinggalkan maka telah diwajibkan atasnya menunaikan ibadah haji.

Khusus untuk wanita dipersyaratkan pula adanya mahram yang menemaninya selama perjalanan haji berdasarkan sebuah hadis di mana seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah mendaftarkan diri untuk mengikuti perang ini dan itu, sementara istriku akan berangkat menunaikan haji”. Maka beliau bersabda, “Pergilah engkau berhaji bersama istrimu!” (HR. Bukhari dan Muslim).

Baca Juga  5. Haji dan Ittiba

Maka bagi seorang wanita, meskipun dia sudah memenuhi lima syarat wajib haji yang disebutkan di atas namun jika dia tidak mempunyai mahram yang menemaninya selama berhaji maka tidak diwajibkan atasnya untuk menunaikan ibadah haji.

Adapun yang termasuk mahram bagi seorang wanita adalah :

  1. Bapak, kakek dan seterusnya ke atas.
  2. Anak laki-laki, cucu laki-laki (baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan) dan seterusnya ke bawah.
  3. Saudara laki-laki.
  4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki, anak laki-laki darinya dan seterusnya ke bawah.
  5. Anak laki-laki dari saudara perempuan, anak laki-laki darinya dan seterusnya ke bawah.
  6. Saudara laki-laki bapak, saudara laki-laki kakek dan seterusnya ke atas.
  7. Saudara laki-laki ibu, saudara laki-laki nenek dan seterusnya ke atas.
  8. Saudara laki-laki sepersusuan, anak laki-laki saudara sepersusuan dan seterusnya ke bawah.

Jenis-Jenis Haji

Diantara wujud kemudahan yang Allah berikan kepada hamba-hambaNya adalah bahwa Allah mewajibkan haji atas mereka dalam tiga cara pelaksanaan. Jika seseorang tiba di salah satu miqat pada bulan-bulan haji (yaitu Syawal, Dzulqa’dah, dan sembilan hari pertama dari bulan Dzulhijjah) dan dia berniat untuk melaksanakan haji pada tahun tersebut, maka dia boleh memilih salah satu dari tiga jenis pelaksanaan haji berikut ini:

  1. Tamattu’

Yaitu, dengan berihram untuk menunaikan umrah saja dengan mengucapkan “Labbaika ‘umratan” ketika berniat masuk ke dalam ihram, kemudian dia melakukan thawaf, sa’i, dan tahallul dengan menggundul habis rambut di kepala atau dengan mencukur/memendekkan seluruh rambut di kepala. Setelah itu dia tinggal di Mekkah sampai tanggal 8 Dzulhijjah (disebut dengan hari tarwiyah) dan berihram untuk haji saja pada hari tersebut (tanggal 8 Dzulhijjah) dan melaksanakan seluruh amalan-amalan haji.

Bagi yang melaksanakan haji Tamattu’, wajib baginya menyembelih hadyu (yaitu, seekor kambing/sepertujuh dari sapi/sepertujuh dari unta) pada tanggal 10 Dzulhijjah atau pada hari-hari tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah). Bila tidak mampu menyembelih, maka wajib baginya berpuasa 10 hari; yaitu, 3 hari di waktu haji (boleh dilaksanakan di hari tasyriq, namun yang lebih utama dilaksanakan sebelum tanggal 9 Dzulhijjah/hari Arafah dan 7 hari setelah pulang ke kampung halamannya.

  1. Qiran

Yaitu, berihram untuk umrah dan haji sekaligus dengan mengucapkan, “labbaika ‘umratan wa hajjan” atau bisa juga dengan berihram untuk umrah dari miqat kemudian menambahkan niat haji sebelum melaksanakan thawaf. Maka, jika dia sampai di Mekkah dia melakukan thawaf qudum (thawaf kedatangan) dan sa’i untuk umrah dan hajinya sekaligus tanpa bertahallul, setelah itu dia harus tetap berada  dalam kondisi berihram hingga tiba masa tahallulnya pada hari nahr (penyembelihan), tanggal 10 Dzulhijjah. Dibolehkan pula baginya untuk mengakhirkan sa’i (tidak dilaksanakan langsung setelah thawaf qudum) dan melaksanakannya setelah thawaf haji (ifadhah).

Baca Juga  7. Haji dan Pengorbanan

Bagi yang melaksanakan haji Qiran, wajib baginya menyembelih hadyu seperti pada haji Tamattu’.

  1. Ifrad

Yaitu, dengan berihram untuk haji saja dengan mengucapkan “labbaika hajjan”. Maka, saat tiba di Mekkah dia melaksanakan thawaf qudum dan sa’i hajinya tanpa bertahallul, setelah itu dia harus tetap berada dalam kondisi berihram hingga tiba masa tahallulnya pada hari nahr (tanggal 10 Dzulhijjah). Dibolehkan pula baginya untuk mengakhirkan sa’i (tidak dilaksanakan langsung setelah thawaf qudum) dan melaksanakannya setelah thawaf haji (ifadhah) sebagaimana pada haji Qiran. Dengan demikian jelaslah bahwa pelaksanaan Ifrad dan Qiran sama, yang membedakan adalah niatnya dan bahwa yang melaksanakan Qiran wajib menyembelih hadyu sementara yang melaksanakan Ifrad tidak diwajibkan baginya menyembelih hadyu.

Miqat haji

Miqat haji ada dua; miqat waktu dan miqat tempat.

Miqat waktu adalah waktu di mana seseorang dapat melaksanakan ibadah haji di dalamnya. Miqat waktu hanya berlaku untuk haji saja adapun umrah dapat dikerjakan kapan saja sepanjang tahun. Waktu pelaksanaan ibadah haji adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.

Miqat tempat adalah tempat-tempat yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada siapa saja yang ingin mengerjakan haji atau umrah untuk berihram dari tempat tersebut. Miqat tempat dijelaskan dalam riwayat  Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan Dzul Hulaifah sebagai miqat untuk penduduk Madinah, Juhfah untuk penduduk Syam, Qarnul Manazil untuk penduduk Nejed, dan Yalamlam untuk penduduk Yaman. Maka tempat tersebut adalah miqat untuk penduduknya dan untuk orang-orang yang melaluinya yang bukan penduduknya, bagi siapa yang ingin mengerjakan haji dan umrah. Adapun penduduk tempat yang berada diantara miqat-miqat tersebut dan Mekkah maka mereka berihram dari rumah-rumah mereka, demikian pula penduduk Mekkah mereka berihram dari kota Mekkah.” Dan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan Dzatu ‘Irq sebagai miqat untuk penduduk Irak”. (HR. Abu Daud dan Nasa-i).

Baca Juga  17. Haji dan Bahaya Maksiat

Hadis di atas menunjukkan bahwa miqat tempat ada lima bagi mereka yang ingin melaksanakan haji atau umrah:

  1. Dzul Hulaifah, yaitu, miqat untuk penduduk Madinah dan siapa saja yang melewatinya.
  2. Juhfah, yaitu, miqat untuk penduduk negeri Syam (yang sekarang meliputi Palestina, Suriah, Yordania dan Libanon) dan siapa saja yang melewati kota tersebut. Kota Juhfah sekarang sudah tidak ada sehingga orang-orang berihram dari kota Rabigh yang sejajar dengan Juhfah. Hal ini jika mereka tidak melewati Dzul Hulaifah sebelumnya, jika melewati Dzul Hulaifah sebelum ke Juhfah/Rabigh, maka mereka harus berihram dari Dzul Hulaifah.
  3. Qarnul Manazil, yaitu, miqat untuk penduduk Nejed dan siapa saja yang melewati kota tersebut.
  4. Yalamlam, yaitu, untuk penduduk Yaman dan siapa saja yang melewati kota tersebut.
  5. Dzatu ‘Irq, yaitu, miqat untuk penduduk Irak dan siapa saja yang melewati kota tersebut.

Adapun mereka yang tempat tinggalnya berada diantara miqat-miqat tersebut dan kota Mekkah, maka mereka berihram dari tempat tinggal mereka jika mereka ingin mengerjakan haji atau umrah. Demikian pula penduduk Mekkah, jika mereka ingin melaksanakan haji mereka berihram dari rumah-rumah mereka. Adapun jika mereka ingin mengerjakan umrah, maka mereka harus keluar dari daerah haram ke daerah halal yang terdekat seperti Tan’im atau Ji’ranah untuk berihram dari tempat tersebut.

Jamaah haji yang tidak melewati miqat-miqat tersebut maka mereka harus berihram dari tempat yang sejajar dengan miqat-miqat tersebut dilihat dari arah Mekkah, termasuk dari udara. Jamaah haji atau umrah yang menggunakan pesawat terbang jika melewati salah satu dari miqat-miqat tersebut, maka mereka harus memakai pakaian ihramnya sebelum pesawat melewati daerah tersebut, jika pesawat tepat berada di atas daerah miqat maka mereka wajib untuk segera meniatkan ihram dan mengucapkan “Labbaika hajjan, atau labbaika umratan, atau labbaika hajjan wa umratan” sesuai manasik yang akan dikerjakan masing-masing. Dilarang menunda ihram sampai pesawat mendarat di Jeddah misalnya, karena hal tersebut adalah pelanggaran terhadap hukum yang telah ditetapkan Allah Ta’ala.

Perlu digarisbawahi bahwa Jeddah bukanlah miqat dan tidak pula sejajar dengan miqat. Sehingga orang yang berihram dari Jeddah dan bukan penduduk Jeddah, maka ia telah berihram setelah miqat. Jika ia tidak kembali ke miqat, maka wajib baginya menyembelih dam. []

Saiful Yusuf, Lc., M.A.

Alumni S2, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?