7. Haji dan Pengorbanan
HAJI DAN PENGORBANAN
(Oleh : H. Rustam Koly, Lc., M.A., Ph.D.)
Haji adalah merupakan rangkaian ibadah yang sarat pengorbanan, disamping merupakan ibadah ruhiyah, badaniyah, dan maliyah (jiwa, raga, dan harta), ia juga ibadah yang sarat akan makna, makna pengorbanan, pemberian, dan kesungguhan.
Mereka yang telah melakukan perjalanan haji pasti mengerti makna pengorbanan, makna pemberian, dan makna kesungguhan yang terbingkai indah dalam rasa syukur kepada Allah Ta’ala. Sehingga yang tampak darinya adalah kesungguhan dalam menempa diri ke arah yang lebih baik. Betapa tidak, harta, keluarga, dan handai taulan serta kampung halaman telah ia tinggalkan demi mendekatkan diri kepada Allah serta mengharapkan keutamaanNya, di saat banyak dari manusia tidak mendapatkannya.
Mengapa harus berkorban?
Pengorbanan adalah bumbu utama kehidupan, tanpanya hidup ini hambar tanpa rasa, sama halnya dengan cinta. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pengorbanan adalah bukti cinta dan cinta membutuhkan pengorbanan.
Pengorbanan yang tulus memberikan nuansa kebahagiaan tersendiri, yang tidak dapat diukur dengan nilai materi, terlebih demi seseorang yang spesial dan istimewa dalam hidup yang hanya sekali. Melalui pengorbanan manusia mengikis sifat kikir dan egois dalam diri yang hanya akan menyesakkan dada karena bertentangan dengan fitrah nurani. Oleh sebab ini Allah mengukur kadar cinta manusia terhadapNya melalui pengorbanan, sejak umat Nabi Adam hingga umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pada sejarah panjang perjalanan manusia, pengorbanan dan penebusan diri merupakan karakter tertingi manusia-manusia pilihan, bahkan ia tergolong sifat terpuji yang dikhususkan oleh Allah bagi hamba-hamba pilihanNya. Ada tiga macam bentuk pengorbanan:
- Pengorbanan jiwa dan raga
- Pengorbanan harta
- Pengorbanan keluarga
Allah berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh”. (QS. At-Taubah: 111).
”Kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan dari sesuatu yang kamu cintai, sesungguhnya Allah pasti mengetahuinya”. (QS. Ali Imran: 92).
“Katakanlah: “Jika ayah-ayah, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah, RasulNya, dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya”. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (QS. At-Taubah: 24).
Pengorbanan manusia-manusia pilihan
Jika kita menelusuri jauh ke belakang, akan kita temui contoh pengorbanan diri yang dilakukan oleh Habil anak Nabi Adam yang menolak untuk membunuh saudaranya demi menghindar dari dosa dan murka Allah. Allah berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, maka aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam”. (QS: Al-maidah: 28).
Dan pada diri Nabi Ibrahim ‘alaihis salam beserta istri dan anaknya, terdapat contoh yang sangat jelas tentang pengorbanan diri. Sungguh tiada pengorbanan yang melebihi pengorbanan yang dilakukan oleh seorang lelaki yang meninggalkan istri dan anaknya setelah sekian lama menanti kehadiran seorang buah hati, Beliau harus rela meninggalkan keluarganya di lembah yang tak berpenghuni dan tak ada tanda-tanda kehidupan, akan tetapi dengan penuh kepatuhan akan perintah ilahi ia pun rela berpaling dan meninggalkan mereka berdua di tempat itu.
“Ya Tuhan kami sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku dilembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”. (QS. Ibrahim: 37).
Ketika Hajar melihat Ibrahim telah berpaling meninggalkan mereka, ia tak berteriak histeris, atau mencaci suaminya itu, namun ia pasrah seraya bertanya, apakah yang dilakukan suaminya itu adalah perintah dari Allah? Di kala ia mengetahui bahwa hal itu benar perintah dariNya, Hajar percaya penuh bahwa Allah tak akan menyia-nyiakan mereka begitu saja. Inilah bentuk pengorbanan dan iman yang kokoh dari Hajar.
Ujian kian bertambah seiring bertambahnya iman seseorang, di usia senjanya Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih buah hatinya, Ismail ‘alaihimas salam. Lalu apa yang dilakukan Ibrahim? Dengan pasrah dan penuh kepatuhan, Ibrahim mengabarkan perihal perintah itu kepada anaknya Isma’il.
“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu?”. (QS. Ash-Shaffat: 102).
Kala itu Isma’il hanya berserah diri pada Allah, telah hina jiwa dan raganya di depan dirinya, dunia pun begitu tak berharga dalam pandangannya, ia takut mendurhakai ayah dan Tuhannya.
“Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar”. (QS. Ash-Shaffat: 102).
Sungguh apa yang telah dilakukan Ibrahim dan keluarganya adalah suatu pangorbanan yang besar yang tak dikenal lagi dalam sejarah peradaban manusia. Pantas jika kemudian Allah abadikan dalam syariat udhhiyah (ibadah kurban).
Kemudian lihatlah Nabi Yunus ‘alaihis salam, beliau rela mengorbankan dirinya demi keselamatan penumpang kapal yang lain. Kaumnya tidak tega membuang dirinya, sampai tiga kali pengundian dilakukan dan tetap nama nabi Yunus yang keluar dalam undian, barulah ia dilempar ke dalam laut.
“Dan ingatlah kisah Dzun nun (Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya) maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap “Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Anbiya’: 87).
Sepenggal kisah pengorbanan umat ini
Kisah pengorbanan di zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sangat banyak, di antaranya pengorbanan Khadijah radhiyallahu ‘anha dengan diri dan hartanya, demi keimanan kepada kenabian suami tercinta dalam rangka menolong agama Allah, pada saat manusia yang lain meninggalkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Juga pengorbanan seorang pemuda yang rela tidur menggantikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di pembaringannya, dalam pengintaian empat puluh pemuda yang siap membunuh orang yang tidur di atas ranjang tersebut, dia adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Pada malam itu pula, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu rela mendahului Nabi, masuk memeriksa keadaan gua tempat persembunyian mereka. Ia tak pedulikan sengatan kalajengking yang berulang kali menyengatnya. Baginya, keselamatan baginda Nabi yang paling utama. Ia pula yang telah menginfaqkan seluruh hartanya bagi perjuangan Islam, sampai-sampai hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang ia sisakan bagi keluarganya, sungguh pengorbanan yang tak tertandingi.
Patut kita lihat juga pengorbanan kaum Anshar yang telah mengutamakan kaum Muhajirin atas diri dan keluarga mereka, yang dengan suka rela membagi-bagikan harta, rumah, bahkan istri kepada kaum muhajirin.
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin) mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Mereka mengutamakan orang-orang muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu), dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Hasyr: 9).
Dan masih banyak lagi contoh-contoh pengorbanan yang dipersembahkan oleh generasi awal umat ini kepada pewaris yang datang setelah mereka. Mereka itulah orang-orang yang jujur dalam pengorbanannya hingga keharuman nama-nama mereka tercium semerbak mewangi dalam lembaran-lembaran sejarah.
“Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka pula ada yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)”. (QS. Al-Ahzab : 23).
Hingga kini panggilan untuk rela berkorban itu masih diserukan, sampai diketahui siapa yang benar-benar tulus dalam cintanya kepada Allah dan siapa pula yang hanya berpura-pura. Saat ini melalui haji kita belajar pengorbanan, mempersembahkan raga dan harta, meninggalkan sanak saudara demi memenuhi panggilan cinta dari Allah Ta’ala. Pendidikan rabbani dalam karakter ini harus dijiwai; menahan diri dari maksiat, mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri, menikmati rasa letih, tidak menggerutu saat menemui kesulitan. Intinya rela berkorban untuk Allah, RasulNya, dan orang-orang mukmin.
Zaman ini merindukan orang-orang yang memiliki jiwa pengorbanan, menanti lahirnya para pahlawan yang siap mempersembahkan jiwa raganya demi Islam. Jika bukan kita siapa lagi? Jiwa pengorbanan ini harus kita bawa hingga akhir hayat kita, karena hidup adalah pengorbanan. []