Akidah

SYARIAT BERSYARAT (1)

SYARIAT BERSYARAT (1)

(Serial Soalan-soalan terkait Implementasi Syariat)

Pihak yang anti implementasi syariat, acap kali mengulangi soalan: “Syariat mana yang kalian mau terapkan?”

Struktur kalimat tanya ini kurang tepat, sebab seorang muslim terlebih dahulu wajib menerima syariat Allah, barulah kemudian membahas hukum-hukumnya. Bukan sebaliknya, mempermasalahkan hukum-hukumnya, baru memutuskan apakah menerima atau menolaknya!? 

Ini bukanlah manhaj(metode) beragama kaum mukminin, yang Allah telah jelaskan sifat-sifat mereka dalam firman-Nya:

Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An-Nur: 51) 

Selama seorang muslim tunduk pada perintah Allah, maka pastilah dia juga beriman sepenuhnya bahwa syariat Allah terbaik, adil dan pembawa rahmat, ia yakin syariat itu jualah yang menyelamatkannya di dunia dan akhirat. Tugasnya kemudian mempelajari hukum-hukum syariat untuk diamalkan secara konsisten, sebab ia meyakini syariat itu berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengatahui. Adapun orang yang memulai menilik hukum-hukum Islam kemudian memilah-milih antara menerima atau menolaknya, maka ia telah membalikkan piramida kepatuhan pada hukum Allah 180°.

Perpesktif keliru inilah yang menjadi problem mayoritas pengusung soalan di atas, sejak awal mereka tidak menerima urgensi komitmen dan ketundukan pada syariat. Jiwanya masih saja dihantui kesulitan menerima legimitasi syariat. Andai kesulitan itu muncul tanpa kehendaknya tentu tak ada cela baginya. Tak jarang ulama menghadapi bisikan yang mendorongnya untuk lebih mendalami validasi sebuah hukum. Masalahnya, motivasi mayoritas mereka bukanlah mencari jawaban yang melepaskannya dari perangkap syubhat, melainkan mau merusak fondasi kepatuhan. 

Sejatinya dia wajib menerima dan tunduk pada syariat, jika setelah itu dia tersalah dalam pemahaman, ijtihad, atau menentukan hukum suatu masalah, tentu lebih baik daripada sepenuhnya mengabaikan prinsip penerimaan syariat hanya karena dia merasa ada problem dengan beberapa rincian dari prinsip dasar itu. 

Baca Juga  Alasan Pernah Dilarangnya Ziyarah Qubur

Alasan multiinterpretasi antara penolakan dan klarifikasi

Kini muncul pertanyaan yang perlu ditujukan kepada pihak pengaju soalan di atas; Apakah soalan seputar implementasi syariat itu terkait paham mana yang harus diterapkan atau terkait prinsip asal penerapan syarait itu sendiri?

Jika penyoal mempermasalahkan pemahaman tertentu, maka solusi yang tepat adalah mencari pemahaman yang benar dengan berusaha semaksimal mungkin walaupun hasil akhirnya masih salah. Ini lebih baik daripada menggugurkan otoritas atau referensial syariat karena dia gagal menemukan pemahaman yang benar. Memilih salah satu pehaman sesuai koridor syariat lebih baik daripada meninggalkan syariat keseluruhan. Hendaklah ia menerima prinsip ini, tunduk kepada Tuhan-Nya, memilih pemahaman mana pun, lalu dia akan dituntut membuktikan bahwa paham yang dia pilih lebih benar dan lebih selamat, dia akan diuji dengan nas-nas syariat untuk mengetahui kebenaran pemahamannya.

Berpaling dari syariat dengan alasan adanya multiinterpretasi adalah metode pemikiran yang keliru, inilah pemicu sebagian individu yang kontra Islam memilih metode tersebut. Karena sebenarnya mereka menolak referensial syariat, tapi mereka menjadikan perbedaan pendapat sebagai kedok untuk menutupi penentangan sekaligus alasan untuk meyakinkan orang lain atas penolakan tersebut. 

Menerima prinsip ketaatan kepada nas syariat, kemudian mencari pemahaman yang benar melalui metodologi ilmiah adalah pendekatan ilmiah objektif dalam menyikapi perbedaan pemahaman. Adapun mereka yang menolak prinsip tersebut karena perbedaan interpretasi, sama saja seperti orang yang bertanya jalur ke sutu tempat dan bingung dengan berbagai petunjuk arah yang diberikan, lalu merasa kesal dan menjadikannya bukti bahwa tempat tersebut tidak ada!

Menegakkan perintah Allah Ta’ala adalah bentuk ketaatan dan kepatuhan serta mengikuti syariat-Nya. Seorang Muslim, meskipun mungkin melakukan kesalahan dalam mengikuti kebenaran, atau tidak mencapai kebenaran dalam beberapa masalah, atau tidak mengetahui beberapa hukum syariat, tetaplah ia beriman pada pentingnya mengikuti syariat, berjalan di jalannya dan berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mengikuti perintah dan larangannya. Maka ketika ia menjaga prinsip ini, kesalahan yang terjadi padanya adalah kesalahan yang dimaafkan atau satu dosa, namun tetap lebih baik daripada orang yang menolak syariat dan memiliki banyak masalah dengan prinsip ketaatan dan kepatuhan kepadanya. 

Baca Juga  Asas Dari Perubahan Itu Adalah Dari Aqidah Yang Benar

Ketika kita sudah sepakat untuk berjalan di bawah panji syariat, tunduk kepadanya, berusaha melangkah maju dari prinsip dan dasar syariat, maka perbedaan yang terjadi setelah itu dalam beberapa hukum atau dalam menilai maslahat dan mafsadat tak lepas dari dua hal: jika perbedaan itu sah, maka itu berada dalam lingkup satu pahala atau dua pahala, dan jika perbedaan itu tidak sah, ia tetap dianggap masih mengikuti dan berusaha mengamalkan syariat.

Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam berbeda pendapat dalam hukum berbagai perkara, Khulafa’ al Rasyidun juga berselisih dalam banyak keputusan. Abu Bakar membuat keputusan yang berbeda dengan Umar radhiyallahu ‘anhuma dan terjadi perbedaan di antara mereka dalam kebijakan dan peradilan, namun mereka semua tetap menjadikan syariat sebagai landasan utama, karena mereka tunduk padanya, berjalan di belakangnya, berusaha untuk mematuhi hukum-hukumnya. Mereka tidak meninggalkan penerapan syariat hanya karena terjadi perbedaan dalam menerapkan beberapa hukumnya. Jadi, meskipun berbeda dalam beberapa hukum, mereka tetap berlandaskan pada prinsip dan dasar syariat.

Secara umum, menentang penerapan syariat dengan alasan banyaknya interpretasi sebenarnya adalah ungkapan dari keadaan pengabaian, kemalasan, dan kelemahan dalam mencari dan mempelajari hakikat penerapan syariat. Solusinya adalah bahwa pihak yang menentang harus berusaha mencari kebenaran untuk menghapus syubhat yang diklaim, bukan memperbanyak syubhat dan protes, lalu heran mengapa tidak ada pemahaman yang pasti tentang syariat. Bagaimana kamu bisa mendapatkan kepastian jika kamu tidak berjalan di jalannya dan tidak berusaha mencapainya?!

Abu Zulfa, Lc., M.A., Ph.D.

Doktor Bidang Fiqih dan Ushul, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?