Sebab-Sebab Ampunan (5)
Sebagian ulama salaf memandang mustahabnya tambahan bagi ucapan Astaghfirullāh Wa Atūbu Ilaihi. Diriwayatkan bahwa Umar mendengar seorang pria berucap, “Astaghfirullāh Wa Atūbu Ilaihi (Aku memohon ampunan Allah dan bertobat kepada-Nya). Umar pun mengatakan, “Wahai pandir, katakanlah,
تَوْبَةً مَنْ لَا يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ ضَرّاً وَلاَ نَفْعاً وَلاَ مَوْتاً وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُوْراً
“… dengan tobat orang yang tidak memiliki bagi dirinya sendiri mudarat, manfaat, kematian, kehidupan, serta kebangkitan.”
Al-Auzā’i pernah ditanya tentang istigfar apakah mengucapkan,
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ
“Aku memohon ampunan Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah melaikan Dia yang Maha Hidup, Maha Terjaga, dan aku bertobat kepada-Nya.”?
Ia pun menjawab, “Ini sungguh baik, namun hendaknya ia berucap, ‘Rabbighfirli’ agar sempurna istigfar tersebut.
Jenis istigfar terbaik ialah seorang hamba memulai dengan pujian kepada Tuhannya, lalu mengakui kesalahannya, lalu meminta ampun kepada Allah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Syaddād bin Aus. Beliau meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda,
سَيِّدُ الاستغفار أنْ يقول العبدُ: اللهمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَليَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ، فَاغْفِرْ لِيْ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنوبَ إِلاَّ أَنْتَ
“Sesungguhnya istigfar yang paling baik adalah; jika seorang hamba mengucapkan: ‘ALLAHUMMA ANTA RABBI Lā ILāHA ILLA ANTA KHALAQTANī WA ANā ‘ABDUKA WA ANā ‘ALā ‘AHDIKA WA WA’DIKA MASTAṭA’TU ABū`U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA WA ABū`U LAKA BIDZANBī FAGHFIRLī FA INNAHū Lā YAGHFIRUż żUNūBA ILLā ANTA (Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Engkau. Engkau telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku mengakui dosaku kepada-Mu dan aku akui nikmat-Mu kepadaku, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain-Mu).[1]
Dalam Aṣ-Ṣaḥīḥain diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bahwa Abu Bakar berkata, “Wahai rasulullah, ajarilah aku sebuah doa yang aku baca di dalam salatku!” Beliau pun menjawab, “Ucapkanlah,
اللهمَّ إنِّي ظلمتُ نفسي ظُلماً كثيراً، ولا يغفرُ الذُّنوب إلاَّ أنتَ، فاغفر لي مغفرةً من عندك، وارحمني إنَّك أنت الغفورُ الرحيم
‘Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri dengan kezaliman yang banyak, dan tidak ada yang bisa mengampuni dosa selain Engkau, maka ampunilah bagiku dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’”
Di antara bentuk istigfar ialah sebagai berikut :
(أستغفرُ الله الذي لا إله إلا هو الحيّ القيُّوم وأتوب إليه
“Aku memohon ampunan Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, yang Maha Hidup lagi Maha Terjaga dan Aku bertobat kepada-Nya.”
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa orang yang membacanya diampuni walaupun telah lari dari medan perang.[2]
Di dalam kitab Al-Yaum Wa Al-Lailah karya Imam An-Nasā`i[3] dari Khabbāb bin Al-Aratt, beliau berkata, “Aku berkata, ‘Wahai rasulullah, bagaimanakah kami beristigfar?’ Beliau pun menjawab, ‘Ucapkanlah,
اللهمَّ اغفر لنا وارحمنا وتُبْ علينا، إنك أنت التَّوابُ الرحيم
‘Wahai Allah ampunilah kami dan rahmatilah kami serta terimalah tobat kami. Sesungguhnya engkaulah yang Maha Penerima Tobat lagi Maha Pemurah.’
Terdapat pula riwayat dari Abu Hurairah. Beliau berkata, “Aku tidak melihat orang yang berucap ‘Astaghfirullāh Wa Atūbu Ilaihi’ melebihi rasulullah ﷺ.”[4]
Di dalam As-Sunan Al-Arba’ah disebutkan riwayat dari Ibnu Umar. Beliau berkata, “Kami menganggap bahwa rasulullah ﷺ di dalam suatu majelis seratus kali mengucapkan,
ربِّ اغفر لي وتُب عليَّ، إنَّك أنتَ التوَّابُ الغفور
‘Tuhanku, ampunilah aku dan terimalah tobatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat lagi Maha Pengampun’.”[5]
Disebutkan di dalam sahih Al-Bukhari riwayat dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ. Beliau bersabda,
واللهِ إني لأستغفر الله وأتوب إليه في اليوم أكثر من سبعين مرة
“Demi Allah, sungguh aku beristigfar kepada Allah dan bertobat dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.”[6]
Di dalam sahih Muslim diriwayatkan dari Al-Aghar Al-Muzani dari Nabi ﷺ. Beliau bersabda,
إنَّه لَيُغانُ على قلبي، وإنِّي لأستغفرُ الله في اليوم مئة مرة
“”Sesungguhnya hatiku benar-benar diliputi sesuatu, dan sungguh dalam sehari aku beristigfar kepada Allah sebanyak seratus kali.”[7]
Di dalam Al-Musnad terdapat riwayat dari Ḥużaifah. Ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai rasulullah, sungguh aku ini berlisan pedas, perilaku itu kebanyakannya aku lakukan terhadap istriku. Nabi pun menjawab,
أين أنتَ مِن الاستغفار؛ إني لأستغفر الله في اليوم والليلة مئة مرة
“Mana istigfar? Sungguh aku bersitigfar kepada Allah sehari semalam seratus kali.”[8]
Di dalam Sunan Abi Dawud disebutkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas. Beliau meriwayatkan bahwa rasulullah ﷺ bersabda,
من أكثرَ من الاستغفارِ جعل الله له من كلِّ همٍّ فرجاً، ومن كلِّ ضيق مخرجاً، ورزقه من حيث لا يحتسبُ
“”Barangsiapa memperbanyak istighfar niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar pada setiap kesulitan, dan kelapangan untuk setiap kesempitan serta memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”[9]
Abu Hurairah berkata,
إنِّي لأستغفرُ الله وأتوب إليه كلَّ يوم ألف مرَّة، وذلك على قدر ديتي
“Sungguh aku beristigfar dan bertobat kepada Allah setiap hari seribu kali. Itu sekadar dengan tebusan diriku.”[10]
‘Aisyah berkata, “Beruntung bagi orang yang mendapati banyak istigfar di dalam lembaran catatan amalnya.”[11]
Abu Al-Minhāl berkata, “Tidak ada pendamping yang lebih dicintai oleh seorang hamba di dalam kuburnya melebihi banyak istigfar.”
Secara umum, obat dosa adalah istigfar. Diriwayatkan dari Abu Żar secara marfū’,
إنَّ لكلِّ داء دواءً، وإنَّ دواء الذنوب الاستغفار
“Sesungguhnya setiap penyakit ada obatnya dan obat dari dosa ialah istigfar.” (HR. Hakim 4/242 secara mauqūf.)
Qatādah pernah berujar, “Sesungguhnya Alquran ini menunjukkan kalian kepada penyakit dan obat kalian. Penyakit kalian adalah dosa-dosa, sedangkan obat kalian adalah istigfar. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Īmān No. 7146)
Sebagian ulama berkata, “harapan para pendosa ialah tangisan dan istigfar. Siapa yang risau dengan dosa-dosanya hendaknya memperbanyak istigfar dari dosa-dosa tersebut.”
Riyāḥ Al-Qaisi berkata, “Saya punya lebih dari empat puluh dosa. Saya beristigfar bagi tiap dosa sebanyak seratus ribu kali.”[12]
Suatu ketika ada orang yang mengintrospeksi dirinya sejak ia baligh. Ternyata kesalahan yang ia lakukan tidak lebih dari tiga puluh enam kesalahan. Ia pun lantas beritigfar kepada Allah untuk setiap kesalahan sebanyak seratus ribu kali, salat sunna untuk menghapus setiap kesalahan sebanyak seribu rakaat, mengkhatamkan Alquran di setiap rakaatnya. Orang itu pun berkata, “Walau demikian saya tetap tidak merasa aman dari kekuatan Allah yang bisa kapan saja mengazabku disebabkan kesalahan-kesalahan tersebut. Tobat saya pun berisiko tidak diterima.”
Orang yang bertambah kerisauannya terhadap dosa-dosanya terkadang terpaut dengan orang-orang yang sedikit dosa agar bisa meminta didoakan agar diampuni. Umar pernah meminta anak-anak agar mendoakan agar dirinya diampuni Allah. Umar berkata, “Kalian belum berdosa.” Abu Hurairah pernah berujar kepada anak-anak sekolah, “Ucapkanlah : Ya Allah berilah ampunan bagi Abu Hurairah.” Setelah itu Abu Hurairah mengaminkan doa anak-anak tersebut.
Bakr Al-Muzani berucap, “Jika ada orang yang berkeliling ke rumah-rumah sebagaimana orang miskin mengetuk setiap pintu rumah lalu ia berkata, ‘Mintakanlah ampun untukku!’, itu adalah hal yang sepantasnya dilakukan.
Orang yang banyak dosa dan kesalahan hingga tak mampu lagi terhitung, hendaknya beristigfar dari dosa dan kesalahan yang diketahui oleh Allah. Allah telah mengetahui dan menghitung segalanya. Allah berfirman,
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوْاۗ اَحْصٰىهُ اللّٰهُ وَنَسُوْهُ
“Pada hari itu Allah membangkitkan mereka semua, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah menghitungnya (semua amal) meskipun mereka telah melupakannya.” (QS. Al-Mujādilah : 6)
Di dalam hadis Syaddād bin Aus, ia meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau pernah berdoa,
أسأَلُكَ من خيرِ ما تَعلَمُ. وأعوذُ بكَ مِنْ شرِّ ما تعلمُ، وأستغفركُ لما تعلم، إنَّك أنت علاّمُ الغيوب
“Aku memohon kepada-Mu kebaikan yang Engkau ketahui dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang engkau ketahui serta aku memohon ampunan-Mu dari dosa yang engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal yang tidak tampak”[13]
Semakna dengan ini, seorang penyair pernah menggubah,
أستغفِرُ الله ممّا يَعلمُ الله … إنَّ الشَّقيَّ لَمَن لا يَرحَمُ الله
ما أحلمَ الله عمن لا يُراقبُه … كُلٌّ مُسيءٌ ولكن يَحلمُ الله
فاسْتَغفِرُ الله مما كان من زَللٍ … طُوبى لمن كَفَّ عما يَكرهُ الله
طُوبى لمَن حَسُنَت فيه سَريرتُه … طُوبى لمَن يَنتهي عمَّا نهى الله
Aku memohon ampunan Allah dari dosa yang Allah ketahui, sungguh orang yang celaka ialah orang tidak disayang Allah.
Betapa lembutnya Allah kepada orang yang senantiasa merasa diawasi oleh-Nya. Setiap orang bersalah namun Allah terus berlemah lembut.
Olehnya, aku meminta ampunan Allah dari kesalahan yang telah berlalu. Beruntunglah orang yang berhenti melakukan hal yang Allah benci.
Beruntunglah orang yang baik di dalam kesendiriannya. Beruntung bagi orang yang berhenti melakukan apa yang Allah larang.
[1] HR. Bukhari (6308) dan (6323).
[2] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1517) dan Tirmizi (3577) dari hadis Bilāl bin Yasār bin Zaid, dari bapaknya, dari kakeknya dengan sanad tersebut secara marfū’. Tirmizi berkata, “Gharīb, kami tidak mengetahui kecuali hanya jalur ini.” Bilal dan bapaknya majhūl, sedangkan kakeknya yang bernama Zaid tidak dikenal meriwayatkan hadis melainkan hadis ini.
[3] No. 461 dan tercantum pula pada As-Sunan Al-Kubrā (10295), darinyalah Ibnu As-Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah (372). Hadis ini memiliki ilat Al-Irsāl. Hadis yang diriwayatkan secara mursal lebih tepat sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Mizzi dalam Tuḥfah Al-Asyrāf 3/46 No. 3521.
[4] HR. Abd bin Ḥumaid No. 1465, An-Nasā`i di dalam Al-Kubrā No. 10292 dan ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah No. 454. Terdapat perbincangan terkait sanad hadis ini.
[5] HR. Abu Dawud No. 1516, Ibnu Majah No. 3814, Tirmizi No. 3434, An-Nasa`i dalam Al-Kubrā No. 10292 dan ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah (458). Tirmizi berkata, “Hasan sahih gharib.”
[6] HR. Bukhari No. 6307
[7] HR. Muslim No. 2702.
[8] HR. Ahmad 5/396. Sanadnya lemah kecuali pada ucapan ‘sungguh aku berisitgfar … dst’. Penggalan itu sahih sebagaimana yang disebutkan dalam hadis sebelumnya.
[9] HR. Abu Dawud No. 1518. Sanadnya lemah.
[10] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Ḥilyah 1/383, terdapat lafaz lain yakni 12.000 kali.
[11] Diriwayatkan oleh Hanād dalam Az-Zuhd No. 921 dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Īmān No. 646 secara mauqūf. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah No. 3818, An-Nasā`i dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah No. 455 dan Al-Khaṭīb dalam At-Tārīkh 10/160 dari ‘Abdullah bin Busr secara marfū’, sanadnya sahih.
[12] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Ḥilyah 6/194.
[13] HR. Ahmad 4/123,125, Timizi No. 3407, Nasai 3/54 dalam Al-Kubrā No. 10648, Hakim 1/508. Dalam sanad-sanadnya terdapat perselisihan dan diperbincangkan.