Puasa & Ramadhan

Mengurangi Ketergantungan Duniawi Untuk Menyambut Ramadan

Mengurangi Ketergantungan Duniawi Untuk Menyambut Ramadan

(Rusdi Kasim Badang, Lc)

الحمد لله الذي أنزل الكتاب هدى للمتقين، وجعل العلم نورًا يهتدي به السالكون، ورفع الذين أوتوا العلم درجات، وخصهم بمزيد الفضل والكرامات، نحمده سبحانه وتعالى حمدًا يليق بجلاله وعظيم سلطانه، ونشكره شكرًا يزيد نعمه ويديم فضله وإحسانه

وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله، بعثه الله رحمة للعالمين، هاديًا ومبشرًا ونذيرًا

Ramadan merupakan bulan yang ditunggu-tunggu oleh setiap insan yang rindu bertemu dengan musim penuh kebaikan. Ia adalah bulan di mana amal kebaikan dilipatgandakan dan pintu ampunan terbuka dengan lebar. Mereka yang berakal pasti bersemangat menyambut kedatangannya, dengan harapan bahwa ketika bersua dengannya, maka semua potensi yang dimilikinya akan ia maksimalkan di dalam ketaatan kepada Allah. Namun pada kenyataannya, banyak yang hanya bersemangat sebelum berjumpa dengannya, ada juga yang bersemangat di hari-hari awal saja, lalu sisanya banyak ia habiskan dengan perasaan malas. Hal ini tentu tidaklah terjadi begitu saja tanpa sebab. Ada banyak sebab yang menjadikan seseorang tidak mampu maksimal di dalam beribadah ketika berjumpa dengan bulan Ramadan yang kondusif itu, di antaranya karena tidak adanya persiapan yang matang, bak tamu yang harus disambut dengan hangat, dijamu dengan jamuan mewah, ternyata diabaikan begitu saja, hingga akhirnya tamu itu pergi menyisakan penyesalan di dalam hati sang tuan rumah. Sebab lain, karena seseorang belum melepas ketergantungan duniawinya, hatinya masih terpaut kuat dengan urusan dunia, hingga iapun kehilangan kesempatan untuk meraih keutamaan bulan suci ramadan.

Melepas ketergantungan duniawi bukanlah berarti meninggalkan urusan-urusan dunia selama ini, karena Allah pun tidak memerintahkan hambaNya untuk mengabaikan urusan dunianya. Allah berfirman:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

Artinya:

“Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qasas: 77)

Ayat ini begitu tegas menjelaskan bahwa seorang muslim harus bisa menyeimbangkan antara mencari akhirat dan mengambil bagian yang wajar dari kenikmatan dunia, tanpa melupakan apa yang menjadi tujuannya sebagai seorang hamba. Hakikat yang jelas ini terkadang belum mampu menuntun seseorang agar paham apa yang seharusnya ia prioritaskan, dan lagi-lagi yang menjadi sebab ialah ketergantungan terhadap dunia telah mengakar kuat di dalam hatinya, serta kealpaan dalam memahami hakikat dunia yang ia kejar selama ini. Seseorang hanya bisa mengurangi ketergantungan duniawinya ketika ia mengetahui hakikat dunia, dan memahami apa yang seharusnya menjadi prioritas di dalam kehidupannya.

Dunia memang benar-benar menawarkan berbagai macam nikmat dan menampakkan pesonanya hingga banyak di antara kita yang berhasil ditawan olehnya. Sebenarnya, hal ini sudah menjadi fitrah jiwa, bahwa ia menyukai hal-hal yang bisa membuatnya merasa nyaman, dan bahagia. Namun, mungkin kita juga lupa bahwa dunia dengan segala kenikmatannya tidaklah sempurna. Ketidaksempurnaannya inilah yang membuat kenikmatan dan kebahagiaan yang kita rasakan tidak akan pernah sampai pada level maksimal, karena pada kenyataannya yang mampu membawa kepada kebahagiaan hakiki hanyalah keimanan. Harusnya hal ini cukup bisa membuat kita paham akan hakikat kebahagiaan yang tidak sempurna dari dunia yang kita kejar, namun inilah di antara hakikat dunia, pesonanya menipu dan memperdaya. Allah berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Artinya:

“yang bernyawa akan merasakan mati. Hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran: 185)

Dunia dan kenikmatan yang ada padanya juga merupakan ujian dari Allah. Allah berfirman:

اِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْاَرْضِ زِيْنَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ اَيُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا

Artinya:

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di atas bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah di antaranya yang lebih baik perbuatannya.” (QS. Al Kahfi: 7)

Selain memperdaya, tempat ujian, hakikat dunia yang lain ialah bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan sementara, sedangkan kehidupan yang kekal, yang sebenarnya hanyalah kehidupan akhirat. Allah berfirman:

وَمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَهْوٌ وَّلَعِبٌۗ وَاِنَّ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ

Artinya:

“Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah senda gurau dan permainan. Sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya seandainya mereka mengetahui.” (QS. Al Ankabut: 64)

Dunia di sisi Allah tidaklah sebanding dengan akhirat, sehingga dunia tidaklah dijadikan balasan utama oleh Allah bagi orang-orang beriman, sebab dunia tiada artinya bagiNya. Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْـيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Sekiranya dunia di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, niscaya Dia tidak akan membri minum sedikitpun kepada orang kafir.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2320 dan Ibnu Mâjah, no. 4110 dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik at-Tirmidzi.)

Hakikat lain selanjutnya dari dunia, bahwa semua yang ada di dalamnya adalah terlaknat, kecuali zikir kepada Allah. Sehingga, hal-hal yang menjauhkan dari mengingat Allah, yang membuat lupa, terlena, adalah hal yang terlaknat dari kehidupan dunia ini. Semua realitas ini seharusnya menjadi bahan renungan agar hati tidak lagi terpaut kuat dengan kehidupan dunia. Usaha-usaha lain yang bisa ditempuh agar ketergantungan terhadap dunia bisa berkurang guna menyambut Ramadan yang sebantar lagi datang sehingga kita bisa memaksimalkan setiap detiknya di atas ketaatan kepada Allah, di antaranya:

Memperbanyak berdoa kepada Allah. Manusia memanglah diberikan kemampuan untuk berusaha, namun sebuah kesalahan jika seorang muslim hanya bersandar kepada kemampuannya saja. Olehnya itu, memperbanyak berdoa kepada Allah merupakan di antara jalan agar ketergantungan duniawi bisa terkikis, sehingga hati lebih siap menyambut datangnya bulan suci Ramadan.

Banyak mengingat mati. Mengingat pemutus kenikmatan akan menjadikan sifat tamak yang ada dalam diri menjadi sirna, sebab kita memahami bahwa dunia ini akan kita tinggalkan. Hal ini juga tentunya bisa menjadi motivasi bagi kita sehingga lebih berusaha mempesiapkan diri menyambut Ramadan, dengan iman, ilmu, dan kebiasaan mengerjakan ketaatan.

Membiasakan puasa sunah. Selain sebagai latihan dalam menyambut tamu agung, puasa juga bisa menekan sifat konsumtif yang ada di dalam diri. Mengendalikan diri dari ketergantungan pada hal-hal yang disenangi dengan puasa, akan memudahkan dalam mengurangi ketergantungan duniawi.

Bergaul dengan orang-orang yang salih. Kuat lemahnya ketergantungan duniawi dipengaruhi oleh lingkungan, jika seseorang terbiasa duduk dengan orang-orang yang senantiasa berlomba-lomba mengejar akhirat, niscaya ia tidak tersibukkan dengan kehidupan dunia yang melenakan. Pun sebaliknya, jika ia banyak duduk dengan orang-orang yang cenderung lebih mengedepankan kehidupan dunianya, maka akan terwarnai sehingga ketergantungan duniawinya akan menjadi kuat.

Tentu banyak upaya lain yang bisa diikhtiarkan, namun semoga beberapa hal di atas bisa menjadi bahan renungan, juga sebagai referensi dalam menyongsong Ramadan yang penuh berkah. Wallahu Ta’ala A’lam

اللهمَّ سَلِّمْنِي مِنْ رَمَضَانَ، وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِي، وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلًا. اللهم لا تجعل مصيبتنا في ديننا ولا تجعل الدنيا أكبر همنا ولا مبلغ علمنا ولا تسلط علينا من لا يرحمنا.

Rusdy Qasim, Lc.

Alumni S1, Jurusan Hadis Syarif, Universitas Islam Madinah, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button