Mendulang Mutiara Al Fatihah (Bag. 2)
Tadabbur firman Allah:
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
”Yang Maha pengasih lagi Maha penyayang.”
Lafal الرَّحْمَنِ dan الرَّحِيْمِ adalah nama yang indah bagi Allah Subhanahu wata’ala. Setiap nama Allah memilik tiga sisi yang wajib diimani oleh setiap muslim:
- Pertama, wajib menetapkan nama-nama tersebut bagi Allah, tanpa mengubah maknanya dan tidak menyamakan dengan makhlukNya, serta tidak menanyakan bagaimana hakikatnya.
- Kedua, setiap nama Allah mengandung sifat yang wajib kita imani, nama الرَّحْمَن mengandung sifat rahmat, nama الْعَلِيْم mengandung sifat ilmu/pengetahuan.
- Ketiga, setiap nama dan sifat Allah mengandung buah atau konsekuensi, nama الرَّحْمَن selain mengandung sifat rahmat, juga mengandung konsekuensi bahwasanya Allah menyayangi dan merahmati makhlukNya.
Sebelum mentadabburi ayat di atas, ada makna yang tidak tertuang dalam terjemahannya, karena bila kita merujuk makna asli lafal الرَّحْمَن dan الرَّحِيْمِ, maka kita akan mendapatkan kandungan makna yang sangat dalam.
Para ahli tafsir mengatakan bahwa lafal الرَّحْمَن menunjukkan sifat Allah, sehingga maknanya adalah: Yang memiliki rahmat yang sangat luas tak terbatas, Allah berfirman:
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
”Dan rahmatKu meliputi segala sesuatu.” [QS. AL-A’raf: 156]
Sedangkan lafal الرَّحِيْمِ menunjukkan kata kerja, sehingga maknanya adalah: Yang Maha mengasihi (siapa saja yang Ia kehendaki).
Faedah tadabbur ayat di atas di antaranya adalah:
a. Wajib meyakini nama dan sifat Allah, sesuai dengan tuntunan alQuran dan hadits, tanpa mengubah maknanya, tidak menyamakan dengan makhluknya, serta tidak menanyakan bagaimana hakikatnya.
b. Iman terhadap luasnya rahmat Allah dan meyakini bahwa Allah pasti merahmati siapa saja yang Ia kehendaki, menumbuhkan sifat optimis sekaligus menghilangkan sifat pesimis. Oleh karenanya, berputus asa terhadap rahmat Allah diharamkan. Sebab, pesimis adalah sifat orang kafir, Allah berfirman:
وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُون
”Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, karena tidaklah berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.” [QS. Yusuf: 87]
Allah juga berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا
”Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas atas diri mereka (dengan berbuat dosa), janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa (yang ditaubati).” [QS. Az-Zumar: 53]
Sifat optimis dengan rahmat Allah adalah salah satu kunci dalam membuka pintu kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Namun sekedar optimis saja belum cukup, harus ada usaha untuk menjadi orang-orang yang terpilih untuk mendapatkan rahmatNya. Tidak ada orang yang paling berhak meraih rahmat Allah selain orang-orang yang benar-benar beriman dan menyempurnakan amal salehnya.
c. Rububiyah Allah dilandasi oleh sifat rahmat.
Rububiyah adalah hak khusus Allah dalam menciptakan, memiliki, dan mengatur alam semesta, serta semua pekerjaan Allah yang dilakukan terhadap makhlukNya.
Ketika Allah menegaskan bahwasanya Dia adalah rabbul ‘alamin (Tuhan semesta alam), mungkin ada yang mengira bahwa ketuhananNya (rububiyah) bersifat diktator atau otoriter. Namun perkiraan ini disanggah dengan penegasan ayat الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ, bahwasanya rububiyah Allah berhiaskan rahmat, sehingga apapun yang Allah ciptakan, dan segala keputusanNya dalam mengatur alam semesta ini berdasarkan rahmatNya yang sudah pasti mengandung segala kebaikan dan maslahat bagi makhlukNya. Oleh karenanya Allah mengajarkan sebuah adab dalam firmanNya:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Tidaklah (sepatutnya) Allah ditanya tentang apa yang Ia lakukan, merekalah (makhlukNya) yang akan ditanya (atas segala perbuatannya).” [QS. Al-Anbiya’: 23]
Seorang mukmin akan senantiasa menilai segala keputusan dan takdir Allah baginya sebagai sebuah kebaikan, lisannya selalu berucap:
قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
“Ini takdir Allah, dan apa-apa yang Dia kehendaki akan Dia lakukan.”
Seraya meyakini bahwa Allah Maha pengasih dalam segala keputusanNya, sekalipun dalam pandangan manusia terlihat buruk atau terasa pahit dan tidak mengenakkan.
Tadabbur firman Allah:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“(Allah) Yang memiliki dan menguasai hari pembalasan.”
Di antara faedah tadabbur yang bisa dipetik dari ayat di atas adalah:
- Iman terhadap nama Allah Al-Malik (Yang menguasai) atau Al-Maalik (yang memiliki), serta iman terhadap sifat Allah Al-Mulk (kekuasaan).
Hanya Allahlah yang benar-benar memiliki dan menguasai, sedangkan manusia sekalipun memiliki sesuatu namun pada hakikatnya itu bukanlah miliknya. Apa yang Allah anugerahkan kepadanya hanyalah titipan yang akan diminta pertanggungjawabannya.
Demikian pula raja atau penguasa manusia, tahta dan jabatan yang diemban hanyalah amanah dari Sang Maha raja. Maka tidak sepantasnya ia semena-mena dan zalim dengan kekuasaannya. Bagaimanapun kuat dan luasnya kekuasaan seorang raja atau presiden di dunia, mustahil akan selalu dia kuasai. Akan tiba saatnya ia meninggalkan dunia ini seperti pertama kali ia dilahirkan, tanpa membawa apapun, meski hanya sehelai kain untuk menutupi dirinya.
Sifat sombong dan angkuh serta potensi untuk berbuat zalim dan semena-mena dalam diri manusia akan sirna bila ia takut terhadap kekuasaan Allah Ta’ala. Terlebih di hari akhir nanti, tatkala semua manusia dikumpulkan, Allah akan menantang mereka yang sombong dan semena-mena dengan kekuasaannya:
لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
“Milik siapakah kekuasaan pada hari ini? Milik Allahlah (segala kekuasaan pada hari itu), Dialah Yang Maha esa dan Mahakuasa.” [QS. Ghafir: 16]
- Iman kepada hari akhir (hisab dan pembalasan atas semua perbuatan).
Begitu pentingnya iman kepada hari akhir ini sehingga Allah mewajibkannya bersamaan dengan wajibnya dua kalimat syahadat di awal fase Makkah, di saat Rasul dan para sahabat masih sedikit, di saat itu berbagai macam siksaan, penghinaan, penindasan, hingga pembunuhan selalu mengancam mereka. Ya, dikarenakan begitu berat dan dahsyatnya ujian yang menimpa mereka sehingga sebagian mereka berhijrah ke Habasyah atas titah Rasul demi mempertahankan iman. Inilah korelasi antara iman kepada hari pembalasan dan keteguhan Rasul dan para sahabat dalam mempertahankan iman. Keyakinan mereka menjadikan segala kepedihan dunia terasa ringan demi menggapai kebahagiaan di akhirat. Sebesar apapun kemewahan dunia, sekali-kali tidak akan mampu mengalihkan kecintaan mereka terhadap iman. Karena dunia dan segala isinya pasti lenyap, sedangkan kenikmatan akhirat kekal selama-lamanya.
Dan sebaliknya, sebab terbesar ketidakmampuan kita dalam menghadapi ujian kecil dan cobaan ringan dalam kehidupan adalah lemahnya keyakinan terhadap hari akhir, serta sangat jarangnya kita dalam membumikan nilai-nilai keyakinan tersebut dalam kehidupan. Akibatnya, sering kali perasaan putus asa serta buruk sangka datang saat ujian menerjang. Hal ini diperburuk oleh virus cinta dunia dan takut mati yang sudah melekat di hati. Sehingga ujian yang ringan terasa berat, dan yang lebih bahaya daripada itu ketika seseorang rela menukarkan agama demi secuil kenikmatan dunia.
Iman kepada adanya hisab dan pembalasan akan mendorong kita untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan keistiqamahan dalam beribadah kepada Allah, serta memupuk rasa takut terhadap dosa dan maksiat kepadaNya. Karena semua manusia akan wafat dan kembali kepada Rabbnya untuk menerima balasan:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُور
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” [QS. Ali Imran: 185]
One Comment