Khutbah Jumat: Mari Merawat Ukhuwah
Jamaah shalat jum’at yang dirahmati oleh Allah –Subhanahu wa ta’ala-.
Salah satu hadits yang dianggap sebagai sendi agama sehingga disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi di dalam buku “Arba’in An-Nawawiyah” adalah hadits Nabi yang berbunyi:
لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ أَحَدُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ
Artinya:”Janganlah kalian saling berhasad (dengki), dan jangan saling berjual beli dengan system Najsy (salah satu bentuk jual beli yang dilarang), dan jangan kalian saling membenci, dan jangan saling menghindar, dan jangan menjual kepada orang yang sedang mau membeli barang kepada pedagang yang lain, dan jadilah hamba Allah yang bersaudara, seorang muslim merupakan saudara bagi muslim yang lainnya, dia tidak boleh menzaliminya, dan tidak boleh membiarkannya jika minta tolong, dan tidak boleh menghinanya”. HR Muslim dan yang lainnya.
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah –subhanahu wata’ala-.
Hadits ini, disabdakan oleh Nabi yang tercinta pada saat haji Wada’ digelar, lebih spesifiknya ketika wukuf di Arafah telah dimulai, pada saat tersebut adalah momentum berkumpulnya “laksaan” kaum muslimin di tanah Arafah, dari berbagai suku bangsa Arab, dari aneka strata sosial di tengah masyarakat, dari berbagai tingkatan keshalihan dan ketakwaan, dari aneka ragam logat bahasa, dan dari banyak corak adat dan kebiasaan, substansi dari hadits ini adalah; sesungguhnya kaum muslimin bersaudara!!.
Sesungguhnya aroma ajakan untuk merawat ukhuwah di tengah perbedaan dan perselisihan sangat kuat dihembuskan pada masa kenabian, dan peringatan dari bahaya fanatisme terhadap golongan, madzhab, suku dan bangsa secara gigih digalakkan, Rasulullah –shallahu a’laihi wa sallam- bersabda:
مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ… دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ
Artinya:”kenapa masih ada seruan jahilyah?.. tinggalkan seruan itu, sesungguhnya seruan itu berbau busuk”.HR Muttafaqun ‘Alaih.
Ucapan ini beliau sabdakan ketika terjadi konfrontasi antara Muhajirin dan Anshor, yang berakibat pada dikumandangkannya seruan-seruan jahiliyah yang muaranya adalah permusuhan dan perpecahan, yang berpotensi untuk menghidupkan fanatisme kepada kelompok masing-masing.
Jika persatuan dan ukhwah pada saat keadaan stabil dan damai adalah sebuah tuntutan, maka merawat dan memeliharanya ketika keadaan krisis dan perang lebih dituntut lagi, sesungguhnya latar belakang (asbabul wurud) dari hadits di atas adalah dalam sebuah momentum jihad.
Jamaah shalat jum’at yang dirahmati oleh Allah –Subhanahu wa ta’ala-.
Ukhuwah Islamiyah akan mudah dirajut jika dilandasi dengan persamaan aqidah dan manhaj, dan ini adalah harapan kita bersama, dan hal yang idealnya kita praktekkan karena telah dicontohkan oleh Rasulullah dan generasi utama dari umat ini. Namun jika kita melihat dalam realita kita pada saat ini, yang mana perbedaan manhaj sangat runcing, perselisihan dalam aqidah sangat tajam, lalu apakah ukhuwah dan persatuan umat tidak bisa digalakkan?.
Sejatinya perselisihan dan perbedaan bukan halangan bagi kaum muslimin untuk tetap merawat persaudaraan, tentunya bukan untuk menutup mata dari kemungkaran dan maksiat yang terjadi, namun justru ukhuwah itu merupakan sarana untuk memperbaiki kesalahan dan kemungkaran dengan cara yang bijak, bukankah orang yang saling bersaudara biasa saling berkumpul dan berkunjung?, nah, dari kunjungan dan perkumpulan inilah diskusi dan nasihat bisa dihidupkan.
Sesungguhnya Allah berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Artinya:”Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah saudara, maka damaikanlah antara dua saudaramu (yang bertikai)”. QS. Al-Hujurat 10.
Ayat ini secara gamblang memaparkan bahwa orang beriman adalah saudara, sebagai peringatan dan nasihat bagi yang sedang bertikai, berselisih, bahkan yang sedang berperang, bahwa sesungguhnya mereka adalah bersaudara, bahkan uniknya ayat ini datang setelah firman Allah:
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُواْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا
Artinya:”Dan jika ada dua golongan dari kaum muslimin yang berperang, maka damaikanlah antara keduanya”.QS. Al-Hujurat 11.
Ada beberapa faedah yang bisa kita petik dari ayat ini:
Pertama: permusuhan, pertikaian, dan peperangan antara sesama kaum muslimin merupakan hal yang menafikan ukhuwah islamiyah, maka harus di damaikan dan diakhiri.
Kedua: perbedaan pendapat dan perselisihan antara kaum muslimin meskipun sangat dahsyat, sehingga mengakibatkan meletusnya peperangan antara kaum muslimin, bukanlah halangan bagi mereka untuk berukhuwah dan berdamai.
Maka adakah perbedaan pendapat dan perselisihan yang lebih hebat dan dahsyat dari perselisihan dan perbedaan pendapat yang dapat menjadikan kaum muslimin berperang dan menghalalkan darah kelompok yang lain? Tentu jawabannya: tidak ada. Jika dalam perselisihan jenis ini, kaum muslimin masih diingatkan tentang ukhuwah oleh Allah, maka perselisihan dan perbedaan pendapat yang lebih ringan mim babil aula.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan: “Di antara faedah dari Ayat ini: bahwa peperangan yang terjadi di antara kaum mukminin dapat menafikan ukhuwah, oleh karena itu; hal ini merupakan salah satu dosa besar. Dan bahwa iman dan ukhuwah imaniyah tidak lenyap meskipun terjadi peperangan, sebagaimana dosa besar –selain dosa syirik- juga bukan penghalang bagi tegaknya ukhuwah, dan ini merupakan madzhab ahlus sunnah. Dan wajib bagi kita untuk mengadakan islah (mendamaikan) bagi kaum muslimin yang bertikai dengan adil”. (Taisir karimir Rahman, hal: 800).
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah.
Sebagaimana perbedaan pendapat dan perselisihan bukan penghalang untuk merajut benang ukhwah, dan bukan batu sandungan bagi bangunan persatuan kaum muslimin, maka demikian pula dengan dosa-dosa yang terjatuh ke dalamnya kaum muslimin, alangkah indahnya firman Allah:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
Artinya: “Dan bagi siapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya (yang seiman), maka hendaknya (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaknya (yang diberi maaf) membayar diyat (tebusan) kepada yang memberi maaf”. (QS. Al-Baqarah 178).
Ayat ini masuk dalam rentetan ayat tentang qishas, hal yang unik dari ayat ini adalah penyebutan kata (أخيه), seakan memberikan penjelasan bahwa sebuah maksiat, atau bahkan dosa besar, bukanlah dinding penghalang bagi kita untuk menguatkan tali ukhuwah dan melenyapkan permusuhan, maka ayat ini menguatkan statemen dari Syaikh Abdurrahman As-Sa’di diatas.
Jamaah shalat jum’at yang dirahmati oleh Allah –Subhanahu wa ta’ala.
Kita sepakat, bahwa bid’ah adalah bagian dari dosa, bahkan masuk dalam kategori dosa besar. Maka tidak bisakah kita bersepakat pula, bahwa tersebarnya bid’ah di kalangan kaum muslimin, bukan halangan bagi kita untuk merajut ukhuwah dan merangkai persatuan?
Alangkah indahnya pernyataan Ibnu Taimiyah ketika menceritakan tentang persatuan kaum muslimin sebelum beliau: “Ibnu Asakir mengatakan: pengikut imam Ahmad dan pengikut Asy’ari masih bersatu dan tidak berpecah belah pada zaman dahulu sampai terjadinya fitnah Ibnu Qushairy, setelah terjadinya fitnah tersebut dan yang sebelumnya, tidak ada yang memuji Asy’ary kecuali apabila sesuai dengan sunnah, dan tidak mencelanya kecuali jika menyelisihi sunnah”. Majmu’ul Fatawa 4/17.
Padahal pada zaman itu, mungkin sudah banyak kritikan para ulama terhadap aqidah dan manhaj Asya’irah.
Dan ternyata Ibnu taimiyah termasuk tokoh yang mengupayakan bersatunya kalimat kaum muslimin pada zamannya, beliau mengatakan: “Dan manusia mengetahui, bahwa antara pengikut imam ahmad dan pengikut imam Asy’ary ada pertikaian dan permusuhan, dan saya adalah salah seorang yang paling bersemangat untuk menyatukan hati kaum muslimin, dan berusaha untuk menyatukan kalimat mereka, dan mengikuti yang diperintahkan kepada kita berupa berpegang teguh dengan tali Allah, dan saya berusaha untuk menghilangkan bagi manusia secara umum, sesuatu yang dikandung oleh hati berupa permusuhan”. (Majmu’ Fatawa 3/227).
Wallahu A’lam bish-showab.