Khutbah Jumat: Urgensi dan Hukum-hukum Seputar Puasa Sunnah

Khutbah Pertama
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.
أَمَّا بَعْدُ… فَيَا عِبَادَ اللَّه، أُوصِيكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُونَ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah…
Dalam syariat Islam, amalan terbagi menjadi dua: yang wajib dan yang sunnah. Amalan wajib adalah modal pokok kita, sementara amalan sunnah adalah keuntungan dan laba yang kita kumpulkan. Semakin banyak keuntungan yang kita miliki, semakin kokoh posisi kita di hadapan Allah. Pintu amalan sunnah ini sangatlah luas. Dan di antara sekian banyak amalan sunnah, ada satu ibadah yang memiliki keistimewaan luar biasa, yaitu ibadah puasa sunnah. Lantas, mengapa puasa sunnah ini memiliki urgensi yang sangat besar bagi seorang mukmin?
Pertama: Puasa Sunnah adalah Penyempurna Amalan Wajib.
Kita semua manusia, tempatnya salah dan lupa. Dalam ibadah wajib kita, seperti shalat fardhu atau puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan di sana-sini. Entah karena kurang khusyuk, lalai, atau tergoda oleh urusan duniawi. Di sinilah letak pentingnya amalan sunnah.
Amalan sunnah, termasuk puasa sunnah, akan menjadi “penambal” atau “penyempurna” atas segala kekurangan yang ada pada amalan wajib kita di hari kiamat kelak.
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah Ta’ala berfirman pada hari kiamat:
انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ
“Lihatlah oleh kalian, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah? Jika ia memiliki amalan sunnah, maka sempurnakanlah kekurangan yang ada pada amalan wajibnya dengan amalan sunnahnya. ” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi,).
Maka, puasa sunnah yang kita kerjakan sejatinya adalah investasi kita untuk menutupi cacat dan kekurangan pada puasa Ramadhan kita.
Kedua: Puasa Sunnah adalah Jalan Meraih Cinta Allah.
Jamaah sekalian, kita semua mengaku cinta kepada Allah. Namun cinta itu perlu bukti, dan bukti cinta itu bertingkat-tingkat. Menjalankan yang wajib adalah bukti ketaatan kita. Namun, merutinkan yang sunnah adalah bukti kerinduan dan kedalaman cinta kita kepada Allah. Ia adalah cara seorang hamba berkata, “Ya Allah, aku melakukan ini lebih dari yang Engkau wajibkan, semata-mata karena aku mencintai-Mu.”
Lalu, bagaimana Allah membalas pernyataan cinta ini? Cinta akan dibalas dengan cinta yang lebih besar. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Qudsi yang agung, Allah Ta’ala berfirman:
“…Dan tidaklah hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah (setelah menunaikan yang wajib) hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk menggenggam, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, pasti Aku kabulkan. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, pasti Aku lindungi…” (HR. Bukhari).
Maknanya adalah: Allah akan memberikan ia taufiq dalam setiap gerak geriknya sehingga seluruh aktivitasnya senantiasa dalam kebaikan dan keridaan Allah ta’la.
Ketiga: Puasa Sunnah Menjauhkan Diri dari Api Neraka.
Setiap satu hari kita berpuasa sunnah karena Allah, kita sedang membangun benteng yang kokoh antara diri kita dengan siksa neraka.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Barangsiapa berpuasa satu hari di jalan Allah (ikhlas karena Allah), niscaya Allah akan menjauhkan wajahnya dari Neraka sejauh (perjalanan) tujuh puluh tahun.” (HR. Bukhari & Muslim).
Betapa besarnya ganjaran satu hari puasa sunnah. Bagaimana jika kita rutin melakukannya setiap pekan, setiap bulan, atau setiap tahun?
Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah…
Setelah kita memahami urgensinya, ada beberapa hukum penting terkait puasa sunnah yang sering menjadi pertanyaan dan perlu kita pahami agar ibadah kita sah dan sempurna.
Hukum Pertama: Niat Puasa Sunnah.
Berbeda dengan puasa wajib seperti puasa Ramadhan yang niatnya wajib dilakukan pada malam hari sebelum terbit fajar, puasa sunnah memiliki kelonggaran.
Seseorang boleh berniat puasa sunnah di pagi hari setelah terbit fajar, dengan syarat ia belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa (seperti makan, minum, atau berhubungan suami istri) sejak terbit fajar.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata:
“Nabi ﷺ pernah menemuiku pada suatu hari dan bertanya, ‘Apakah kamu punya sesuatu (makanan)?’ Kami menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Kalau begitu, aku akan berpuasa.'” (HR. Muslim).
Ini menunjukkan bahwa niat puasa sunnah boleh dilakukan setelah fajar (di pagi hari), selama syarat tadi terpenuhi.
Hukum Kedua: Membatalkan Puasa Sunnah.
Meskipun menyempurnakan puasa sunnah adalah yang lebih utama, namun syariat memberikan kemudahan bagi kita. Boleh hukumnya membatalkan puasa sunnah, meskipun tanpa ada udzur yang mendesak, dan tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Terlebih lagi jika ada hajat tertentu, seperti:
memuliakan tamu yang datang membawa hidangan, atau memenuhi undangan makan dari kerabat atau orang tua untuk menyenangkan hati mereka.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah ﷺ :
الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Orang yang berpuasa sunnah adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Jika ia mau, ia boleh terus berpuasa, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” (HR. Tirmidzi & Ahmad, shahih).
Bahkan dalam riwayat lain, Nabi ﷺ sendiri pernah membatalkan puasa sunnahnya ketika beliau disuguhi makanan. Ini menunjukkan bahwa terkadang, meraih pahala dari menyenangkan hati sesama muslim bisa jadi lebih diutamakan.
Hukum Ketiga: Seorang Istri tidak boleh berpuasa sunnah saat suaminya bersamanya, kecuali dengan izinnya.
Jamaah sekalian, hukum penting yang ketiga ini adalah sebuah adab mulia untuk menjaga keharmonisan rumah tangga dan mengatur skala prioritas dalam keluarga.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لا تَصُمِ المَرْأَةُ وبَعْلُها شاهِدٌ إلَّا بإذْنِهِ
“Janganlah seorang wanita berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya ada (bersamanya), kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Hikmah di balik aturan ini sangatlah dalam. Para ulama menjelaskan bahwa hak suami atas istrinya merupakan sebuah kewajiban yang harus segera ditunaikan. Dan hak yang statusnya wajib ini, tidak boleh terhalangi oleh sebuah amalan yang statusnya sunnah, yang sejatinya bisa ditunda.
Adapun jika suami sedang bersafar atau tidak berada di rumah, maka larangan ini tidak lagi berlaku, dan sang istri boleh berpuasa sunnah. Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua: bagi para istri tentang agungnya kedudukan suami, namun bagi para suami hendaknya menjadi pintu kebaikan dengan mendukung semangat ibadah pasangannya.
بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ. أَقُولُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا.
أَمَّا بَعْدُ… فَيَا عِبَادَ اللَّهِ، اتَّقُوا اللَّهَ تَعَالَى فإنها وصية الأولين والآخرين إذ قال في كتابه وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah…
Pada khutbah kedua ini, marilah kita kembali menguatkan tekad kita. Setelah mengetahui betapa penting dan utamanya puasa sunnah, jangan biarkan lembaran amal kita kosong darinya, baik puasa sunnah mutlak ataupun muqayyad.
Adapun puasa sunnah muqayyad adalah yang terikat waktu, seperti puasa Daud, Senin-Kamis, Ayyamul Bidh, puasa Arafah, ‘Asyura, Syawal, dan lainnya, yang mana masing-masing memiliki keistimewaan dan keutamaan agung.
Adapun puasa sunnah mutlak adalah puasa di hari apa saja yang kita mampu, semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan pintu kebaikan ini terbuka sangat lebar.
Tentu, semua itu bisa kita kerjakan selama bukan di hari-hari yang terlarang. Di antara hari yang diharamkan untuk berpuasa adalah dua hari raya: Idul Fitri dan Idul Adha serta tiga Hari Tasyriq sesudahnya (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Selain itu, dimakruhkan untuk mengkhususkan puasa pada hari Jumat saja, begitu pula pada hari Sabtu saja, kecuali jika digabungkan dengan puasa di hari sebelum atau sesudahnya.
Maka, setelah mengetahui urgensi dan sebagian hukum terkait puasa sunnah ini, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk melalaikannya. Ingatlah, puasa adalah ibadah rahasia yang melatih keikhlasan. Ia adalah perisai dari api neraka. Dan Allah menjanjikan balasan khusus bagi ahlinya, yaitu pintu Surga Ar-Rayyan, yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa.
Semoga Allah memberikan kita taufik dan hidayah-Nya untuk senantiasa istiqamah dalam menjalankan ibadah, baik yang wajib maupun yang sunnah.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ
اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
اللَّهُمَّ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِينِكَ.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى.
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُورِنَا، وَاجْعَلْهُمْ هُدَاةً مُهْتَدِينَ.
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِينَنَا الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِي فِيهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِي فِيهَا مَعَادُنَا.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللَّهِ…
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى، وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ.
فَاذْكُرُوا اللَّهَ الْعَظِيمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ.
أَقِمِ الصَّلَاةَ.




