Tadabbur Al-Quran

Berlindung di Bawah Naungan Surat Al-Falaq dan An-Naas (Bag. 2)

Tadabur firman Allah Ta’ala:

مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

 Artinya: “Dari kejahatan apa-apa (yang Allah) ciptakan.”

 

Ulasan tafsir ayat

Syaikh As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan, “Hal ini mencakup seluruh ciptaan Allah, dari bangsa manusia, jin, dan binatang. Karenanya, (kita memohon) perlindungan kepada Allah Sang Pencipta dari keburukan yang ada pada makhluk-makhluk tersebut.

Berikut ini beberapa hasil tadabur ayat di atas:

  1. Berlindung kepada Allah dari keburukan makhlukNya, bukan dari makhluk itu sendiri.

Karena pada hakikatnya segala ciptaan Allah adalah baik, sebagaimana firman Allah:

رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَك

 Artinya: “Wahai Tuhan kami tidaklah Engkau ciptakan ini (sebagai) kebatilan (keburukan) mahasuci Engkau (ya Allah).” (QS. Ali Imran: 191)

Baik dan sempurnanya ciptaan Allah ini bisa dilihat dari 2 sisi:

Pertama, dilihat dari zat makhluk itu sendiri, seperti langit, bumi, binatang, makanan atau minuman yang halal, demikian pula kekayaan, kebahagiaan, kesehatan, ilmu dan sifat-sifat positif yang lain.

Kedua, dilihat dari maksud dan tujuan penciptaan makhluk tersebut, seperti adanya setan untuk dimusuhi dan dijauhi, rasa sakit sebagai penebus dosa dan penegur dari kelalaian, kemiskinan agar rendah hati tidak sombong, dan lain sebagainya. Perumpamaan yang paling sederhana untuk hal ini adalah obat yang sangat pahit dan tidak enak, tetap akan dianggap baik karena fungsi obat tersebut sangat baik, yaitu bisa mengobati dengan izin Allah Ta’ala.

Dengan demikian, sama sekali tidak ada keburukan dalam ciptaan Allah.

  1. Keumuman pada ayat di atas mengisyaratkan banyaknya keburukan yang harus senantiasa kita waspadai.

Hal ini menguatkan anjuran untuk selalu berlindung kepada Allah setiap saat, termasuk dari keburukan jiwa kita, meskipun tidak disebutkan secara khusus, namun keburukan jiwa manusia telah Allah jelaskan dalam firmanNya yang lain:

Baca Juga  Posisi Amal Dalam Terminologi Iman

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya:  “Sesungguhnya jiwa (itu) benar-benar (cenderung) memerintahkan keburukan kecuali (jiwa) yang di rahmati Tuhanku, sesungguhnya Tuhanku maha pengampun lagi maha pengasih.” (QS. Yusuf: 53)

Begitu pentingnya berlindung dari keburukan jiwa, sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berlindung darinya dalam khutbatul haajah, beliau bersabda:

وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا

Artinya: “Dan kita berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa kita.” (HR. Tirmidzi)

  1. Meskipun keburukan yang disinggung dalam ayat kedua dari surat Al-Falaq ini bersifat umum, namun pada ayat berikutnya akan dijelaskan tiga keburukan secara khusus.

Pengkhususan ini sebagai isyarat besarnya keburukan yang akan disebutkan dan fatalnya dampak yang ditimbulkannya. Sehingga menuntut keseriusan dan kesungguhan kita untuk mengetahui dan berlindung kepada Allah dari ketiga keburukan itu. Secara global tiga keburukan tersebut adalah:

Pertama: Waktu malam, karena keburukan-keburukan banyak terjadi pada waktu tersebut.

Kedua: Jenis manusia yang memiliki aktivitas/pekerjaan yang membahayakan orang lain (tukang sihir).

Ketiga: Jenis manusia yang memiliki akhlak yang buruk serta bisa menularkan keburukan tersebut kepada orang lain (pendengki).

Tadabur firman Allah Ta’ala

وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَب

Artinya: “Dan (aku berlindung) dari keburukan (di waktu) malam yang gelap gulita.”

Kosakata ayat

  1. غاسق, imam Ath-Thobari berkesimpulan bahwa makna غاسق mencakup seluruh keadaan gelap gulita, seperti saat tengah malam, ketika bintang mulai meredupkan cahayanya, dan saat bulan menghilang.
  2. وقب artinya masuk, menghilang

 

Ulasan tafsir ayat

Syaikh As-Sa’di berkata dalam tafsir ayat di atas, “Berlindung dari keburukan yang ada pada waktu malam. Di saat malam tersebut menutupi manusia, ruh jahat dan hewan buas pun berkeliaran.

Baca Juga  Mendulang Mutiara Al Fatihah (Bag. 5)

Berikut ini beberapa hasil tadabur ayat di atas:

Pertama: Keadaan gelap gulita yang dipahami dari lafal غاسق lebih erat kaitannya dengan makna konkret atau hissy. Artinya setiap manusia bisa melihat kegelapan tersebut seperti gelapnya malam. Namun ada kegelapan yang tersirat dalam lafal غاسق dan ia lebih bersifat abstrak atau ma’nawy di mana mata manusia tidak mampu melihatnya, yaitu kegelapan hati. Oleh karenanya, berlindung dari kegelapan hati akibat dosa-dosa yang menghilangkan cahayanya juga sangat dianjurkan. Bahkan lebih utama, karena hati yang gelap adalah sumber keburukan manusia. Bagaimana mengupayakan agar hati selalu bercahaya?

Satu-satunya cara adalah komitmen serta istiqamah dalam iman dan ketakwaan, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada RasulNya, niscaya Allah memberikan rahmatNya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid: 28)

Kedua: Keburukan yang terjadi di waktu malam tidak disebutkan secara spesifik dalam ayat tersebut. Hal ini menunjukkan banyaknya keburukan yang terjadi, baik yang bersifat fisik atau nonfisik, yang bisa dilihat maupun tidak. Sehingga memperbanyak memohon perlindungan (salah satunya dengan membaca surat ini) adalah sebuah kebutuhan yang lebih utama daripada makanan atau minuman.

Ketiga: Pengulangan lafal شر (artinya keburukan) sebanyak empat kali, meskipun bila tidak diulang, makna yang terkandung pada masing-masing ayat akan tetap sempurna dikarenakan ada kata sambung (huruf ‘athaf ) yaitu و pada setiap ayat. Karena dalam pengulangan tersebut terdapat isyarat anjuran mengulang-ulang permohonan, baik dalam memohon perlindungan kepada Allah secara khusus atau berdoa secara umum. Inilah yang disebut dengan ilhaah (meminta dengan sangat) yang merupakan salah satu adab penting dalam berdoa. Apakah ini hanya akan membuat doa tersebut lebih panjang? Benar, dan ternyata justru kita dianjurkan untuk memperpanjang munajat kita kepada Allah Ta’ala.

Baca Juga  Terminologi Iman dalam Perspektif Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Baca kelanjutannya di sini …

Ridwan Nursalam, Lc., M.A.

Kandidat Doktor, Bidang Aqidah & Pemikiran Kontemporer, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?