Akhlak

Amalan Salih di dalam Surah Al-Kahfi (Bag. 1)

Agama kita — agama islam — adalah agama ilmu dan amal. Barang siapa yang memiliki ilmu kemudian mengamalkannya, maka ia telah mendapat petunjuk ke jalan yang lurus. Barang siapa yang memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya, maka ia termasuk golongan yang dimurkai. Sebaliknya, barang siapa yang beramal tanpa ilmu, maka ia termasuk golongan yang sesat.

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam tafsir Surat Al-Fatihah: “Sesungguhnya jalan orang-orang yang beriman terdiri dari ilmu yang benar dan mengamalkannya, dan Allah murka kepada orang-orang Yahudi, yang meninggalkan amal, meskipun mereka memiliki ilmu. Sementara jalan orang-orang yang sesat adalah Nasrani, yang meninggalkan ilmu meskipun mereka beramal. Dan setiap orang yang meninggalkan ilmu, maka ia berhak mendapat murka Allah, karena tindakannya itu bertentangan dengan ajaran ilmu.” Sedangkan Nasrani ketika mereka menyimpang, mereka tidak mengetahui jalan kebenaran, mereka bersungguh-sungguh mengikuti kebatilan, sehingga menjadi sesat. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa golongan yang dimurkai adalah Yahudi, sedangkan golongan yang sesat adalah Nasrani. Hal ini juga diisyaratkan dalam firman Allah: “Barang siapa yang dilaknat Allah dan dimurkai-Nya” (Al-Maidah: 60), yang menjelaskan sifat-sifat golongan Yahudi. Begitu juga dengan firman Allah: “Mereka yang sesat sebelumnya dan telah menyesatkan banyak orang, serta menyimpang dari jalan yang lurus” (Al-Maidah: 77), yang menunjukkan sifat-sifat golongan Nasrani.

Dengan demikian, jelas bahwa amal salih adalah bagian inti dalam agama kita. Banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menekankan pentingnya amal salih, syarat-syaratnya, bahaya meninggalkan, serta dampak jika diabaikan.

Keadaan manusia dan amal salih

Manusia terbagi dalam tiga golongan dalam urusan amal salih: orang yang beriman, orang munafik, dan orang kafir. Orang mukmin mungkin lalai sehingga meninggalkan amal salih, melakukan dosa, atau secara sengaja meninggalkan kewajiban, menjalankan larangan, atau mengerjakan hal-hal yang makruh. Ada pula yang sebelumnya berbuat dosa, tetapi kemudian bertaubat dengan izin Allah, mengerjakan kewajiban dan hal-hal yang disukai oleh Allah, serta meninggalkan hal-hal yang makruh dan haram. Allah Ta’ala berfirman:
“Kemudian Kami wariskan Al-Qur’an kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami; di antara mereka ada yang menzalimi dirinya sendiri, ada pula yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu dalam kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” (QS. Fathir: 32) 

Baca Juga  Tunaikanlah amanahmu!

As-Sa’di berkata, “Ketika umat ini memiliki akal yang sempurna, pemikiran yang baik, hati yang bersih, jiwa yang suci, Allah memilih mereka, mengutamakan mereka, memberi mereka nikmat berupa agama Islam, dan mewariskan kepada mereka kitab-Nya dibandingkan seluruh umat yang lain.” Firman Allah “Kami wariskan Al-Qur’an kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami” menunjukkan bahwa umat ini adalah umat terbaik, karena umat ini dijaga dari kekufuran. Adapun makna “yang menganiaya dirinya sendiri” adalah orang yang meninggalkan hal yang wajib baginya dan melanggar hal yang diharamkan. Makna “yang pertengahan” adalah orang yang menunaikan kewajiban dan menjauhi yang diharamkan, tetapi terkadang ia lalai dalam beberapa hal yang dianjurkan. Sedangkan makna “yang lebih dahulu dalam kebaikan” adalah orang yang mendahului dalam amal kebaikan, berusaha keras untuk mencapai yang utama, dan menjauhi semua hal yang buruk maupun yang dibenci.

Mereka (umat ini) dipilih oleh Allah Ta’ala untuk mewarisi kitab ini. Walaupun tingkatan mereka berbeda-beda dan keadaan hati mereka bervariasi, tetap saja masing-masing dari mereka mendapatkan bagian dari warisan ini. Adapun yang menzalimi dirinya sendiri, ia masih memiliki keimanan dasar, amal-amal keimanan, dan hal-hal yang berkaitan dengan keimanan. Sebab, maksud dari mewarisi kitab adalah menguasai ilmu tentang kitab tersebut, mengamalkannya, dan mempelajari maknanya serta menggali hikmahnya.

Dan Firman Allah: “Dengan izin Allah” merujuk pada golongan yang lebih dahulu dalam kebaikan. Mereka tidak bisa mencapai kedudukan tersebut hanya dengan amal perbuatan mereka, tetapi semua itu semata-mata karena taufik dan pertolongan Allah Ta’ala. Hal ini mendorong mereka untuk terus bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan kepada mereka.

Firman Allah: “Yang demikian itu adalah karunia yang besar” mengacu pada warisan kitab yang mulia. Allah memilih sebagian hambaNya untuk menerima nikmat besar ini, yang dibandingkan dengan segala nikmat lain bagi manusia, merupakan nikmat terbesar dan teragung.

Baca Juga  Rasulullah Adalah Manusia

Orang-orang beriman berbeda-beda dalam sikap mereka terhadap amal saleh. Ada yang sedikit amalnya namun ikhlas, dan ada pula yang banyak amalnya namun riya’. Ada yang bersikap moderat, dan ada juga yang unggul dalam kebaikan.

Adapun mengenai orang-orang munafik dengan amal saleh, Allah Ta’ala berfirman

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, padahal Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali
(142) Mereka (orang-orang munafik) bermuka dua antara kelompok ini dan kelompok itu; mereka tidak bergabung dengan golongan ini maupun golongan itu. Barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan baginya (untuk menuju kebenaran). (143) (An-Nisa’: 142-143)

As-Sa’di Rahimahullah berkata: “Mereka berdiri dengan malas (beribadah)” artinya, mereka berdiri untuk shalat dalam keadaan berat dan enggan, karena mereka tidak memiliki keinginan di hati mereka untuk melakukannya. Jadi, mereka berdiri bukan karena dorongan cinta kepada Allah dan mencari ridhaNya, “Riya’ (ingin dipuji) kepada manusia”, yaitu mereka hanya ingin memperlihatkan amal mereka kepada orang-orang, dengan tujuan untuk mendapatkan pujian dan penghormatan dari mereka, dan tidak ikhlas karena Allah maka jelas bahwa “mereka tidak mengingat Allah kecuali dengan sedikit sekali”, karena hati mereka telah penuh dengan riya’, karena sesunguhnya dzikir kepada Allah secara terus menerus hanya dari seorang mukmin yang hatinya penuh dengan kecintaan dan pengagungan kepada Allah Ta’ala.

Adapun orang-orang kafir, mereka adalah golongan yang sepenuhnya tidak memiliki minat untuk melakukan amal-amal kebaikan, namun di antara mereka ada yang melakukan amal kebaikan, maka mereka diberikan balasan hanya di dunia saja tanpa mendapatkannya di akhirat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang kafir itu apabila melakukan kebaikan, ia langsung diberi balasan yang ia rasakan di dunia. Sedangkan bagi orang mukmin, sesungguhnya Allah -Ta’ālā- menyimpan kebaikan-kebaikannya untuk di akhirat, dan ia dikaruniai rezeki di dunia karena ketaatannya”. (HR. Muslim dari Anas)

Baca Juga  Anjuran Memiliki Sifat Malu

Dalam riwayat lain yang juga sahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menzalimi kebaikan bagi orang mukmin. Ia diberi karunia di dunia karena kebaikannya, dan kebaikan itu masih dibalas lagi kelak di akhirat. Adapun orang kafir, ia mendapatkan karunia di dunia karena kebaikan-kebaikan yang ia kerjakan tidak karena Allah Ta’ala. Sehingga apabila ia pulang ke akhirat, maka ia tidak akan memperoleh balasan apa-apa atas kebaikan yang ia kerjakan itu”, dan tidak ada balasan bagi orang kafir di akhirat dan tidak ada bagian (kebaikan) untuknya, karena Allah berfirman, “Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu. Jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapus amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)

Dan Allah juga berfirman, “…Siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran, sia-sialah amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya”. (Al-Baqarah: 217). Dan Allah juga berfirman, “…Siapa yang kufur setelah beriman, maka sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi”. (Al-Maidah: 5), dan juga FirmanNya, “Kami perlihatkan segala amal  yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23), As-Sa’di Rahimahullah berkata, “Kami perlihatkan segala amal  yang mereka kerjakan,” yaitu amalan yang mereka lelah dengannya dan berharap menjadi kebaikan untuknya akan tetapi,  “lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.”  artinya amal itu menjadi batal, sia-sia, tidak memiliki manfaat apa pun. Mereka telah kehilangan pahalanya dan merugi akibatnya, Penyebabnya adalah karena hilangnya keimanan dan keikhlasan mereka kepada Allah, serta penolakan mereka terhadap kebenaran yang dibawa oleh RasulNya. Sedangkan amal yang diterima oleh Allah adalah yang bersumber dari seorang mukmin yang ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasul yang jujur yang diutus kepada mereka.

Hamdy Arifan Halim, S.H.

Mahasiwa S1, Universitas Al Qashim, Arab Saudi

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?