Air Hujan Antara Karunia dan Petaka

Fenomena air hujan, selain sebagai salah satu tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, air hujan juga merupakan karunia besar yang diungkapkan dalam ayat kelima dari surat Al-Jatsiyah dengan rezeki (lihat: Tafsir Thabari: 22/62), tetapi ia juga dapat menjadi petaka bagi sebagian makhluk. Seperti yang terjadi di beberapa tempat pada musim hujan, dan sebagaimana dikisahkan Allah di dalam Alquran terkiat beberapa umat yang dibinasakan oleh Allah dengan air pada umumnya dan hujan pada khususnya.
Di dalam Alquran, air hujan diungkapkan dengan beberapa nama, seperti maa’, mathar, gaits, shayyib, wabil, thall, dan lain-lain. Di antara nama-nama tersebut ada yang berulang kali disebutkan. Kata maa’ misalnya berulang tidak kurang dari enam puluh tiga kali (lihat: Al-Maa’u fi al-Quran al-Karim, oleh Khalid Muhammad AZ-Za’azir hal. 13). Sedang mathar dan turunan katanya tidak kurang dari sepuluh kali, sementara kata gaits dan turunan katanya berulang sebanyak empat kali atau lebih. Realita ini merupakan salah satu indikasi betapa pentingnya air dalam perspektif Alquran.
Air Hujan Sebagai Karunia Allah
Alquran menyebutkan peran air sebagai sumber kehidupan, bahkan menegaskan bahwa semua makhluk hidup diciptakan oleh Allah dari air. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir: 5/339). Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ [الأنبياء: 30]
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?“ (QS. Al-Anbiya: 30).
Sekiranya tidak ada air maka tidak akan ada kelangsungan makhluk hidup. Tidak akan ada manusia yang hidup, tidak ada hewan yang tidak mati, tidak akan tumbuh tanaman, dan tidak akan hijau pemandangan dengan pepohonan dan rumput. Tidak akan ada produk pertanian, peternakan, dan produk ekonomi lainnya, bahkan tidak akan ada kebersihan dan kenyamanan dalam kehidupan sosial masyarakat kecuali dengan air. Sebagaimana Allah jelaskan dalam firmanNya:
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ مِنَ السَّمَاء مَاء لَّكُم مِّنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ * يُنبِتُ لَكُم بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالأَعْنَابَ وَمِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ [النحل: 10 ، 11].
“Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya menyuburkan tumbuh-tumbuhan, yang pada tempat tumbuhnya kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang memikirkan”. (QS. An-Nahl: 10-11)
Jika air hilang atau terhambat maka tidak ada yang dapat mendatangkannya selain Allah Ta’ala, Allah berfirman:
قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ مَاؤُكُمْ غَوْراً فَمَنْ يَأْتِيكُمْ بِمَاءٍ مَعِينٍ [الملك: 30]
“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?”. (QS. Al-Mulk: 30).
Air benar-benar ciptaan Allah dan tunduk kepada ketentuanNya. Tidak turun dari langit kecuali dengan izin dan dengan kadar yang ditentukanNya, dan pada waktu dan tempat yang dikehendakiNya.
وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ فَأَسْكَنَّاهُ فِي الْأَرْضِ وَإِنَّا عَلَى ذَهَابٍ بِهِ لَقَادِرُونَ [المؤمنون: 18]
“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya”. (QS. Al-Mukminun: 18).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala menyebutkan nikmatNya yang tak terhingga kepada hamba-hambaNya berupa diturunkannya hujan dari langit dengan kadar tertentu, sesuai dengan kebutuhan. Tidak berlebihan hingga menyebabkan tanah dan bangunan rusak, dan tidak kekurangan hingga tidak mencukupi kebutuhan tumbuhan dan tanaman, tetapi sesuai dengan hajat keperluan untuk menyiram tanaman, untuk diminum dan untuk dimanfaatkan”. (Tafsir Ibnu Katsir: V/470).
Setelah Allah turunkan hujan dari langit, Allah pula lah yang mengatur peyimpanan dan penampungannya di dalam perut bumi, lembah, sungai, danau dan lautan. Tidak ada yang sanggup menyimpan dan menampungnya sebagaimana Allah menyimpan dan menampungnya. Allah berfirman:
وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِينَ [الحجر: 22]
“Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan tumbuh-tumbuhan dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”. (QS. Al-Hijr: 22).
Imam Ibnu Katsir menukir tafsiran Imam Sufyan Tsauri atas firman Allah: (wa ma antum bi khazinin/ dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya) bahwa: “Bukanlah kamu yang menahannya”. Lalu Ibnu Katsir menyatakan pendapatnya bahwa: “Kemungkinan yang dimaksud (wa ma antum bi khazinin) adalah sekali-kali bukanlah kamu yang menjaga dan memeliharanya, melainkan Aku lah yang menurunkan dan memeliharanya untuk kalian. Kamilah yang menjadikan sebagai mata air dan sumber air di bumi. Sekiranya Allah menghendaki niscaya Allah maha kuasa menghilangkannya, akan tetapi kerena rahmatNya maka Allah menurunkan dan menjadikannya tawar, memelihara dan menjaganya lewat mata air, sumur, sungai dan sebagainya, agar dapat bertahan sepanjang tahun untuk memenuhi kebutuhan mereka. Darinya mereka minum, dan meminumkan ternaknya, serta menyiram tanaman dan buahan mereka”. (Tafsir Ibnu Katsir: 4/531).
Air hujan yang dalam salah ayat Alquran disebut sebagai rahmat, jika waktunya tiba maka tidak ada yang mampu menahannya, dan sebaliknya jika Allah menahannya maka tidak ada yang melepas dan menurunkannya. Allah berfirman:
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ [فاطر: 2].
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat (hujan), maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Fathir: 2). (Tafsir terkait yang dimaksud rahmat dalam ayat tersebut, lihat Tafsir Imam As-Sam’ani: 4/345 & Tafsir Imam Al-Bagawi: 6/412)
Air sebagai salah satu nikmat, rezeki, dan karunia dari Allah disebutkan berulang kali dalam Alquran agar kita dapat mengingat Allah dan bersyukur kepadaNya, sebagaimana Allah tegaskan dalam firmanNya:
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ (68) أَأَنْتُمْ أَنزلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنزلُونَ (69) لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلا تَشْكُرُونَ (70) [الواقعة: 68-70].
“Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?”. (QS. Al-Waqiah: 68-70).
Air Hujan Sebagai Petaka
Sejatinya air hujan yang turun dari langit membawa berkah bagi hamba Allah, sebagaimana Allah sebutkan dalam firmanNya:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا [ق: 9]
“Dan Kami turunkan dari langit air berkah (yang banyak manfaatnya)”. (QS. Qaaf: 9).
Imam Bagawi menyatakan: ma’an mubarakan adalah air hujan yang membawa banyak kebaikan dan menjadi sebab kehidupan bagi segala sesuatu. (Tafsir Bagawi: 7/357).
Akan tetapi, realitanya ia juga merupakan salah satu di antara tentara-tentara Allah yang dapat digerakkannya menjadi azab bagi hambaNya yang dikehendaki. Air yang notabene merupakan makhluk yang cair, lembek, mudah menguap dan digiring oleh angin dapat menjadi petaka dan siksa yang dahsyat bagi orang-orang yang durhaka.
Di dalam Alquran terdapat bukti sejarah yang menjadi pelajaran bagi orang berpikir, misalanya:
A. Kaum Nabi Nuh:
Allah mengazab kaum Nabi Nuh dengan air banjir tatkala mereka mendustakan NabiNya dan mengingkari syariatNya. Allah mengisahkan:
كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ فَكَذَّبُوا عَبْدَنَا وَقَالُوا مَجْنُونٌ وَازْدُجِرَ (9) فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ (10) فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ (11) وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا فَالْتَقَى الْمَاءُ عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ (12) وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ (13) تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا جَزَاءً لِمَنْ كَانَ كُفِرَ (14) [القمر: 9-14].
“Sebelum mereka, telah mendustakan pula kaum Nuh, maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan: “Dia seorang gila dan dia sudah pernah diberi ancaman. Maka dia mengadu kepada Tuhannya: “bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah aku. “Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan menurunkan air hujan yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemu- lah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas bahtera yang terbuat dari papan dan paku, Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh)”. (QS. Al-Qamar: 9-14).
B. Kaum Nabi Luth:
Allah juga mengazab Kaum Nabi Luth dengan hujan batu tatkala mereka mengingkari dan melawan Nabi Luth yang melarang mereka berbuat homoseksual (baca: LGBT), sebagaimana dikisahkan Allah dalam surat Asy-Syu’ara: 160-174, hingga akhir kisahnya Allah kabarkan:
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ (173) إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُؤْمِنِينَ (174) [الشعراء: 173-174]
“Dan Kami hujani mereka dengan hujan batu maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu. Sesunguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti yang nyata. Dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman”. (QS.Asy-Syu’ara: 173-174).
C. Kaum Saba’:
Kaum Saba’ juga dimusnakan oleh Allah dengan air setelah mereka berpaling dari dari syariat Allah dan memepersekutukan Allah dengan makhluk. Sebagaimana Allah kisahkan dalam surat Saba’: 15-17:
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (15) فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ (16) ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ (17) [سبأ: 15 – 17]
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda kekuasaan Tuhan di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. kepada mereka dikatakan: “Makanlah olehmu dari rezki yang dianugerahkan Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. Negerimu adalah negeri yang baik dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab yang demikian itu, melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir”. (QS. Saba’: 15-17).
Kisah-kisah tersebut merupakan bukti sejarah yang diabadikan oleh Allah dalam Alquran bahwa air yang notabene hanyalah makhluk yang cair, lembek dan mudah beruap dapat menjadi petaka dan azab bagi sebagian manusia jika Allah menghendaki.
Peristiwa beberapa banjir bandang dan tsunami di negeri kita, terutama tsunami yang terjadi pada bulan Desember 2004 silam dan menimpa Daerah Aceh dan sekitarnya, hingga menelan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit, tidak dapat dipahami sebagai peristiwa biasa melainkan ia adalah petaka yang seharusnya semakin menyadarkan kita untuk tunduk dan patuh kepada Allah. Memperkuat keimanan dan ketauhidan kepadaNya, meningkatkan kewaspadaan dan ketakwaan kepada Allah dengan mengikuti syariatNya dalam mengerjakan perintah dan menjauhi laranganNya.
Kesimpulan dan Sikap
Demikianlah, air hujan selain ia merupakan rezeki, nikmat dan karunia dari Allah, ia juga berpotensi menjadi petaka bagi sebagian makhluk Allah. Karena sangat wajar jika Nabi shallallahu alaihi wasallam berada di antara sikap harap dan cemas, Ketika meliwat awan tebal yang mengindikasikan akan turunnya hujan. Sebagaimana digambarkan oleh Aisyah radhiyallahu anha.
Jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapati hari yang anginnya kencang dan berawan maka wajahnya berubah, sikapnya gelisah hingga beliau keluar masuk rumah. Dan jika hujan benar-benar turun maka wajahnya kembali ceria dan rasa gelisahnya menghilang. (HR. Muslim No. 899).