10. Larangan-larangan Ihram Serta Hukum Fidyah Haji dan Umrah
LARANGAN-LARANGAN IHRAM SERTA HUKUM FIDYAH HAJI DAN UMRAH
(Oleh : H. Saiful Yusuf, Lc., M.A.)
Larangan – Larangan Ihram
Larangan-larangan ihram adalah perkara-perkara yang terlarang bagi seseorang yang sedang berihram baik untuk haji maupun umrah. Larangan-larangn ini ada tiga macam:
Pertama : Larangan yang berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan.
- Menghilangkan rambut, baik dengan cara memotongnya, mencukur, mencabut, ataupun dengan cara-cara lainnya. Allah Subhanahau wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“…dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya…” (QS. Al-Baqarah : 196).
Jumhur (mayoritas) ulama menyamakan antara rambut di kepala dengan semua rambut/bulu yang terdapat pada bagian-bagian tubuh yang lain.
- Menggunting kuku atau mencabutnya, berdasarkan qiyas (analogi) kepada hukum memotong rambut. Hukum ini berlaku baik untuk kuku jari tangan ataupun jari kaki.
- Menggunakan parfum/wewangian setelah berihram, baik pada pakaian ataupun badan atau apa saja yang bersentuhan dengan badan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang orang yang meninggal karena jatuh dan terinjak untanya ketika sedang wukuf di Arafah, “Janganlah engkau pakaikan dia wewangian!”. Selanjutnya beliau menjelaskan sebab larangan ini, yaitu karena orang tersebut akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah. Termasuk juga dalam wewangian adalah sabun yang berbau harum. Adapun memakai parfum sebelum berihram -pada badan dan bukan pada pakaian ihram-, maka dibolehkan berdasarkan hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata, “Saya memakaikan wangi-wangian untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau akan berihram dan untuk halalnya sebelum beliau thawaf di Ka’bah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
- Melangsungkan akad nikah, menikahkan atau melamar seseorang untuk dinikahi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikah, menikahkan dan melamar”. (HR. Muslim).
- Menyentuh, mencium, memeluk, atau yang sejenisnya disertai dengan syahwat berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Maka barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. (Al Baqarah : 197).
Yang dimaksud dengan rafats adalah berhubungan suami istri dan semua perkataan dan perbuatan yang terkait dengan hubungan suami istri dan syahwat, termasuk memandang dengan syahwat.
- Berhubungan suami istri berdasarkan ayat di atas.
- Berburu atau membunuh binatang buruan secara langsung atau tidak langsung, atau membantu orang lain untuk menangkap buruan dalam bentuk apapun, meskipun hanya sekedar menunjukkan binatang buruan. Binatang buruan adalah semua hewan darat yang halal dan liar, seperti kijang, kelinci, burung merpati, dan sejenisnya.
Kedua : Larangan yang berlaku bagi laki-laki saja.
- Menutup kepala, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang orang yang meninggal karena jatuh dan terinjak untanya ketika sedang wukuf di Arafah: “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara dan kafanilah dia dengan kedua kain ihramnya dan janganlah kalian menutup kepalanya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Yang dimaksud dengan penutup kepala disini adalah yang melekat, seperti topi, kopiah, dan lain-lain. Adapun yang tidak melekat seperti payung, atap mobil dan kemah yang tertutup tidak termasuk dalam larangan berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ummu Hushain radhiyallah ‘anha dia berkata, “Kami melaksanakan haji bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada haji wada’ dan saya melihat beliau ketika melontar jumrah Aqabah dan beranjak darinya, sementara beliau di atas kendaraannya dan bersamanya ada Bilal dan Usamah, salah satunya menuntun kendaraan beliau dan satunya lagi mengangkat kainnya di atas kepala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melindungi beliau dari matahari”. (HR. Muslim).
- Memakai pakaian berjahit yang umum dipakai, baik yang menutup seluruh tubuh seperti jubah, atau menutup sebagiannya seperti celana, baju, atau kaos kaki berdasarkan hadis Ibnu Umar radhiyallah ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Apakah pakaian yang boleh dipakai oleh seorang laki-laki yang berihram?” Beliau menjawab, “Dia tidak boleh memakai baju, surban, jubah bertudung, celana, sepatu, dan pakaian yang dicelup za’faran dan wars”. (HR. Bukhari dan Muslim). Za’faran dan wars adalah jenis tumbuhan yang dahulu dipakai untuk mewarnai pakaian namun berbau harum.
Adapun memakai cincin, jam tangan, kaca mata, atau menggantung termos air di leher, ikat pinggang meski ada jahitannya, maka semua itu dibolehkan.
Ketiga : Larangan yang berlaku bagi perempuan.
Kaum perempuan dibolehkan menutup kepalanya dan memakai pakaian apa saja selama tidak melanggar aturan syariat. Akan tetapi dia dilarang untuk memakai kaos tangan dan cadar/penutup wajah, kecuali jika ada laki-laki asing (bukan mahramnya) yang melewatinya atau dekat dengannya, maka dia boleh menutup wajahnya ketika itu dengan menurunkan kain dari atas kepalanya yang dapat menghalangi wajahnya agar tidak terlihat oleh laki-laki yang bukan mahramnya.
Hukum Melanggar Larangan-Larangan Ihram
Jika seorang yang sedang berihram melanggar salah satu dari larangan-larangan di atas maka dia berada pada salah satu dari tiga keadaan;
- Pelanggaran yang terjadi karena lupa, tidak tahu, dipaksa, atau ketiduran, maka tidak ada hukuman apapun baginya, dia tidak berdosa, tidak pula wajib membayar fidyah, dan tidak rusak hajinya. Berdasarkan firman AllahSubhanahu wa Ta’ala yang artinya:
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya (tidak sengaja mengerjakannya), tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Ahzab : 5).
- Melakukan pelanggaran secara sengaja karena suatu uzur, maka dia tidak berdosa, akan tetapi dia terkena salah satu konsekuensi atas pelanggaran larangan ihram.
- Melakukan pelanggaran ihram secara sengaja tanpa uzur, maka dia berdosa dan terkena salah satu konsekuensi atas pelanggaran ihram.
Hukum – Hukum Fidyah
Fidyah diwajibkan atas seorang yang berihram disebabkan karena salah satu dari perkara-perkara berikut:
- Melanggar salah satu larangan ihram.
- Meninggalkan salah satu wajib haji atau umrah.
- Jika dia memilih haji Tamattu’ atau Qiran.
- Tidak mendapatkan haji (tidak mendapatkan wukuf di Arafah hingga terbit fajar pada tanggal 10 Dzulhijjah) atau terhalang dari menyempurnakan rukun-rukun hajinya.
Pertama: Fidyah yang diwajibkan karena melanggar salah satu larangan ihram. Pelanggaran ihram ada empat macam:
- Pelanggaran yang tidak berkonsekwensi fidyah, yaitu melangsungkan akad nikah, maka jika seorang yang sedang berihram menikah atau menikahkan, maka akad nikahnya batal dan orang tersebut berdosa, akan tetapi tidak ada fidyah yang wajib dikeluarkannya.
- Pelanggaran yang fidyahnya berat, yaitu melakukan hubungan suami istri dalam keadaan berihram, maka jika seseorang yang sedang berihram mengauli istrinya sebelum tahallul awal, maka hajinya rusak, demikian pula istrinya jika dia melakukannya secara suka rela. Keduanya wajib untuk menyelesaikan manasik hajinya, dan wajib pula untuk mengganti haji yang rusak tersebut pada tahun yang akan datang. Diwajibkan atas keduanya fidyah masing-masing satu ekor unta untuk disembelih dan dibagikan dagingnya kepada fakir miskin di Mekkah. Berhubungan suami istri sebelum tahallul awal adalah satu-satunya pelanggaran yang merusak ibadah haji. Adapun jika dilakukan setelah tahallul awal, maka hajinya sah, namun wajib atasnya fidyah berupa seekor kambing untuk disembelih dan dibagikan dagingnya kepada penduduk Mekkah.
- Pelanggaran yang fidyahnya setara, yaitu membunuh binatang buruan. Barang siapa membunuh binatang buruan darat yang halal dimakan dalam keadaan berihram, maka diwajibkan atasnya salah satu dari tiga perkara:
Pertama: Sembelihan yang setara, yaitu menyembelih hewan kurban yang setara dengan binatang yang dibunuhnya. Misalnya membunuh burung unta, maka fidyahnya yang setara adalah unta, membunuh keledai liar, maka fidyahnya yang setara adalah sapi, membunuh rusa, maka fidyahnya yang setara adalah kambing. Hewan-hewan yang setara ini disembelih kemudian dagingnya dibagikan kepada kaum fakir dari penduduk Mekkah.
Kedua: Memberi makan fakir miskin. Caranya dengan menghitung nilai/harga dari hewan yang setara dengan hewan yang dibunuh lalu dibelikan bahan makanan pokok sebanyak nilai tersebut dan dibagikan kepada fakir miskin masing-masing ½ sha’ (1,5 kg).
Ketiga: Berpuasa, caranya dengan menghitung jumlah fakir miskin yang berhak mendapatkan sedekah seandainya memilih cara yang kedua dan berpuasa sebanyak hari yang sama dengan jumlah fakir miskin tersebut.
- Pelanggaran yang fidyahnya adalah fidyah gangguan, yaitu memotong rambut, memotong kuku, menutup kepala bagi laki-laki, memakai pakaian berjahit bagi laki-laki, memakai wewangian, dan memakai cadar/penutup wajah dan kaos tangan bagi perempuan. Jika seseorang yang berihram melanggar salah satu dari larangan ini, maka dia boleh memilih antara menyembelih kambing dan membagikan dagingnya kepada kaum fakir Mekkah, atau memberi makan enam orang fakir miskin masing-masing dengan kadar ½ sha’ (1,5 kg), atau berpuasa selama tiga hari, berdasarkan firman Allah yang artinya:
“Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban”. (QS. Al Baqarah : 196).
Jika seorang yang berihram mengulangi pelanggaran ihram dari jenis yang sama sebelum menunaikan fidyah pelanggaran yang pertama, misalnya memotong kukunya lebih dari satu kali, maka dia hanya wajib menunaikan fidyahnya satu kali. Adapun jika dia melakukan dua pelanggaran dari jenis yang berbeda, misalnya memotong rambut dan menutup kepalanya maka dia wajib menunaikan fidyah untuk masing-masing pelangaran tersebut. Dikecualikan dari hukum ini membunuh binatang buruan, di mana wajib bagi yang melanggarnya untuk menunaikan fidyah atas setiap pelanggaran meskipun membunuh hewan dari jenis yang sama.
Kedua: Meninggalkan salah satu wajib haji atau umrah, seperti meninggalkan berihram dari miqat, tidak tawaf wada’, atau wajib-wajib haji lainnya, maka dia wajib menyembelih seekor kambing. Jika dia tidak mampu, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama; sebagian ulama berpendapat bahwa dia wajib berpuasa sepuluh hari, berdasarkan qiyas kepada dam Tamattu’, dan sebagian lagi berpendapat tidak wajib baginya untuk berpuasa.
Perlu diketahui bahwa jika seseorang yang berihram meninggalkan salah satu wajib haji, maka diwajibkan fidyah, baik itu terjadi karena sengaja, lupa, atau tidak tahu hukumnya. Berbeda dengan orang yang melanggar larangan ihram.
Ketiga: Melaksanakan haji Tamattu’ atau Qiran bagi selain penduduk Mekkah dan sekitarnya, maka wajib atasnya dam berupa seekor kambing, atau 1/7 unta, atau 1/7 sapi. Jika dia tidak mampu, maka dia wajib berpuasa tiga hari selama dalam pelaksanaan haji dan tujuh hari setelah kembali ke negerinya berdasarkan firman Allah yang artinya:
“…maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), maka (wajib baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil-haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah)”. (QS. Al Baqarah : 196).
Keempat : Diwajibkan fidyah dengan menyembelih seekor kambing, atau 1/7 unta, atau 1/7 sapi, bagi orang yang sudah berihram namun tidak sempat wukuf di Arafah hingga terbit fajar pada hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah) atau terhalang dari menyempurnakan rukun-rukun haji, baik karena sakit atau selainnya. []