Ulama Sebagai Ulil Amri yang Wajib Ditaati
Telah maklum bagi masyarakat muslim bahwa ulil amri yang Allah perintahkan taat kepadanya di dalam Al-Qur’an adalah pemerintah atau penguasa. Ulil amri yang didefinisikan sebagai pemerintah atau penguasa adalah terminologi yang dikemukakan oleh sejumlah ulama terkemuka di kalangan sahabat, tabi’in, atba’ut-tabi’in dan ulama lainnya, antara lain Abu Hurairah, Ibnu Abbas dalam salah satu riwayat, Zaid bin Aslam, Maimun bin Mihran, As-Suddi, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam satu riwayat. Pendapat ini juga dikuatkan antara lain oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, Imam Syaukani dan selainnya. (Lihat: Fath al-Bari: VIII/254, Tafsir al-Thabari: VII/182, I’lamul Muwaqqi’in, oleh Ibnul Qayyim: 1/8, Tafsir Fathul Qadir: I/556).
Akan tetapi dalam literatur-literatur Islam, baik klasik ataupun kontemporer, terutama kitab-kitab tafsir, kita juga temukan sejumlah ulama terkemuka yang memandang bahwa bahwa ulil amri yang wajib ditaati tidak terbatas hanya pemerintah dan penguasa saja. Beberapa kalangan di antara mereka justru mendefinisikan ulil amri sebagai ulama, ahli ilmu atau ahli fiqh.
Dalam menginterpretasi kata ulil amri yang disebutkan Allah dalam firman-Nya yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul, dan ulil amri di antara kalian.” (QS. an-Nisaa’: 59), Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas menurut salah satu riwayat, Mujahid, Atha’, Hasan Basri, Abul Aliyah dan selainnya mendefinisikan ulil amri sebagai ulama, ahli ilmu atau fiqh.
Demikian juga interpretasi sejumlah ulama terhadap kata ulil amri di dalam firman-Nya yang artinya: “Padahal apabila mereka memberitahukannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, pastilah para Rasul dan ulil amri tersebut akan menyimpulkannya (hukumnya yang benar) untuk mereka.” (QS. An Nisa: 83).
Interpretasi ini tentu sangat relevan, mengingat bahwa secara harfiah, frasa ulil amri (uli al-amr) berkonotasi dzawi al-amr (lihat: Fathul Bari: VIII/253), yaitu orang-orang yang mempunyai atau memegang urusan. Sedang urusan kaum muslim tidak lepas dari urusan umum dan urusan keagamaan.
Atas dasar realita tersebut seorang pakar tafsir awal abad ke 14 hijriah, Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi menyimpulkan bahwa: “Keumuman kata “wa ulil amri minkum” mencakup para ulama, sebagaimana pandangan yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talhah dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengannya adalah ahli fiqh dan ahli agama. Demikian pula pandangan Mujahid, Atha’, Hasan Basri dan Abul ‘Aliyah. Sebetulnya, ini bukan pendapat kedua dalam ayat tersebut tetapi ini termasuk kandungan lafaz ayat itu sendiri. Ayat tersebut umum, mencakup semua ulil amri dari kalangan umara dan ulama, meskipun ayat tersebut turun atas sebab tertentu.” (Mahasin al-Ta’wil: VI/1344).
Tidak heran bila ternyata sejumlah ulama ahlit tahqiq berupaya memadukan kedua interpretasi tersebut. Tercatat misalnya Imam al-Jashshash, setelah menukil perbedaaan pendapat ulama dalam menentukan ulil amri antara ulama dan umara dalam tafsirnya, beliau menyatakan: “Boleh jadi kedua pendapat tersebut tepat karena gelar ulil amri mencakup mereka semua (ulama dan umara) karena umara mengatur urusan pasukan perang sedang ulama mengatur urusan syariat.” (Ahkam al-Qur’an: III/177).
Kompromi pendapat ini juga dilakukan Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Katsir, dan selainnya.
Ibnu Katsir menegaskan: “Zhahirnya – wallahu a’lam -, ayat tersebut mencakup semua ulil amri dari kalangan umara dan ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir: II/345).
Lebih tegas lagi, Ibnu Taimiyah membagi ulil amri menjadi dua kelompok, yaitu ulama dan umara dan memandang bahwa kebaikan dan keburukan masyarakat sangat tergantung kepada kedua kelompok tersebut. Ibnu Taimiyah menulis: “Ulul amri adalah pemilik dan pemegang urusan, yaitu orang-orang yang dapat memerintah orang lain. Dalam hal ini, berpadu antara pemilik kekuasaan yang menggunakan tangan dan kekuatan, dengan ahli ilmu dan kalam. Oleh karena itu maka ulul amri itu terbagi dua kelompok, yaitu ulama dan umara. Jika mereka baik maka masyarakat akan baik, tetapi jika mereka buruk maka masyarakat pun akan buruk.” (Majmu’ al-Fatawa: XXVIII/170).
Kesimpulan para ulama yang mengkompromikan kedua interpretasi tersebut sangat beralasan. Setidaknya hal itu tergambar dari analisa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dalam tulisannya bahwa: “Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin memimpin umat dalam urusan dunia dan agama mereka, akan tetapi setelah itu terjadi dikotomi antar urusan tersebut. Hasilnya, pemimpin perang beralih menjadi pemimpin umat dalam urusan dunia dan agama yang zhahir, sedang syaikh-syaikh ilmu memimpin umat dalam spesifikasi mereka dalam urusan ilmu dan agama. Mereka semua adalah ulil amri. Semua wajib ditaati perintahnya selama merupakan bentuk taat kepada Allah yang mereka ditugaskan mengurusinya.” (Majmu’ al-Fatawa: XI/551).
Dalam upaya mengkompromikan kedua pendapat tersebut, Ibnu Qayyim lebih menegaskan bahwa: “Pastinya, para umara hanya ditaati jika mereka memerintah berdasarkan ilmu. Maka ketaatan kepada mereka mengikuti ketaatan kepada para ulama. Karena sesungguhnya ketaatan tersebut hanya pada hal-hal yang ma’ruf dan yang sejalan dengan ilmu. Maka sebagaimana ketaatan kepada ulama hanya mengikut kepada ketaatan kepada Rasul, maka demikian pula ketaatan kepada umara hanya mengikut kepada ketaatan terhadap para ulama.” (I’lamul Muwaqqi’in: 1/10).
Atas dasar terminologi ulil amri yang memadukan antara umara dan ulama hendaknya aplikasi ketaatan yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya tersebut di atas tidak hanya tertuju kepada pemerintah saja, akan tetapi juga kepada para ulama. Idealnya ketaatan yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah tertuju pula kepada ulama sebagaimana tertuju kepada para umara. Sebagaimana ulama dan masyarakat umum harus taat kepada pemerintah dalam segala hal yang tidak mengandung kemaksiatan maka demikian halnya para umara atau pemimpin bersama seluruh masyarakatnya harus taat kepada para ulama. Hendaknya arahan, bimbingan dan fatwa para ulama dihormati, dijunjung tinggi dan diikuti oleh semua komponen umat dan bangsa. Terlebih lagi karena selain perintah Allah yang disebutkan dalam surat An-Nisa: 59 di atas juga terdapat ayat-ayat yang memerintahkan untuk merujuk kepada para ulama, antara lain, firman Allah yang artinya:
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka”. (QS. An-Nisa’: 83).
“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43).
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?” (QS. Al-Maidah: 63).
Idealnya umara dan ulama bergandengan tangan memimpin umat menggapai kemakmuran di dunia dan kenikmatan surga di akhirat kelak.