SYARIAT BERSYARAT (2)

SYARIAT BERSYARAT (2)
Model Deteksi dan Uji
Setelah menguraikan soalan di atas dan mengungkap implikasinya, kami ingin menguji intisari yang melatarbelakanginya untuk mengungkap sejauh mana kekokohan keraguan terhadap otoritas syariat karena adanya perbedaan di dalamnya. Apakah ini merupakan substansi yang benar-benar solid dan mendalam bagi mereka yang mengajukan pertanyaan ini atau tidak?
Jika kita merenungi realitas mereka yang mengajukan soalan ini sebagai bentuk keberatan terhadap beberapa hukum syariat, apakah mereka memperlakukan hukum syariat lainnya dengan standar yang sama, yakni bahwa syariat memiliki berbagai tafsiran yang tidak kita ketahui mana yang pasti?
Ya, bagi mereka yang menganggap semua hukum syariat demikian, sehingga tidak ada yang bisa dijadikan pedoman pasti dalam debat pemikiran kontemporer mana pun, maka mereka akan keluar dari ujian ini dengan sertifikat konsistensi terhadap metode yang batil.
Namun, kita menemukan bahwa mayoritas dari golongan ini masih berpegang teguh kepada beberapa hukum syariat pasti dimana hukum syariat tidak dapat diperselisihkan di dalamnya, contohnya:
- Pencelaan terhadap ekstremisme, kritik terhadap tindakan ekstremis, dan penolakan untuk mengaitkan ekstremisme dengan Islam.
- Seruan untuk sistem pemerintahan konsultatif (berdasarkan musyawarah) dan kebebasan politik, serta kritik terhadap monopoli kekuasaan dan kekayaan negara.
- Dorongan untuk pembangunan dan kebangkitan, komunikasi peradaban, dan pemanfaatan nilai-nilai positif dari apa yang dimiliki bangsa-bangsa kontemporer.
Ini hanya beberapa contoh hukum yang mereka landaskan pada syariat, dan masih banyak lagi. Perbedaan sikap ini mengungkap kekeliruan objektif yang besar dalam masalah ini.
Penerapan syariat sebagai prinsip pasti dan utama dalam Islam dipersoalkan hanya dengan alasan ada beberapa perbedaan pemahaman di dalamnya, sementara hal ini diabaikan dalam hukum-hukum lain yang mereka anggap pasti tanpa mempermasalahkan adanya perbedaan pemahaman di dalamnya, padahal urgensi dan validitasnya lebih rendah daripada prinsip penerapan syariat itu sendiri. Bahkan, dalam banyak kasus, beberapa hukum itu bukan merupakan hukum pasti, melainkan masuk dalam ranah ijtihad, dan kadang-kadang bahkan tidak termasuk dalam ranah ijtihad yang sah, namun tetap dinisbahkan kepada Islam dan dianggap harus diterapkan.
Inkonsistensi sikap mereka terhadap hukum-hukum syariat, dengan mengangkat soalan ini dan menerapkannya pada beberapa hukumnya serta menangguhkannya dari yang lain, dengan jelas menunjukkan kerapuhan substansi dasar yang menjadi pondasi soalan ini.
Masalah Ekstremisme dalam Penerapan Syariah
Setelah kita melihat kelemahan pondasi ilmiah yang digunakan untuk menentang kedaulatan syariat dengan alasan adanya multiinterpretasi dalam sebagian konsep syariat, biasanya muncul kebiasaan pemanfaatan ketidakpuasan publik terhadap tindakan beberapa golongan ekstremis yang mengatasnamakan syariat untuk merusak konsep kedaulatan syariat. Sebagian mereka akan berkata: syariat ini berdasarkan konsep apa? Apakah konsep para ekstremis yang…? Kemudian mereka mulai menceritakan kisah-kisah dan menggambarkan situasi yang menakutkan tentang hukum syariat, untuk mencapai kesimpulan bahwa konsep tersebut harus ditolak sepenuhnya.
Ya, ini adalah cara yang efektif untuk mempengaruhi banyak orang, sehingga beberapa orang kemudian mencapai keyakinan yang kuat untuk menolak kedaulatan syariat karena pengaruh itu.
Namun, ini bukan hasil dari penelitian objektif dan kajian ilmiah yang benar dalam adu argumen dan bukti, melainkan tunduk pada emosi dan perasaaan semata, terpengaruh oleh propaganda media, dan jatuh dalam perasaan sesaat, sehingga terjatuh dalam sikap mengikuti hawa nafsu yang pastinya tidak bisa membebaskan manusia dari kewajiban tunduk pada kedaulatan syariat.
Eksploitasi misi seperti ini bukanlah hal yang baru ada di zaman kontemporer kini. Pembahasan tentang kedaulatan syariat dengan cara menggiring opini bahwa inti syariat itu adalah membunuh orang, memotong telinga, mematikan senyum, mengisolasi mereka dari kehidupan, menindas kaum wanita, dll., telah ada sejak puluhan tahun lalu. Ini adalah bahasa yang merusak lagi picik, merupakan penghinaan terhadap ilmu dan objektivitas diskusi ilmiah. Kami hanya ingin mengingatkan pembaca yang terhormat bahwa bahasa yang merusak syariat dengan tindakan para ekstremis bukanlah nada baru, melainkan hanya rekonstruksi dari kata-kata yang sudah eksis sebelumnya.
Yang penting bagi kita di sini adalah bahwa adanya tafsiran yang salah dalam konsep kedaulatan syariat tidak akan dapat mempengaruhinya. Hanya adanya tafsiran lain yang menyimpang – baik ekstremisme atau kelalaian – tidak mempengaruhi prinsip kedaulatan syariat. Bahkan, para pendukung teori ‘multiinterpretasi’ akan menghadapi masalah dengan konsep ekstremisme, karena ekstremisme akan tetap menjadi salah satu bagian dari multi tafsir tersebut. Jadi, siapa yang tidak memiliki konsep yang benar berdasarkan alat dan syarat objektif untuk menentukan tafsiran yang dapat diterima, bagaimana mungkin ia bisa menolak ekstremisme?
Ini adalah problematika mendalam yang tidak memiliki jawaban ilmiah yang benar. Selama Anda menerima semua tafsiran yang berkaitan dengan hukum Islam, atau melihat semuanya bersifat dugaan dan relatif, maka Anda harus menerima ekstremisme sebagai salah satu tafsiran tersebut. Oleh karena itu, pertanyaan tentang ekstremisme sebenarnya menjadi masalah bagi mereka yang meragukan kedaulatan syariat karena adanya multi tafsir, bukan bagi mereka yang melihat bahwa hal itu tidak mempengaruhinya.
Ya, masalah ekstremisme dalam penerapan syariat memerlukan penelitian yang mendetail untuk membahas semua masalah yang berkaitan dengannya, demi mengungkap aspek-aspek ijtihad yang dianggap sah dari yang tidak sah. Ini adalah pembahasan yang keluar dari konteks studi ini dalam membahas soalan-soalan yang diajukan tentang implementasi syariat.
Jika ada hal yang perlu diperhatikan di sini, maka ialah mengarahkan perhatian pembaca bahwa ketika para ekstremis menyajikan konsep mereka tentang otoritas syariat, dan mendukungnya dengan menolak konsep-konsep lain, maka salah satu cara terbesar yang menggguncang pendirian dan meruntuhkan retorika mereka bukanlah dengan mengajukan retorika yang menentang penerapan syariat. Karena mereka menganggap retorika ini tidak layak untuk dilirik apalagi ditanggapi.
Namun, retorika syariat yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang benar, yang menggabungkan prinsip kedaulatan syariat dengan realitas fikih Islam, yang menyerukan penerapan syariat dengan serius, dan diimplementasikan sesuai dengan fikih realita. Retorika inilah yang mampu mengatasi ekstremisme dan mengguncang dasar-dasarnya, bukan retorika yang melihat penghapusan syariat sebagai solusi melawan ekstremisme dan menaklukkan para ekstremis, retorika ini sebenarnya adalah retorika rapuh, yang tidak memiliki visi koheren yang layak untuk diajukan sebagai kritik terhadap ekstremisme. Wallahu A’lam