Serial Usul Tafsir (bag. 4)

3. Ucapan Salaf
Salaf adalah orang-orang zaman dahulu, namun yang dimaksud dengan mereka di sini adalah para pendahulu yang baik dan saleh dari generasi para sahabat, tabiin, dan para pengikutnya. Adapun yang dimaksud dengan tafsir Alquran dengan ucapan salaf adalah penjelasan makna ayat-ayat Alquran dengan perkataan para sahabat, tabiin, dan para pengikutnya.
Sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam, beriman kepadanya, dan wafat dalam keimanan. Ahli tafsir dari kalangan mereka yaitu yang mempunyai banyak argumen dan perhatian khusus dalam tafsir Alquran. Namun jumlahnya relatif sedikit, yang paling terkenal adalah ulama umat ini dan penerjemah Alquran, yaitu Abdullah bin Abbas, kemudian Abdullah bin Masud, lalu Ali bin Abi Thalib, lalu Umar bin Khatab, lalu Aisyah binti Abu Bakar. Dan tidak semua yang disebutkan dalam kitab biografi para ahli tafsir itu pasti seorang penafsir.
Tabiin adalah orang yang bertemu dengan sahabat, beriman, dan wafat dalam keimanan. Para ahli tafsir dari kalangan mereka lebih banyak daripada kalangan para sahabat dan pengikut tabiin.
Pengikut tabiin adalah orang yang bertemu dengan tabiin, beriman, dan wafat dalam keimanan. Setelah mereka, hanya sedikit yang menekuni dalam bidang tafsir, sampai muncul Ibnu Jarir (al-Thabari).
Perkataan para salaf bisa menjadi sumber dalam penafsiran, karena beberapa alasan berikut:
- Para sahabat radhiyallahu’anhum: karena mereka menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui keadaan-keadaannya, mengetahui kondisi orang yang menjadi sebab turunya wahyu, Alquran turun dengan bahasa mereka, bagus pemahaman, dan tulus niatnya (dalam menyampaikan ilmu dan nasehat).
- Tabiin dan para pengikutnya: karena mereka pewaris penafsiran para sahabat, metode dan sumber mereka sesuai dengan titian para sahabat, mereka hidup di era sandaran linguistik, dan tafsir mereka menjadi penopang tersambungnya silsilah penafsiran para generasi yang sebelumnya.
Penafsiran para salaf ada dua jenis:
- Penukilan, jenis ini ada empat kategori;
- Riwayat yang berasal dari tafsir Nabi shallallahu alaihi wasallam.
- Riwayat yang berkaitan dengan dengan sebab-sebab turunnya wahyu secara eksplisit (gamblang).
- Riwayat tabiin dari para sahabat.
- Riwayat pengikut tabiin dari para tabiin.
- Argumentasi, jenis ini ada tiga kategori;
- Riwayat yang berkaitan dengan dengan sebab-sebab turunnya wahyu secara implisit (tidak gamblang).
- Pendapat-pendapat yang yang memiliki beberapa makna.
- Kisah-kisah yang berkaitan dengan ayat Alquran.
Yang menjadi hujjah ada dua, yaitu: riwayat yang berasal dari tafsir Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan riwayat yang berkaitan dengan dengan sebab-sebab turunnya wahyu secara eksplisit (gamblang). Begitu pula yang menjadi kesepakatan dan yang hanya memiliki satu dari segi makna.
Adapun yang lainnya berupa riwayat tabiin dari para sahabat, atau riwayat pengikut tabiin dari para tabiin, dan tafsir argumentasi; bisa dianggap hujjah secara keseluruhan; sebab kebenaran tidak akan menyimpang dari perkataan mereka, namun mungkin ada setelah mereka pendapat-pendapat yang benar tentang penafsiran suatu ayat.
Secara asal tafsir para salaf dinukil secara bersanad, adapun yang tidak bersanad disebutkan dengan redaksi kesangsian. Yang bersanad ada dua keadaan; apabila sahih maka itu valid tanpa ada perselisihan, namun apabila lemah para ahli tafsir terdahulu dan kebanyakan dari kalangan kontemporer menerimanya; dengan tidak menolak, tidak meneliti lebih lanjut dari segi kevalidannya, bahkan menisbatkannya kepada mereka dan mengambil makna-makna dari mereka (dalam menafsirkan ayat).
Di antara ulama yang tidak menyebutkan sanad tafsir para salaf adalah Imam Bukhari dalam kitab tafsir dari kitab Shahihnya([1]). Adapun di antara para ahli tahkik yang mempunyai wawasan tentang para rawi dan ilmu Jarh wa Takdil([2]) mereka hanya mengkritik hal-hal yang bermasalah, baik dari segi makna maupun sanad, seperti al-Thabari yang meriwayatkan dan menerima tafsir as-Suddi dengan sanadnya yang populer, beliau hanya menyebutkan kelemahan sanad tersebut satu kali saja, dan begitu pula jalur-jalur lemah lainnya. Ibnu katsir juga banyak mengutip dalam kitab tafsirnya riwayat al-Dahhak dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma tanpa mengkritiknya. Begitu pula Ibnu Abi Hatim menukil kesepakatan para ulama bahwa al-Dahhak tidak bertemu dengan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, namun hal itu tidak menghalanginya untuk meriwayatkan lebih dari 380 kutipan riwatanya.
Diantara perkataan para imam tentang metodologi periwayatan tafsir salaf:
- Yahya al-Qattan berkata: “Mereka dalam bidang tafsir toleran kepada para rawi yang tidak diterima hadisnya”, lalu beliau menyebutkan Lais bin Abi Sulaim, Juwaibir bin Said, al-Dahhak, dan Muhammad bin al-Saib al-Kalbi, dan berkata: “Riwayat hadis mereka tidak diterima, namun riwayat mereka dalam tafsir boleh ditulis”([3]).
- Al-Baihaqi berkata tentang mereka: “…dan ada rawi yang tidak dituduh berdusta, namun buruk hafalannya dan banyak salah dalam periwayatan hadisnya, atau dia tidak diketahui identitas dan kredibilitasnya. Yang semacam ini tidak diterima hadisnya yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat, begitu pula persaksiannya dalam persidangan. Namun riwayat mereka yang tidak berkaitan dengan hukum-hukum syariat, seperti doa, targhib dan tarhib([4]), tafsir, dan peperangan mungkin bisa diterima”([5]), lalu dia menyebutkan alasannya: “Mereka (sebagian ulama hadis) toleran dalam mengambil tafsir dari mereka; karena yang mereka tafsirkan bisa dibuktikan dengan makna-makna yang terdapat dalam bahasa Arab, mereka hanya mengumpulkan dan memperkirakan saja”([6]).
- Al-Khatib al-Baghdadi berkata: ” … Namun para ulama dalam bidang tafsir mengambil sebagai hujjah dari para rawi yang tidak diterima hadis-hadisnya yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat; karena hafalan hadis mereka buruk dan sibuk dengan tafsir, seperti Ashim bin Abi al-Najud; dia itu hujjah dalam Qiroat, namun dalam hadis tidak, karena dominasinya dalam ilmu Alquran mengalihkan perhatiannya dari hadis”([7]).
([1] (Hal itu karena kitab Shahihnya secara asal hanya menyebutkan hadis-hadis Nabawi yang bersanad, adapun selain itu hanya pelengkap saja, namun Imam Bukhari menliti terlebih dahulu sanad riwayat tersebut. (pnt).
([2] (Yaitu ilmu yang membahas tentang keadaan para rawi dari segi diterima atau ditolak riwayatnya dengan lafaz-lafaz khusus. (pnt)
([3] ((Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab Dalail an-Nubuwwah 1/35-37, dan al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab al-Jami’ liakhlaq al-Rawi waadab as-Sami’ no. 1588).
([4] (Hadis-hadis yang berkaitan dengan akhlak dan adab, baik yang terpuji maupun tercela. (pnt)
([5] ((Dalalil an-Nubuwwah karya al-Baihaqi 1/34).