Usul Tafsir

Serial Usul Tafsir (bag. 10)

Bagian Keempat

Ikhtilaf dan Ijmak dalam Penafsiran

A. Sebab-sebab terjadinya ikhtilaf dalam tafsir

Pembahasan tentang ikhtilaf (perbedaan) dalam permasalahan ini didahulukan daripada ijmak; karena dengan itu akan jelas perkara ijmak, bukan sebaliknya.

Perbedaan dalam penafsiran terjadi karena beberapa sebab, di antaranya:

Kesamaan linguistik (bahasa).

Baik dilihat dari kesamaan asal usul katanya atau kesamaan bentuk katanya.

Contoh yang pertama: kata (قَسْوَرَة) dalam firman Allah azza wajalla: {فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ} [Al-Muddatstsir: 51], ada yang mengartikan: “singa”, ada pula yang mengartikan: “pemanah”.

Contoh yang kedua: kata (مُسْتَمِرّ) dalam firman Allah azza wajalla: {وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ} [Al-Qamar: 2], ada yang mengartikan: “kuat”, yaitu berasal dari kata (أَمَرَّ يُمِرُّ), ada pula yang mengartikan: “berlalu”, berasal dari kata (مَرَّ يَمُرُّ).

Rujukan kata ganti.

Seperti kata ganti yang terdapat dalam lafaz (تُعَزِّرُوْهُ، وَتُوَقِّرُوْهُ) dalam firman Allah azza wajalla:

{إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (8) لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا}

“Sungguh, Kami mengutus engkau sebagai saksi, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan, agar kamu semua beriman kepada Allah dan rasul-Nya, menolongnya, menghormatinya, dan bertasbih kepada-Nya pagi dan petang”. [Al-Fath: 8-9], ada yang mengatakan kedua kata ganti itu kembali ke (الرسول ج), adapula yang mengatakan keduanya kembali ke lafaz (الله).

Deskripsi yang memiliki lebih dari satu makna.

Seperti kata (المُرْسَلَات) dalam firman Allah azza wajalla: {وَالْمُرْسَلَاتِ عُرْفًا} [Al-Mursalat: 1], ada yang mengartikan: “angin”, ada pula yang mengartikan: “malaikat”.

Perbedaan sumber penafsiran.

Seperti arti kata (الساق) dalam firman Allah azza wajalla: {يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ} [Al-Qalam: 42], ada yang mengatakan: huru hara hari kiamat, ada yang mengatakan: betis Allah, sebagaimana yang termaktub dalam hadis, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Rabb kita akan memperlihatkan betis-Nya, lalu setiap mukmin laki-laki dan perempuan bersujud kepada-Nya, kecuali orang-orang yang dulu bersujud di dunia karena pamer, ketika berusaha untuk bersujud, mereka tidak bisa membungkukan tulang punggungnya”(1). Pendapat pertama didasarkan pada bahasa, sedangkan yang kedua didasarkan pada Sunnah, bahasa itu sifatnya lebih umum.

Perbedaan makna naskh menurut para salaf.

Seperti penafsiran kata (المشركات) dalam firman Allah azza wajalla: {وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ} “Janganlah kamu menikahi Perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah: 221]. Yang menganggapnya umum, maka ia mengecualikan perempuan Ahli Kitab, berdasarkan firman Allah dalam ayat lain: “Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya” [Al-Maidah: 5]. Sedangkan bagi yang mengkhususkannya dengan penyembah berhala, maka menurut pandangannya ayat tersebut sifatnya jelas, bukan termasuk kategori umum dan khusus, dan yang lainnya juga sifatnya jelas tentang kebolehan menikahi perempuan Ahli Kitab.

Susunan kalimat pada suatu ayat, yang dimajukan dan diakhirkan.

Seperti lafaz: (بِحَقٍّ) pada surat Al-Maidah ayat 116, apakah itu awalan dari kalimat: {إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ}, atau akhiran dari kalimat: {قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي}?, kalau yang pertama maka artinya: Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau telah mengetahuinya dengan sebenar-benarnya. Namun yang benar adalah yang kedua, artinya: (`Isa) menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku”.

Banyak perbedaan pendapat dalam penafsiran setelah generasi para salaf, hal itu karena beberapa sebab, di antaranya:

Pertama: Munculnya keyakinan yang bertentangan dengan manhaj Ahlusunah, seperti penafsiran Muktazilah pada lafaz: (النظر) dalam firman Allah azza wajalla: {وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ} “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, memandang Tuhannya.” [Al-Qiyamah: 22-23], mereka mengartikannya: “menunggu”, yaitu: “menunggu pahala Tuhan mereka”, yang mana hal ini berbeda dengan keyakinan Ahlusunah, yang menegaskan bahwa orang-orang beriman akan melihat Tuhan mereka di surga.

Yang kedua: Munculnya mazhab-mazhab fikih Islam, dan adanya unsur menguatkan argumen suatu mazhab.

1. (Shahih Bukhari, Kitab Tafsir Alquran, Bab tentang firman Allah ta’ala: (Pada hari ketika betis disingkapkan) [Al-Qalam: 42], No (4919).

Sadnanto. BA. MA

Kandidat Doktor Ulumul Hadis Universitas Islam Madinah

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button