Sebab-sebab Ampunan (4)

Adapun istigfar dengan lisan, namun dibarengi dengan hati yang terus-menerus bermaksiat, maka ini adalah sekedar doa. Jika Allah berkehendak, Dia ampuni. Jika tidak berkehendak maka Allah tolak doanya.
Bahkan sikap terus-menerus bermaksiat bisa menjadi sebab tertolaknya doa tersebut. Di dalam Musnad, terdapat hadis Abdullah bin ‘Amr yang diriwayatkan secara marfū’ sebagai berikut :
وَيْلٌ لِلْمُصِرِّينَ الَّذِينَ يُصِرُّونَ عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Celakalah orang-orang yang bersikukuh dalam kemaksiatan padahal mereka mengetahuinya.” (HR. Ahmad (2/165), ini adalah hadis yang kuat).
Ibnu Abī Ad-Dunyā juga pernah meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu ‘Abbās secara marfū’ sebagai berikut :
التائبُ مِنَ الذَّنب كمن لا ذنب له، والمستغفر من ذنب وهو مقيمٌ عليه كالمستهزيء بربِّه
“Orang yang telah tobat dari dosa seperti orang yang tidak melakukan dosa tersebut, sedangkan orang yang beristigfar/meminta ampun dari suatu dosa namun ia terus-terusan mengerjakannya, maka ia laksana orang yang mengejek-ejek rabbnya.” (HR. Ibnu Abī Ad-Dunyā dalam Al-Taubah hal. 85. Riwayat hadis secara marfū` adalah mungkar, kemungkinan besar hadis ini mauqūf).
Aḍ-Ḍaḥḥāk mengatakan, “Ada tiga golongan yang tidak dijawab doanya” beliau menyebutkan di antaranya, “Seorang laki-laki yang terus-menerus berzina dengan seorang wanita, setiap kali ia selesai melampiaskan hawa nafsunya ia berdoa, ‘Ya Tuhanku ampuni dosa zinaku dengan Fulanah.’ Allah pun berfirman, ‘Tinggalkanlah ia, niscaya Aku ampuni engkau. Namun bila engkau tetap bersama ia, Aku tidak akan mengampunimu.’ Golongan berikutnya ialah orang yang memegang harta suatu kaum, sedang ia mengetahui orang-orang yang berhak atas harta itu dari kaum tersebut, ia pun berdoa, ‘Wahai Tuhanku, ampunilah dosa harta yang aku makan dari harta kaum Fulan. Allah pun berfirman, ‘Kembalikanlah harta mereka, niscaya Aku pasti mengampunimu. Jika tidak, Aku pun tidak akan mengampuni’.”
Ucapan ‘Astaghfirullah’ bermakna aku memohon maghfirah/ampunan. Ucapan ini seperti ucapan ‘Allahummaghfirly’.
Ucapan istigfar sempurna yang dapat menjadi sebab datangnya ampunan ialah ucapan istigfar yang dibarengi dengan sikap meninggalkan dosa dan tidak bersikukuh mengerjakannya. Allah telah memuji orang-orang yang melakukan hal tersebut dan menjanjikan ampunan kepada mereka. Sebagian orang arif berkata,
من لم يكن ثمرةُ استغفاره تصحيح توبته، فهو كاذب في استغفاره
“Siapa yang istigfarnya belum berbuah perbaikan tobatnya, ia telah berdusta dalam ucapan istigfarnya.” Ada juga yang mengatakan,
استغفارُنا هذا يحتاج إلى استغفارٍ كثير
“Ucapan istigfar kami ini membutuhkan banyak istigfar.” Sebagian mereka pernah bersyair,
أستغْفِرُ الله مِنْ أستغفرُ الله … من لَفظةٍ بَدَرَتْ خالفْتُ معناها
وكيفَ أرجو إجاباتِ الدُّعاء وقد … سَدَدْتُ بالذَّنب عندَ الله مَجراها
“Aku beristigfar kepada Allah dari istigfar yang terucap namun aku menyelisihi maknanya, bagaimana bisa aku berharap jawaban doa sedangkan telah aku sumbat jalannya di sisi Allah dengan dosa.”
Istigfar yang paling afdal adalah istigfar yang disertai dengan meninggalkan sikap bersikukuh terhadap dosa. Inilah tobat nasuha.
Jika seseorang berucap, “Astagfirullah” namun ia tidak melepas dosa itu dengan hatinya, ucapannya itu hanya sebuah doa memohon ampunan dari Allah. Seperti ucapannya, “Allahummagfirly”, ini adalah ucapan yang baik, semoga ucapan ini dikabulkan oleh Allah. Orang yang mengatakan bahwa ini adalah tobat maka ia dusta, maksudnya ialah ucapan ini bukanlah tobat seperti yang diyakini kebanyakan orang. Ini benar karena tobat tidak sah jika disertai dengan sikap bersikukuh mengerjakan dosa.
Orang yang mengucapkan,
أستغفر الله وأتوبُ إليه
“Astaghfirullāh Wa Atūbu Ilaihi (Aku memohon ampunan Allah dan aku bertobat kepada-Nya)” berada dalam salah satu dari dua keadaan berikut :
Pertama, ia masih bersikukuh di dalam hatinya untuk mengerjakan maksiat. Orang seperti ini adalah orang yang dusta di dalam ucapannya, “Wa Atūbu Ilaihi (dan aku bertobat pada-Nya)” karena sejatinya dia belum bertobat, tidak boleh ia mengatakan bahwa dirinya telah bertobat sedangkan ia belum bertobat.
Kedua, ia sudah melepaskan maksiat itu dengan hatinya. Terdapat perbedaan pendapat terkait kebolehan ucapan ‘Wa Atūbu Ilaihi’ baginya. Beberapa kelompok ulama salaf tidak menyukainya. Ini adalah pendapat murid-murid Abu Hanīfah (Imam Hanafi) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aṭ-Ṭaḥāwy. Ar-Rabī’ bin Khaiṡam berkata, “Ucapan ‘Wa Atūbu Ilaihi’ dalam beberapa keadaan seperti menjadi satu kebohongan dan dosa. Agar tidak demikian hendaknya ia berucap, “Allahumma Tub ‘Alayya (Ya Allah terimalah tobatku)” atau “Allahumma innī Astaghfiruka Fatub ‘Alayya (Ya Allah, aku meminta ampunanmu, maka terimalah tobatku).” Makna ini dapat berlaku bagi orang yang belum melepaskan dosa dari hatinya, bahkan ini lebih tepat untuk keadaanya. Muhammad bin Sūqah biasanya berucap dalam istighfarnya,
أَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ الذِّيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الحَيُّ القَيُّوْمُ وَأَسْأَلُهُ تَوْبَةً نَصُوْحاً
“Astaghfirullāh Al-‘Aẓīm Alladżī Lā Ilāha Illā Huwa Al-Ḥayy Al-Qayyūm Wa As`aluhū Taubatan Naṣūḥan (Aku memohon ampunan Allah yang Maha Hidup lagi Maha Agung yang tidak ada Tuhan selain Dia dan aku memohon dariNya tobat nasuha).”
Diriwayatkan dari Ḥużaifah, ia berkata “Cukuplah seorang dikatakan berdusta jika ia berucap “Astaghfirullāh” lalu ia kembali (melakukan dosanya).” Muṭarrif mendengarkan seorang laki-laki berucap, “Astaghfirullāh Wa Atūbu Ilaihi”, ia pun memarahi orang itu dan mengatakan, “Hendaknya jangan ucapkan itu.”
Secara zahir, ini menunjukkan bahwa beliau tidak menyukai ucapan ‘Wa Atūbu Ilaihi’ dikarenakan tobat nasuha itu berarti tidak kembali kepada dosa yang sama selamanya. Kapan seseorang kembali mengerjakan dosa itu, ia telah berdusta dalam ucapannya, “Wa Atūbu Ilaihi”.
Demikian pula, suatu ketika Muhammad bin Ka’b Al-Quraẓy ditanyai tentang orang yang berjanji kepada Allah untuk tidak kembali melakukan maksiat selamanya, ia pun mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih besar dosanya dari orang yang melakukan itu, ia bersumpah atas nama Allah bahwa Dia tidak akan menjalankan takdir-Nya.” Pendapat ini dipilih oleh Abu Al-Faraj Ibnu Al-Jauzy dan diriwayatkan bahwa pendapat Sufyān bin ‘Uyainah mirip dengan ini.
Jumhur ulama berpendapat bahwa boleh seseorang mengatakan ‘wa atūbu ilaihi’ sedang ia berjanji kepada Allah untuk tidak kembali melakukan maksiat tertentu. Berazam untuk itu adalah sesuatu yang wajib baginya, ucapan ‘wa atūbu ilaihi’ sejatinya adalah pengabaran tentang azam yang terpatri di dalam hatinya saat itu. Olehnya dikatakan,
مَا أَصَرَّ مَنِ اسْتَغْفَرَ، وَلَوْ عَادَ فِي الْيَوْمِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً
“Tidak disebut terus-terusan bermaksiat seseorang yang beristighfar, walaupun ia kembali berdosa dalam sehari tujuh puluh kali.” (HR. Abu Dawud (1514) dan Tirmizi (3559), hadis ini lemah. Imam Tirmizi berkata, “Sanadnya tidak kuat”).
Allah juga berfirman kepada orang yang kembali melakukan dosa,
قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي، فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ
“Aku telah ampuni hamba-Ku, hendaknya ia melakukan apa yang ia inginkan.” (HR. Bukhari (7507) dan Muslim (2758) dari Abu Hurairah).
Di dalam hadis tentang kaffārah Al-Majlis disebutkan,
أَستَغْفِرُكَ اللّهُمَّ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
“Aku memohon ampunan Engkau ya Allah dan aku bertobat kepada-Mu.” (HR. Ahmad (2/369) dan Abu Dawud (4548) dan Tirmizi (3433) dari Abū Hurairah, Imam Tirmizi berkata, “Hadis ini hasan sahih gharīb”).
Nabi juga pernah memotong tangan seorang pencuri, lalu beliau berkata padanya,
اسْتَغْفِرِ اللهَ وَتُبْ إِلَيْهِ
“Mintalah ampun pada Allah dan bertobatlah kepada-Nya!”
Orang itu pun berkata,
أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتْوْبُ إِلَيْهِ
“Aku meminta ampunan Allah dan bertobat pada-Nya.” Nabi berdoa,
اللهمَّ تُبْ عَلَيْهِ
“Ya Allah terimalah tobatnya.” (HR. Abu Dawud (4380), Ahmad (5/293), Ad-Dārimy (2308), Ibnu Mājah (2597), dan An-Nasā`i (8/67) dan Aṭ-Ṭaḥāwy dalam Syarḥ Ma’ānī Al-`Āṡār (2/97), sadanya lemah karena ada salah saru rawinya yang tidak diketahui (majhūl)).