Rasa Takut Dalam Perspektif Islam
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu pilar utama terwujudnya ketaqwaan seseorang kepada Allah adalah adanya rasa takut kepada-Nya dalam dirinya. Karena dengan rasa takut ini, ia akan terdorong untuk mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Dengannya, ia selalu termotivasi untuk berlomba mengerjakan kebaikan dan menjauhi kemaksiatan. Sebaliknya, rendahnya rasa takut kepada Allah dalam diri seseorang menyebabkan dirinya selalu meninggalkan perintah dan mendekati larangannya.
Ungkapan Rasa Takut di Dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasa takut kepada Allah merupakan amalan hati yang banyak disebutkan di dalam Al-Quran dan hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam. Di dalam kedua sumber pengambilan aqidah dan hukum Islam tersebut ditemukan berbagai lafal yang digunakan untuk mengungkapkan rasa takut kepada Allah. Setidaknya ungkapan yang banyak didapatkan adalah khauf, khasyyah, isyfaq, rahbah, dan wajal. Meski lafal-lafal tersebut memiliki penekanan makna masing-masing tetapi secara umum, semuanya mengandung makna rasa takut kepada Allah. Dalam konteks lain, rasa takut yang sifatnya umum berlaku untuk selain kepada Allah juga ditemukan di dalam kedua pusaka yang diwariskan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam tersebut. Dalam konteks ini, Al-Qur’an menyebut rasa takut tersebut dengan ungkapan; rawu’, wajs, ru’b, faza’, dan faraq.
Korelasi Antara Rasa Takut dan Iman Kepada Allah
Di dalam Islam, rasa takut kepada Allah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ia merupakan syarat iman kepada Allah sekaligus kosekwensi iman kepada-Nya. Allah berfirman:
{وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ} [آل عمران: 175].
“Tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS. Ali ‘Imran : 175)
Pada ayat ini terdapat perintah wajib untuk memiliki rasa takut kepada Allah semata. Juga terdapat informasi bahwa rasa takut tersebut merupakan konsekwensi iman kepada-Nya. Oleh karenanya, kadar rasa takut seseorang kepada Allah tergantung pada kadar imannya kepada-Nya[1].
Dalam kaitan korelasi antara rasa takut dan iman kepada-Nya inilah, Allah berfirman yang artinya:
{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ} [الأنفال:2]
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka karenanya, dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. (QS. Al-Anfal: 2).
Eksisnya rasa takut kepada Allah dalam hati seseorang mengindikasikan wujud dan benarnya keimanannya kepada Allah, sedang nihilnya rasa takut tersebut menunjukkan hilangnya keimanan kepada Allah dari dalam hatinya[2].
Wajibnya Rasa Takut Hanya Kepada Allah Semata
Jika dipahami bahwa esensi ibadah itu adalah semua perkataan dan perbuatan yang lahir ataupun yang tersembunyi selama ia diridhai dan dicintai Allah sebagaimana didefinisikan oleh banyak ulama, maka rasa takut itu merupakan ibadah agung yang wajib ditujukan kepada Allah semata. Karena ia dipuji dan diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam.
Wajibnya rasa takut ditujukan secara tulus kepada Allah semata dapat dipahami dari berbagai cara Allah memerintahkannya di dalam Al-Qur’an. Antara lain:
- Perintah memusatkan rasa takut kepada-Nya semata, Allah berfirman:
{ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ} [البقرة: 40]
“Dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut”. (QS. Al-Baqarah: 40).
Dalam bahasa Arab, cara semacam ini memberi indikasi pembatasan. Yaitu membatasi dan memusatkan rasa takut hanya kepada Allah. Dalam konteks biasa, kata إياي lazimnya diletakkan setelah perintah فَارْهَبُونِ dan indikasinya tidak langsung menunjukkan pembatasan. Sebaliknya, dalam mendahulukan letak kata tersebut sebelum kata perintah yang ada dalam ayat ini maka cara ini otomatis menujukkan indikasi pembatasan. Pendekatan ini biasa diungkapkan dengan qaedah; “Taqdim ma haqquhu at-ta’khir yufidu al-hashr wa al-ikhtishash” atau mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan mengindikasikan makna pembatasan dan khusus untuknya. Artinya rasa takut wajib terbatas dan terpusat kepada Allah semata.
- Gabungan antara perintah memusatkan rasa takut kepada Allah dan larangan memalingkannya kepada selain-Nya dalam satu konteks. Misalnya dalam firman Allah:
{ إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ } [آل عمران 175]
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti kamu dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Ali Imran: 175).
{ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ } [المائدة: 44]
“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku”. (QS. Al-Maidah: 44).
Pada kedua ayat ini, sebelum Allah memerintahkan mereka untuk menujukan dan memusatkan rasa takutnya kepada-Nya, terlebih dahulu Allah melarang mereka dari menujukan rasa takutnya kepada selain-Nya. Yaitu dengan melarang mereka takut kepada syaitan pada ayat pertama, dan melarang mereka takut kepada sesama manusia pada ayat kedua.
- Allah menegur Nabi shallallahu alaihi wasallam saat khawatir dengan bahaya omongan orang tentang dirinya dengan menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak untuk ditakuti. Allah berfirman:
{ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ } [الأحزاب: 37]
“Dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti”. (QS. Al-Ahzab: 37).
- Dalam hal ketaatan, Allah memparalelkan ketaatan kepada-Nya dengan ketaatan kepada Rasul-Nya, tetapi dalam hal rasa takut, Allah tidak mengizinkannya. Allah berfirman:
{ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ } [النور: 52]
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan“. (QS. An-Nur: 52).
Pada ayat ini, ketaatan ditujukan kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, sedang rasa takut dan ketaqwaan hanya difokuskan kepada Allah semata[3].
Rasa Takut yang Wajib Ditujukan Kepada Allah Semata
Perlu dipahami bahwa rasa takut yang wajib ditujukan kepada Allah semata dan tidak boleh dipalingkan sedikit pun kepada selain-Nya adalah rasa takut khusus yaitu rasa takut ubudiyah. Atau rasa takut yang bernilai dan bernuansa ibadah dan penghambaan. Yaitu rasa takut yang mengantar seseorang meninggalkan yang diharamkan Allah dan mengerjakan yang diwajibkan-Nya. Juga rasa takut yang mendorong seseorang untuk mengerjakan hal-hal yang mustahab (yang dicintai Allah) dan meninggalkan yang makruh atau untuk tidak larut dalam hal-hal yang mubah[4].
Memalingkan rasa takut ubudiyah ini kepada selain Allah merupakan tindakan kesyirikan besar yang dimurkai Allah Ta’ala. Adapun rasa takut non ubudiyah maka tidak selamanya harus ditujukan kepada Allah dan memalingkannya kepada selain-Nya tidak otomatis menjadi syirik.
Pembagian Rasa Takut
Secara hukum taklif, rasa takut dibagi menjadi tiga macam[5]:
Pertama, rasa takut yang masyru’ berupa rasa takut yang ditujukan kepada Allah semata. Rasa takut ini hukumnya wajib. Karena ia merupakan ibadah kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di atas.
Kedua, rasa takut yang haram karena termasuk kesyirikan atau karena terhitung dosa besar. Oleh karenanya, keharamannya pun bertingkat-tingkat, tergantung pada konsekwensi dosanya. Jika dosanya tergolong dosa yang paling besar karena masuk dalam katagori syirik, baik syirik besar atau pun syirik kecil maka keharamannya lebih tegas. Namun jika ia hanya tergolong dosa besar dan tidak masuk kategori syirik maka keharamannya lebih ringan dari yang pertama. Rasa takut jenis ini, antara lain:
1- Rasa takut yang berlebihan tanpa dibarengi dengan rasa harap kepada Allah, yaitu rasa takut yang mengantarkan seseorang merasa putus asa dari rahmat Allah. Rasa takut ini haram dan tidak boleh karena putus asa dari rahmat dan kasih sayang Allah termasuk yang dilarang Allah di dalam firman-Nya:
{قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ} [الزمر: 53]
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosasemuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Az-Zumar: 53).
2- Rasa takut yang mengantar seseorang meninggalkan salah satu perintah Allah yang wajib ditunaikan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Misalnya karena rasa takutnya kepada manusia maka ia meninggalkan jihad di jalan Allah, atau meninggalkan amar makruf dan nahi mungkar. Rasa takut ini haram dan merusak kesempurnaan tauhid dan tergolong ke dalam syirik kecil.
3- Rasa takut yang dikenal dengan istilah khauf sirr (rasa takut yang halus) yaitu rasa takut yang lahir dari keyakinan bahwa seseorang tertentu (baca; wali tertentu), atau jin, atau kuburan, atau berhala dan lain-lain memiliki kemampuan untuk mengetahui rahasia dirinya, atau mampu mendatangkan manfaat atau mudarat tertentu jika keinginannya tidak dipenuhi. Maka atas dasar keyakinan ini, ia selalu takut kepadanya meski orangnya sudah wafat, atau orangnya berada di tempat yang sangat jauh. Atau ia merasa takut melewati tempatnya. Rasa takut ini haram dan termasuk syirik akbar.
Jenis takut inilah yang dahulu dimiliki oleh orang-orang musyrik. Orang-orang musyrik senantiasa takut kepada berhala dan menakut-nakuti para Nabi dari berhala mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada beliau (baca; QS. Al-An’am: 80-81), juga kaum Nabi Shaleh ‘alaihissalam kepada Nabinya (baca; QS. Hud: 54-55).
Ketiga, rasa takut yang boleh, yaitu rasa takut yang bersifat jibilah atau alami. Seperti takut kepada binatang buas atau berbisa seperti ular, atau takut kepada pencuri, atau takut kepada orang yang zhalim. Rasa takut ini boleh hukumnya selama rasa takutnya tidak mengantarkan kepada meninggalkan kewajiban kepada Allah atau mengerjakan larangan-Nya. Jenis rasa takut inilah yang pernah dialami oleh Nabi Musa shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana dikabarkan Allah dalam firman-Nya:
{فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ} [القصص: 21]
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggudengan khawatir, dia berdoa: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu”. (QS. Al-Qashash: 21).
Rasa Takut Sebagai Pilar Ibadah
Dalam beribadah kepada Allah, hendaknya rasa takut dijadikan salah satu di antara tiga pilarnya yaitu: mahabbah, khauf dan raja’ atau kecintaan kepada Allah, rasa takut kepada-Nya, dan pengharapan kepada-Nya.
Dalam konsep Ahli Sunah wal Jamaah, ketiga pilar tersebut harus berimbang dan tidak mendahulukan salah satunya tanpa yang lainnya. Dalam konsep ini, ibadah yang dilakukan seseorang harus dilandasi atas dasar kecintaan kepada Allah, dibarengi rasa takut atas ancaman-Nya, terutama jika ibadah tersebut tidak ditunaikan dengan baik sesuai syariat-Nya, dan didorong oleh pengharapan yang tulus untuk diterima oleh Allah Ta’ala.
____________________________
[1]lihat: Tafsir As-Sa’diy.
[2]lihat: Madarij al-Salikin, Ibnul Qayyim: 1/511.
[3]lihat: Iqtidha’ ash-shirath al-mustaqim, Ibn Taimiyah: 2/365.
[4]lihat: A’mal al-Qulub, Khalib As-Sabt: 2/137.
[5]lihat: A’mal al-Qulub, Khalid As-Sabt: 2/137-140.