Posisi Para Reformis di Masa Fitnah Dan Krisis (5)
Doa adalah Senjata Ampuh
Berkat doa jumlah yang sedikit bisa berubah banyak, musuh dihancurkan, kaum zalim berjatuhan dan yang dizalimi berjaya. Doa adalah ibadah. Sebab doalah para rasul dimenangkan dan segala kesusahan sirna. Allah Yang Maha Penyayang menyeru manusia, Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.” (QS. Mukmin: 60)
Bahkan Allah juga berjanji akan membatalkan siksaan karena doa hamba-Nya, “Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka.” (QS. Al-An’am: 43)
Dari sekian banyak doa yang dianjurkan adalah doa berlindung kepada Allah dari segala fitnah sebagaimana doa yang selalu dipanjatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu: “Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari azab jahanam, dari azab kubur, dan dari fitnah selama hidup dan sesudah mati, serta dari fitnah al-Masih ad-Dajjal.” [i]
Agar Iman tidak Usang
Esensi iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah kuat dengan ketaatan dan berkurang karena maksiat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya iman akan usang di dalam tubuh sebagaimana usangnya baju, maka mohonlah kepada Allah agar memperbaharui keimanan dalam hati-hati kalian.” [ii]
Realitas membuktikan bahwa krisis dan fitnah yang terjadi dapat mengubah kualitas iman sorang muslim, bisa bertambah namun tak jarang malah berkurang. Maka di antara tanda-tanda mukmin sejati adalah bahwa imannya bertambah kuat ketika fitnah kian dahsyat. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita’. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al-Ahzab: 22)
Sebaliknya, di antara tanda-tanda kaum munafik adalah bahwa dadanya sangat sesak dengan ujian dan cobaan yang terjadi, bahkan ia berharap seandainya tidak hidup di tempat atau di masa itu. Tentang mereka Allah berfirman, “Mereka mengira (bahwa) golongan-golongan yang bersekutu itu belum pergi; dan jika golongan-golongan yang bersekutu itu datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab Badui, sambil menanya-nanyakan tentang berita-beritamu. Dan sekiranya mereka berada bersama kamu, mereka tidak akan berperang melainkan sebentar saja.” (QS. Al-Ahzab: 20)
Di ayat lain Allah juga berfirman, “Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang-orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan pertempuran). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka.” (QS. An-Nisa’: 72)
Memperbanyak Ibadah agar Tetap Istikamah
Iman tidak bisa dicapai dengan angan-angan, tidak pula dengan berpura-pura. Iman adalah akidah, tanggung jawab dan ibadah. Bukti kuatnya iman seseorang adalah jika dia disibukkan dengan berbagai ibadah individual demi menyucikan diri, juga ibadah sosial yang manfaatnya dirasakan orang lain. Jika fitnah terjadi sedang seorang muslim semakin sibuk dengan ibadah, maka ini adalah tanda dekatnya ia kepada Allah. Keyakinannya begitu tinggi sehingga ibadah menjadi sumber ketenangan jiwa. Bukankah orang yang beribadah di masa fitnah melanda pahalanya sama dengan mereka yang hijrah kepada Rasulullah?! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ibadah di saat fitnah melanda, laksana hijrah kepadaku.”[iii]
Proyek Kolektif Menyongsong Masa Depan
Ketika kaum muslim diserang secara kolektif oleh musuh-musuh Islam dari berbagai sekte dan aliran sesat, maka konfrontasi juga harus dilancarkan secara kolektif. Kaum muslim dari semua elemen harus bersatu, bekerja sama, saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, berpadu dalam menghadapi musuh, dan berusaha meminimalisir perbedaan. Jika seseorang tidak kuat berjuang sendiri, maka hendaklah ia bergabung dengan gerakan perjuangan yang ada. Sehingga potensi umat semakin kuat dan tidak ada lagi muslim yang berjuang sendiri-sendiri, atau hanya diam berpangku tangan.
Penetapan hukum merupakan hak Allah semata. Siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali agama itu tidak akan diterima darinya. Hendaklah kaum muslim senantiasa dalam berada dalam jamaah, sebab pertolongan Allah turun kepada orang yang berjamaah. Jika musuh-musuh Islam yang saling bertolak belakang saja dapat bersatu, maka Ahli Sunnah wal Jamaah lebih pantas untuk bersatu dan saling membantu. Harus disadari bahwa musuh umat mempunyai skenario licik, kendati saat ini mereka hanya menyerang pihak tertentu, namun akan tiba saatnya kita menjadi target selanjutnya.
Berhati-hatilah, jangan sampai kita berbalik menjauh dari hidayah dan taufik Allah. Istiqamah dalam kebenaran sampai ajal menjemput adalah salah satu karunia dan nikmat terbesar dari Allah. Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Fitnah-fitnah itu diperhadapkan kepada hati seperti anyaman tikar satu persatu, setiap kali hati seseorang menyerap fitnah maka ia diolesi dengan titik hitam, dan setiap kali hati seseorang mengingkarinya maka ia diolesi dengan tinta putih. Akhirnya hati manusia terbagi dua: hati yang putih jernih; hati ini tidak akan terpengaruh oleh fitnah apa saja selama-lamanya, dan hati yang hitam dan berdebu, ia ibarat cangkir yang terbalik tidak dapat mengenal kebaikan dan mengingkari kemungkaran, ia hanya dapat menyerap hawa nafsunya semata.”[iv]
Hadis-hadis tentang fitnah akhir zaman harus menjadi prioritas bahasan. Kajian, tulisan, dan dakwah harus terfokus pada tsabat/konsisten dan faktor-faktor pendukungnya. Begitu pula sebab-sebab penyimpangan dari jalan yang lurus beserta bahayanya. Tiada yang dapat menyelamatkan dari azab Allah kecuali Allah Yang Maha Penyayang. Maka, marilah senantiasa berdoa memohon kekuatan untuk tetap istikamah dalam kebenaran. Para ulama dan dai harus bisa menjadi contoh teladan dalam istikamah di atas kebenaran. Jika mereka teguh, maka umat pun tetap kuat. Namun jika mereka lemah atau menyimpang, maka umat juga ikut lemah, tak berdaya dan lebih menyimpang lagi.
Juga mari tetap menjaga diri dari fitnah syubhat dan syahwat. Banyak-banyak membaca kisah mereka yang istikamah dan teguh dalam kebenaran. Terutama kisah para nabi dan rasul. Hendaklah kaum muslim saling menasihati dalam kebaikan dan sabar. Tentunya, sebelum dan sesudahnya, doa adalah yang utama: “(Mereka berdo’a), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia)”. (QS. Ali Imran: 8)
Wahai hamba Allah! Teguhlah dan istikamahlah, niscaya kalian jaya dan orang lain selamat karena kalian.
Meluruskan Berbagai Istilah dan Membalikkan Tuduhan
Banyak sekali istilah-istilah yang dipermainkan oleh musuh Islam dan dijadikan alat untuk menyerang para reformis pembela kebenaran. Sebut saja misalnya ekstremes, radikal, fanatik, teroris dan lain-lain, kendati tidak semua istilah ini tercela. Teroris misalnya, ada teror (membuat takut) yang terpuji sebagaimana firman Allah: “(yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (QS. al-Anfal: 60)
Dan ada pula yang tercela, yakni pelanggaran terhadap hukum Allah serta menumpahkan darah dengan batil. Begitu pula ekstremes, sifat ini tercela dari kedua sisinya baik terlalu keras maupun terlalu toleran. Kaum ulama dan intelektual muslim harus meluruskan istilah-istilah karet seperti ini, agar mereka tidak seenaknya mempermainkan atau mendistorsinya sesuka hati.
Tidak cukup di sini, kita harus menyerang balik musuh-musuh Islam dengan istilah dan makar yang mereka ciptakan. Irhab/ teroris yang berarti menimbulkan rasa takut adalah istilah versi Al-Quran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut.” (QS. Al-A’raf:: 116)
Sebaliknya, istilah ini bisa dilemparkan kepada mereka yang gemar menuduh dengan batil dan meneror orang lain tanpa bukti. Apakah bijaksana jika kita harus mengubur istilah ini dari publik, padahal istilah tersebut ada dalam syari’at kita?
Dua Rukun Utama Menyampaikan Kebenaran & Derajat Terendah dalam Nahi Mungkar
Dalam mengingkari sebuah kemungkaran, terdapat tingkatan-tingkatan yang telah dijelaskan dalam hadis Rasulullah. Ketika menulis biografi Imam Ahamd rahimahullah, Imam Adz-Dzahabiy menyematkan ungkapan indah tentang dua rukun dalam menampakkan kebenaran. Beliau menulis: “Menyampaikan kebenaran dengan terang-terangan adalah perkara agung. Ia memerlukan keikhlasan dan kekuatan. Orang yang ikhlas namun lemah, tidak akan sanggup mengembannya. Sebaliknya, orang kuat tetapi tidak ikhlas akan dihinakan. Siapa yang memiliki kedua rukun ini dia adalah shiddiq. Dan yang tidak memiliki kedua unsur tersebut, cukuplah ia merasa sakit hati dan mengingkarinya dalam hati, dan inilah derajat iman paling rendah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.”[v]
Manajemen Krisis
Kaum muslim harus menguasai manajemen terbaik dalam menyikapi krisis, agar potensi yang dimiliki tetap terjaga dan mampu lebih meningkatkan prestasi. Mereka juga diharapkan bisa memposisikan dan menyikapi setiap masalah secara profesional, sesuai dengan situasi, tempat dan waktu yang tepat. Juga tidak lupa membaca dengan seksama peristiwa yang terjadi, sebab, dampak, dan persepsi syariat tentangnya, serta mengajukan solusi yang tepat dengan keuntungan besar dan kerugian seminimal mungkin.
Jika kita mengamati sirah para nabi dan rasul, maka kita pasti melihat betapa tingginya fiqh/pemahaman mereka terhadap manajemen krisis. Maka, sebagai umat terbaik hendaklah kita menjadikan mereka sebagai suri teladan terbaik.[vi]
[i] Muttafaq Alaihi.
[ii] HR. Hakim, no.5, dishahihkan oleh Syekh al-Albani dalam as-Shahihah, no. 1585.
[iv] HR. Bukhari, no. 1368 dan Muslim, no. 144. Teks ini adalah teks riwayat Muslim.
[v] Siyar A’lam an-Nubala’, jilid XI, h. 234 .
[vi] Artikel ini adalah terjemahan dari artikel berjudul (أين مواقع المصلحـين حين الشدائد والفتن), karya Prof. DR. Sulaiman al-Audah. Sumber: https://www.albayan.co.uk/mobile/MGZarticle2.aspx?ID=3150