Akidah

Karakteristik Seorang Murabbi

Karakteristik Seorang Murabbi

Pertama: Akidah yang  lurus, Persepsi dan Konsep yang benar

Sebagai seorang _murabbi_ yang bertugas mengajarkan Islam yang benar dan mendidik murid-muridnya berdasarkan nilai-nilai Islam, maka seorang murabbi harus memiliki akidah dan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam. Pemahaman yang benar ini hanya bisa didapatkan dengan mengikuti pemahaman _Ahlus Sunnah wal Jama’ah_, yang mana mereka telah menetapkan berbagai prinsip akidah (kepercayaan) berdasarkan Al-Qur’an, Sunah Nabi Muhammad, dan petunjuk para sahabat Nabi. 

Rasulullah telah mengabarkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi pemahaman yang berbeda-beda yang keliru. Dan Rasulullah telah menjelaskan bahwa semua pemahaman itu pasti membawa kepada penyimpangan dari syariat Islam dan akan menjerumuskan pelakunya ke dalam api neraka. Kecuali satu kelompok, yaitu kelompok yang mengikuti ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai _akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah_. Abi Amir Abdullah bin Luhay berkata: 

“Kami melaksanakan haji bersama Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat kami tiba di Kota Makkah, dia kemudian berdiri setelah melaksanakan salat Dzuhur, kemudian berkata:

“Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya para ahli kitab terpecah di dalam agama mereka menjadi 72 golongan, dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka, kecuali satu yaitu jamaah, Dan sesungguhnya akan keluar dari umatku segolongan orang yang akan memperturutkan hawa nafsu seperti anjing yang senantiasa mengikuti tuannya, tidak ada satu urat atau sendi pun yang luput darinya.” Demi Allah, wahai bangsa Arab, jika kalian tidak melaksanakan apa yang dibawa oleh Nabi kalian, maka orang lain lebih pantas untuk tidak melaksanakannya.”

Seorang murabbi mengajarkan akidah atau tidak, atau akidah termasuk dalam tujuan pembelajarannya atau tidak, maka pengaruh akidahnya akan terlihat pada cara ia menyikapi berbagai situasi dan akan tertanam pada para muridnya melalui interaksi, pergaulan, dan penyampaian materi dan pemahamannya. Oleh karena itu, peringatan keras dari bergaul dengan orang yang akidahnya rusak atau memiliki konsep dan pemahaman yang keliru.

Baca Juga  Aku Mencintaimu, Wahai Rasulullah

Buku-buku tentang akidah banyak meriwayatkan hal tersebut. Imam Ibn Sirin berkata, “Dahulu mereka tidak menanyakan tentang sanad. Namun, ketika terjadi fitnah, mereka berkata, “Sebutkanlah kepada kami para ulama kalian,” maka jika dilihat dari ahli sunnah, maka diambil hadisnya, namun jika ternyata mereka adalah  ahli bid’ah, maka hadisnya tertolak. 

Juga diriwayatkan dari Abu Qilabah, beliau berkata: “Janganlah kalian duduk atau berdiskusi dengan para pengikut hawa nafsu, karena aku khawatir kalian akan tenggelam dalam kesesatan mereka atau mereka akan membingungkan kalian tentang apa yang telah kalian ketahui”.

Para salaf sangat melarang bergaul dengan mereka dan sangat memperingatkan tentang hal tersebut. Dalam kisah Sabigh bin ‘Asal, Abu Utsman sang perawi berkata, “Umar menulis kepada kami agar jangan bergaul dengannya. Dia berkata, “Sekalipun dia duduk di hadapan kami seratus orang, kami akan berpisah darinya.”‘ Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Janganlah kamu merasa aman terhadap ahli bid’ah dalam urusan agamamu, janganlah kamu berdiskusi dengannya dalam urusanmu, dan janganlah kamu duduk bersamanya. Barangsiapa duduk bersama seorang pemeluk bid’ah, maka Allah akan menimpakan kebutaan kepadanya.’

Perhatikanlah betapa kehati-hatian mereka dalam masalah ini dan betapa mereka tidak mentolerirnya. 

Mereka sangat khawatir terhadap seorang pemuda secara khusus, akan bersama dengan seorang guru pelaku bidah, dan mereka menganggap jika seorang pemuda terhindar dari bahaya ini, maka Allah telah memberikan nikmat yang besar kepadanya. Ibn Battah meriwayatkan dari Ibn Syauzab, beliau berkata: “Sesungguhnya termasuk nikmat Allah bagi seorang pemuda ketika ia mulai menuntut ilmu adalah jika ia bersahabat dengan seorang ahli Sunnah yang membimbingnya pada Sunnah.

Dari ‘Amr bin Qais al-Mullai berkata, ‘Jika kamu melihat seorang pemuda pertama kali tumbuh dewasa bersama dengan ahli sunnah wal jamaah, maka berharaplah (kebaikan), namun jika engkau melihatnya bersama dengan ahli bidah, maka berputus asalah darinya, karena seorang pemuda tergantung dari awal masa pertumbuhannya.

Baca Juga  Larangan Menjadikan Kafir dan Munafik Sebagai Orang Kepercayaan

Islam dibangun di atas masalah-masalah pokok dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan akidah, maka wajib bagi seorang murabbi untuk memiliki pengetahuan yang baik tentang hal itu. Maka penerimaan terhadap nas-nas dan kehujjahan Al-Qur’an dan Sunnah, dan kedudukan keduanya sebagai sumber petunjuk, serta kedudukan keduanya dalam syariat Islam, sifat adil (dalam riwayat hadis) para sahabat dan keutamaan mereka, ijma’ para salaf, pentingnya berpegang teguh pada jama’ah kaum muslimin, masalah-masalah iman, amalan-amalan hati, wala’ dan bara’, dan lain sebagainya. Semua itu hari ini menjadi pokok-pokok manhaj yang harus menjadi syarat bagi siapa saja yang menjadi murabbi. Karena memperbaiki pemahaman dan konsep merupakan bagian dari tanggung jawab dan kewajibannya.

Ketika seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Mengapa wanita haid mengganti puasa tetapi tidak mengganti salat?” Aisyah menjawab bahwa itu adalah masalah ibadah yang tidak ada andil akal dalam menetapkannya, lalu Aisyah berkata: “Apakah kamu seorang haruri/khawarij? Dulu kami mengalaminya dan diperintahkan untuk mengganti puasa tetapi tidak diperintahkan untuk mengganti shalat.” Maka ini adalah contoh apa yang bisa dilakukan oleh seorang murabbi dalam membangun pemahaman dan konsep yang benar.

Di zaman di mana seluruh dunia mengalami penyimpangan pemikiran dan akidah (sedikit sekali yang terhindar darinya), kita membutuhkan pengingat akan pentingnya karakteristik utama ini yang selayaknya dimiliki oleh seorang murabbi.

(Diterjemahkan dari kitab Mi’yar al-Murobbi (Standar Murabbi/Pendidik yang Ideal) karya Syaikh Faiz bin Said al-Zahrani, hal. 63-65, Alih bahasa: Syahrul Bardin)

Syahrul Bardin, S.H.

Mahasiswa S1, Universitas Islam Madinah, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?